Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak berlebihan jika orang bilang bahwa kita hanya pandai membangun tapi kedodoran ketika harus merawat yang sudah dibangun. Lihatlah bagaimana fasilitas umum dikelola pejabat publik. Hidran yang dipasang di tempattempat strategis sering kali tak bisa menyemprotkan air ketika terjadi kebakaran. Lalu perhatikan payahnya perawatan goronggorong dan saluran air di kotakota besar, termasuk Jakarta. Hujan ringan yang tak terlalu lama saja sudah cukup merendam jalanjalan protokol di Ibu Kota.
Bila merawat fasilitas umum yang sering dipakai saja tidak maksimal, bagaimana bisa diharapkan mereka merawat danau atau situ dengan ketelitian yang tinggi. Bahkan, dalam kasus Situ Gintung—waduk di Cireundeu, Ciputat, Tangerang Selatan, yang jebol pada Jumat dua pekan lalu—tak satu instansi pun memiliki peta lengkap bendungan penampung air yang dibangun Belanda dan mulai difungsikan pada 1933 itu.
Artinya, penanganan yang memadai sulit diharapkan dilakukan aparat. Apalagi Situ Gintung bukanlah sebuah bendungan yang mempunyai kegiatan operasional, seperti Waduk Jatiluhur, sehingga harus diamati setiap hari. Situ Gintung, seperti keterangan Dinas Pekerjaan Umum, diawasi sekali dalam setahun. Jangka waktu pengawasan yang terlalu jarang ini tentu tidak membuat aparat memiliki semacam peringatan dini ketika bendungan tua itu rusak pintu airnya atau ketika terjadi rembesan di dasar tanggul.
Tak ada juga langkah cepat untuk menanggulangi saluran pembuangan di bawah pintu air yang mengalami penyempitan akibat ”serbuan” perumahan yang dibangun penduduk. Padahal, penyempitan inilah asalmuasal marabahaya: air yang melimpas tidak langsung mengalir tapi jatuh menggerus dasar pintu air. Gerusan itu berlangsung setiap hari, tanpa pengawasan dan tindakan pencegahan sepatutnya. Melihat kondisi itu, jebolnya situ sesungguhnya tinggal soal waktu.
Sangat diragukan kondisi Situ Gintung termonitor dengan baik ketika waduk itu berpindah pengawasan pada 2007 dari Dinas Pengairan Jawa Barat ke Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Tangerang—perpanjangan tangan Departemen Pekerjaan Umum di kabupaten. Padahal keadaan fisik Situ Gintung sudah berubah banyak. Luasnya yang 31 hektare sudah menyusut tinggal 21 hektare. Situ itu tidak lagi landai, tapi sudah lebih dalam. Kedalaman situ ini menambah tekanan air pada dindingdinding tanggul dan pintu air.
Kerawanan ini bertambah tambah dengan buruknya koordinasi antarinstansi—”penyakit” yang sudah lama diketahui tapi tak kunjung ketemu obatnya. Koordinasi buruk barangkali bukan istilah yang tepat, yang terjadi adalah setiap instansi jalan dengan aturannya sendirisendiri. Itulah yang menyebabkan rumah bertumbuhan di sekitar situ—yang sederhana, yang megah, sampai kompleks perumahan komersial.
Departemen Pekerjaan Umum mengatur seratus meter dari bibir tanggul merupakan kawasan hijau. Tapi Pemerintah Daerah Tangerang sejak 1992 menetapkan kawasan 50 meter dari danau dan seratus meter dari sungai di bawah danau merupakan kawasan yang bisa diakses siapa pun.
Di lapangan, yang terjadi sudah menyimpang terlalu jauh dari aturan. Bahkan ada rumah yang dindingnya nyaris menempel dengan badan situ. Semua ini diduga keras bisa terjadi karena suap dan sogok. Banyak calo tanah yang siap mengurus pemindahan hak atas tanah yang sebenarnya tak bisa dipakai untuk membangun rumah. Akumulasi berbagai penyimpangan bertahuntahun itulah yang membuat bencana datang begitu dahsyat, merenggut apa saja.
Yang memprihatinkan, ketika lebih dari seratus nyawa melayang, saling tuding dan lempar tanggung jawab terdengar ramai. Dinas Bina Marga dan Pengairan Tangerang mengaku tidak pernah menerima surat dari warga Cireundeu yang melaporkan kerusakan tanggul dan pintu air dua tahun yang lalu. Dinas merasa telah menjalankan tugasnya dan tak menemukan masalah serius. Menteri Pekerjaan Umum menuding curah hujan yang tinggi sebagai penyebab jebolnya Situ Gintung. Direktur Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum menuding tumbuhnya rumah di daerah jalur hijau sebagai penyebab signifikan berkurangnya daya tahan tanggul.
Diharapkan hasil penyelidikan Kepolisian Daerah Metro Jaya atas penyebab jebolnya Situ Gintung akan mengakhiri saling tuding ini. Sementara menunggu investigasi polisi, ada baiknya aparat yang mengawasi danau di wilayah Jabodetabek bekerja lebih cermat. Sebab, ada 193 danau di wilayah ini, dan kabarnya beberapa dalam kondisi buruk.
Tragedi Situ Gintung tak boleh berulang. Seratus nyawa yang terenggut di Situ Gintung sudah lebih dari cukup sebagai peringatan. Mereka harus pergi lantaran banyak orang yang melanggar aturan. Mereka menjadi korban lantaran aparat lalai dan alpa akan tanggung jawabnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo