Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Sejarah Kebudayaan Kita

Dalam buku "babad tanah jawi" diceritakan bahwa sejarah kebudayaan Jawa sangat tua. Padahal dibanding dengan kebudayaan Islam, sejarah Indonesia apalagi Jawa, masih sangat baru.

9 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG dari Barat itu berkata kepada saya: "Tuan datang dari bangsa yang lebih tua, sejarah yang lebih jauh." Dan saya pun tersenyum sopan: "Hmm-hmm . . . " Saya ingat kakek bercerita bahwa Nabi Adam sebenarnya turun di pulau Jawa. Lihatlah bagaimana silsilah yang tercantum dalam Babad Tanab Jawi, katanya. Bagaimana, 'kek? Begini, jawab kakek: Nabi Adam punya anak bernama Sis. Sis ini beranak cucu hingga akhirnya lahir Batara Guru. Batara Guru beranak 5, di antaranya Batara Wisnu. Nah, di pulau Jawa ini Batara Wisnu jadi raja, bergelar Prabu Set .... Setelah saya agak besar sukar juga saya memasukkan Batara Guru dalam silsilah Nabi Adam. Menurut guru sejarah, Batara Guru itu nama lain dari Syiwa, dewa penghancur agama Hindu. Dan bagaimana pula Syiwa beranak Wisnu? Sssst, jangan mendebat kakek. Dia sudah ngantuk. Baca saja sendiri Babad Tanah Jawi. Waktu kitab babad tersohor itu terbaca, memang ada percampuran yang menakjubkan antara nama-nama yang lazim dalam sejarah dengan nama yang lazim dalam dongeng. Jayabaya misalnya masih keturunan Arjuna, juga Munding Sari, tokoh cerita Sunda itu. Dan Raja Majapahit ternyata pernah kawin dengan seorang raksasa yang menjelma jadi puteri..... Mungkinkah ada simbolisme di sana? Atau si penulis memang cuma mau bikin dongengan yang asyik. Atau ia tak tahu metodologi yang kini dikenal buat menulis sejarah? Tak tahulah. Bagaimana pun buku riwayat pulau Jawa "dari Nabi Adam sampai tahun 1641" itu mencerminkan sikap kebanyakan kita dalam memandang masa silam sendiri. Masa silam itu terasa begitu jauh -- biar pun jaraknya tak sampai ribuan tahun. Dan di kejauhan itu kita memandang diri kita nyaris tanpa geografi. Kita seakan-akan berada sendirian di planit bumi yang senyap. SEPERTI bangsa lain, kita juga cenderung egosentris. Kita juga mengira bahwa jadi bangsa yang tua adalah suatu kelebihan. Apalagi dulu guru-guru kolonial suka membisikkan "kelebihan" itu -- seraya mengelus hati kita yang terluka oleh penjajahan. Kita tak curiga bahwa di balik elusan itu mungkin terselip anjuran: kalian jangan ikut-ikut memasuki zaman kini. Teruslah dengan kebanggaan masa silammu! Dan kita pun bilang, ya, menir. Bukankah kita punya Borobudur yang lebih kuno dari menara Eiffel? Borobudur memang berdiri ketika Eropa belum punya arti. Tapi kita suka lupa bahwa waktu candi itu dibangun, di bagian bumi lain ada peradaban yang sudah jauh berjalan. Karena Islam lebih belakangan tiba di Indonesia, kita cenderung mengira Islam lebih muda ketimbang Mpu Sindok. Padahal di abad ke-9, sebelum Mpu Sindok, dinasti Islam di Iraq dan Spanyol telah hidup dengan menterjemahkan Plato, Aristoteles dan Euklides, seraya mengekspor karya ilmu pengetahuan ke Eropa. Dilihat dari latar seperti itu, sejarah Indonesia -- apalagi Jawa -- agaknya memang termasuk "baru". Karya Mpu Kanwa tertua, Arjuna Wiwaha (ditulis dalam dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-11), lebih mudaa misalnya ketimbang novel Genji Monogotari karya Nyonya Murasaki di Jepang. Ketika Majapahit baru didirikan di desa Tarik, di Inggeris sudah ada parlemen, mesjid Alhambra sudah lebih setengah abad dan Thomas Aquinas sudah menuliskan karyanya yang sampai kini berpengaruh, Summa Theologica, 1256. Dan jika anda gemar cerita silat Nagasasra-Sabukinten, baik diingat bahwa Jaka Tingkir jauh lebih muda ketimbang Martin Luther, bapak Protestantisme. Dan Ronggowarsito? Ia sezaman manifesto komunis. Tapi sudahlah. Kita memang tak setua seperti dibayangkan Babad Tanah Jawi, tapi tak usah kecewa. Ketuaan cuma berarti bila ia memperkaya pengalaman kita kini. Bila peninggalan zaman lampau itu tak lagi hidup bagi kesehari-harian kita, itu berarti hanya dia yang tua -- kita tidak. Mungkin kita perlu cari dasar lain buat berbesar hati. Dan apa salahnya menyadari diri muda?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus