ORANG dari Barat itu berkata kepada saya: "Tuan datang dari
bangsa yang lebih tua, sejarah yang lebih jauh." Dan saya pun
tersenyum sopan: "Hmm-hmm . . . "
Saya ingat kakek bercerita bahwa Nabi Adam sebenarnya turun di
pulau Jawa. Lihatlah bagaimana silsilah yang tercantum dalam
Babad Tanab Jawi, katanya. Bagaimana, 'kek? Begini, jawab kakek:
Nabi Adam punya anak bernama Sis. Sis ini beranak cucu hingga
akhirnya lahir Batara Guru. Batara Guru beranak 5, di antaranya
Batara Wisnu. Nah, di pulau Jawa ini Batara Wisnu jadi raja,
bergelar Prabu Set ....
Setelah saya agak besar sukar juga saya memasukkan Batara Guru
dalam silsilah Nabi Adam. Menurut guru sejarah, Batara Guru itu
nama lain dari Syiwa, dewa penghancur agama Hindu. Dan bagaimana
pula Syiwa beranak Wisnu?
Sssst, jangan mendebat kakek. Dia sudah ngantuk. Baca saja
sendiri Babad Tanah Jawi.
Waktu kitab babad tersohor itu terbaca, memang ada percampuran
yang menakjubkan antara nama-nama yang lazim dalam sejarah
dengan nama yang lazim dalam dongeng. Jayabaya misalnya masih
keturunan Arjuna, juga Munding Sari, tokoh cerita Sunda itu. Dan
Raja Majapahit ternyata pernah kawin dengan seorang raksasa yang
menjelma jadi puteri.....
Mungkinkah ada simbolisme di sana? Atau si penulis memang cuma
mau bikin dongengan yang asyik. Atau ia tak tahu metodologi
yang kini dikenal buat menulis sejarah?
Tak tahulah. Bagaimana pun buku riwayat pulau Jawa "dari Nabi
Adam sampai tahun 1641" itu mencerminkan sikap kebanyakan kita
dalam memandang masa silam sendiri. Masa silam itu terasa begitu
jauh -- biar pun jaraknya tak sampai ribuan tahun. Dan di
kejauhan itu kita memandang diri kita nyaris tanpa geografi.
Kita seakan-akan berada sendirian di planit bumi yang senyap.
SEPERTI bangsa lain, kita juga cenderung egosentris. Kita juga
mengira bahwa jadi bangsa yang tua adalah suatu kelebihan.
Apalagi dulu guru-guru kolonial suka membisikkan "kelebihan" itu
-- seraya mengelus hati kita yang terluka oleh penjajahan. Kita
tak curiga bahwa di balik elusan itu mungkin terselip anjuran:
kalian jangan ikut-ikut memasuki zaman kini. Teruslah dengan
kebanggaan masa silammu!
Dan kita pun bilang, ya, menir. Bukankah kita punya Borobudur
yang lebih kuno dari menara Eiffel?
Borobudur memang berdiri ketika Eropa belum punya arti. Tapi
kita suka lupa bahwa waktu candi itu dibangun, di bagian bumi
lain ada peradaban yang sudah jauh berjalan. Karena Islam lebih
belakangan tiba di Indonesia, kita cenderung mengira Islam lebih
muda ketimbang Mpu Sindok. Padahal di abad ke-9, sebelum Mpu
Sindok, dinasti Islam di Iraq dan Spanyol telah hidup dengan
menterjemahkan Plato, Aristoteles dan Euklides, seraya
mengekspor karya ilmu pengetahuan ke Eropa.
Dilihat dari latar seperti itu, sejarah Indonesia -- apalagi
Jawa -- agaknya memang termasuk "baru". Karya Mpu Kanwa tertua,
Arjuna Wiwaha (ditulis dalam dasawarsa-dasawarsa pertama abad
ke-11), lebih mudaa misalnya ketimbang novel Genji Monogotari
karya Nyonya Murasaki di Jepang. Ketika Majapahit baru
didirikan di desa Tarik, di Inggeris sudah ada parlemen, mesjid
Alhambra sudah lebih setengah abad dan Thomas Aquinas sudah
menuliskan karyanya yang sampai kini berpengaruh, Summa
Theologica, 1256. Dan jika anda gemar cerita silat
Nagasasra-Sabukinten, baik diingat bahwa Jaka Tingkir jauh lebih
muda ketimbang Martin Luther, bapak Protestantisme. Dan
Ronggowarsito? Ia sezaman manifesto komunis.
Tapi sudahlah. Kita memang tak setua seperti dibayangkan Babad
Tanah Jawi, tapi tak usah kecewa. Ketuaan cuma berarti bila ia
memperkaya pengalaman kita kini. Bila peninggalan zaman lampau
itu tak lagi hidup bagi kesehari-harian kita, itu berarti hanya
dia yang tua -- kita tidak. Mungkin kita perlu cari dasar lain
buat berbesar hati.
Dan apa salahnya menyadari diri muda?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini