Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUTUSAN Komisi Pengawas Persaingan Usaha bahwa PT Pelindo II Cabang Teluk Bayur melanggar Undang-Undang Antimonopoli semestinya dipahami sebagai jeweran seorang bapak bagi perusahaan pelat merah itu. Tujuan Pelindo mengatur usaha bongkar-muat di pelabuhan itu agar lebih efisien patut dihargai. Tapi Pelindo juga harus memberikan kesempatan kepada perusahaan usaha bongkar-muat swasta untuk ikut bersaing secara sehat.
Kejadian di Pelabuhan Teluk Bayur, Sumatera Barat, sesungguhnya merupakan tumpang-tindih peran PT Pelindo II. Korporasi milik negara ini merupakan pemilik sekaligus pengelola pelabuhan setelah berekspansi ke sektor hilir, di antaranya usaha bongkar-muat. Dengan menjalankan fungsi regulator, Pelindo memang berhak mengatur dan menyeleksi perusahaan yang boleh melakukan bongkar-muat. Ketika memilih usaha jasa ini, langkah Pelindo melaksanakan tender sudah benar.
Pada saat yang sama, Pelindo II merupakan perusahaan operator bongkar-muat yang beroperasi di pelabuhan tersebut. Dalam posisi itu, badan usaha milik negara ini adalah kompetitor terkuat bagi perusahaan swasta yang terpilih menjadi operator bongkar-muat. Di sinilah terjadi ketidakseimbangan antara Pelindo dan pesaingnya. Pelindo memiliki keistimewaan karena dialah yang mengatur kapal mana yang sandar lebih dulu. Keunggulan di depan mata yang tak dipunyai dan tak dilakukan pihak swasta: Pelindo berinvestasi ratusan miliar rupiah untuk bisnis jasa ini, termasuk pembelian alat-alat berat.
Tentu saja situasi itu sangat menguntungkan Pelindo. Perusahaan pemilik barang sudah pasti akan memilih Pelindo karena keistimewaan itu. Pelindo otomatis menjadi perusahaan yang paling efisien. Korporasi ini bisa mengatur waktu sandar kapal dan waktu bongkar-muat barang. Hal itu berbeda dengan para pesaingnya, yang secara sengaja atau tidak sengaja dinomorduakan oleh Pelindo. Yang kemudian terjadi adalah rontoknya satu per satu pesaing Pelindo, sehingga mereka mengadu ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Meski demikian, kita juga harus menghargai upaya Pelindo II mengedepankan efisiensi dan pelayanan publik. Selama ini, biaya logistik Indonesia tergolong sangat tinggi. Salah satu penyebabnya adalah hambatan dalam arus keluar-masuk barang di pelabuhan. Dampak dari biaya logistik yang tinggi ini adalah rendahnya daya saing kita secara global karena produk Indonesia jadi lebih mahal dibanding produk atau komoditas negara pesaing.
Contoh paling jelas adalah jeruk dan sapi. Jeruk Pontianak lebih mahal dibanding jeruk santang dari Cina. Mengimpor sapi dari Australia juga jauh lebih murah ketimbang mendatangkannya dari Nusa Tenggara Barat atau Nusa Tenggara Timur. Penyebabnya adalah biaya transportasi darat dan laut jauh lebih mahal di Indonesia ketimbang di Cina atau Australia. Belum lagi soal infrastruktur kita yang juga jauh ketinggalan dibanding kedua negara itu.
Karena itu, efisiensi menjadi prasyarat untuk meningkatkan daya saing Indonesia. Dalam hal ini, langkah Pelindo II di Teluk Bayur dan pelabuhan lain untuk menyeleksi perusahaan bongkar-muat yang bonafide sudah tepat. Hanya, medan dan level kompetisinya juga harus diperbaiki karena efisiensi pada umumnya hanya bisa dicapai melalui kompetisi yang sehat.
Masalah ini bisa diselesaikan dengan cara duduk bersama mencari solusi yang menguntungkan kedua belah pihak. Pihak swasta juga harus sadar agar melakukan perbaikan pelayanan dan investasi demi efisiensi sesuai dengan harapan para pengguna jasa ini. Jangan mentang-mentang jenis usahanya di sektor jasa bongkar-muat, lantas maunya cuma untung besar dengan biaya mahal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo