Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mewujudkan Cita-Cita Lama

Karena banyak lurah menyeleweng, untuk memudahkan pengawasan, Pangkopkamtib Sudomo melontarkan gagasan untuk mempegawai-negerikan lurah. Gagasan ini mendapat tanggapan dari berbagai pihak. (nas)

9 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUASANA pesta meliputi desa Nambangan Kidul di Kotamadya Madiun Sabtu 2 Juni lalu. Anggota Hansip dikerahkan untuk menertibkan penduduk, di tengah teriakan dan penjelasan para anggota Kepolisian. Ada 4 kursi diletakkan di depan, yang sejak pukul 07.00 diduduki 4 orang calon lengkap dengan lambang masing-masing, antara lain nanas, semangka dan pisang. Hari itu penduduk Nambangan Kidul melaksanakan hak demokrasi mereka yang telah ratusan tahun usianya: Memilih lurah desanya. Ada 4884 penduduk yang berhak memilih. Mereka yang lumpuh, buta atau sakit mendapat kesempatan pertama memasukkan kartu suara mereka ke kotak suara. Menyusul para ibu yang menggendong anak dan wanita lainnya. Sorenya jumlah suara dihitung dan sang pemenang akan diangkat dan diusung para pendukung, dan pesta kemenangan pun akan berlangsung. "Suasana seperti ini tidak akan ada lagi kalau nanti kepala desa dipegawainegerikan," tutur Soenoko, Lurah Madiun Lor pada Latief Sunaryo pembantu TEMPO. Soenoko sendiri, yang menyandang gelar sarjana muda (BA), diangkat sebagai Kepala Desa dengan status pegawai negeri sejak 1970 karena hasil ujiannya terbaik di antara 8 calon. Dengan gaji sekitar Rp 50.000 sebulan ia memimpin 15 pamong desa lain yang menerima gaji bulanan maupun honor. Soenoko menerima gaji sebesar itu karena berkat tingkat pendidikannya, ia masuk golongan II C. Tapi bagaimana kalau sang lurah hanya berijazah SD, atau malahan tak tamat SD sekalipun. Politis Akhir bulan lalu waktu meninjau Sumatera Utara, Pangkopkamtib Sudomo melontarkan gagasan untuk mempegawai-negerikan lurah dengan alasan agar mereka lebih mudah diawasi. Rupanya sebagai Ketua Opstibpus, Sudomo melihat begitu banyak lurah desa yang menyeleweng sedang rakyat tidak berani mengawasinya karena menurut Sudomo "Lurah itu semacam Tuhan di daerah." Akibatnya banyak rakyat yang langsung mengadu ke pusat. Dan ini agaknya membuat pening Opstibpus karena masalah itu seharusnya dibereskan didaerah. "Saya sudah lama mencita-citakan lurah menjadi pegawai negeri," ujar Mendagri Amirmachmud menjawab pertanyaan pers. Hal ini tidak akan dilakukan terburu-buru karena kalau dipegawai-negerikan, pemerintah harus menggaji mereka. Dan ini harus disesuaikan dengan kemampuan pemerintah. Saat ini ada 62.875 desa di Indonesia. Kepala desa umumnya dipilih langsung oleh rakyat. Tapi di kota-kota besar seperti Jakarta, kepala desa dan pamong lain ditunjuk dan diangkat pemerintah daerah dengan status pegawai negeri. Di Jawa, lurah dan pamong memperoleh imbalan berupa tanah bengkok, antara 2 sampai 12 Ha. Gagasan ini segera menimbulkan sengketa pendapat. Suara paling ramai datang dari DPR. Wakil Ketua Komisi II DPR, Oka Mahendra mengatakan ia tidak mengerti arah gagasan Sudomo. "Katanya kita mau membina kehidupan demokrasi. Lha kehidupan demokrasi paling dasar dan telah menjadi tradisi antara lain adalah pemilihan lurah." katanya pada wartawan TEMPO A. Margana pekan lalu. Kalau tujuannya untuk memudahkan pengawasan, jalan lain seperti misalnya mengefektifkan parat pengawas sendiri sampai ke tingkat desa dianggapnya lebih tepat. Mempegawai-negerikan lurah juga dianggap Oka Mahendra akan kurang mendorong rakyat ikut serta dalam pembangunan yang dipimpin lurah. "Lurah yang dipilih langsung saja belum tentu bisa menggairahkan rakyat ikut serta, apalagi yang ditempatkan dari atas," katanya. Lurah bukan sekedar pegawai administratif tapi lebih merupakan pamong desa. Tapi gagasan Sudomo dianggapnya bisa diterapkan di kota yang struktur masyarakatnya berbeda dengan desa. T.A.M. Simatupang dari Fraksi PDI sama pendapatnya pemilihan lurah secara langsung oleh rakyat merupakan bentuk demokrasi Indonesia yang paling dasar. Di samping pengawasan camat dan bupati, pengawasan langsung oleh rakyat justru harus lebih dihidupkan. Apakah di balik gagasan itu terselip maksud politis untuk menguasai para lurah dalam suatu wadah, yakni Korpri. Kalaupun ada maksud seperti itu, TAM menganggapnya "salah pilih". "Sebagai pihak yang berkuasa, tanpa tindakan seperti itu semuanya pasti ikut," katanya. Agaknya, yang dimaksudnya adalah masih adanya sifat feodalisme yang cenderung mendorong pamong praja untuk "ikut" golongan yang berkuasa. Ischak Moro dari F-PP berpendapat agak lain. "Gagasan itu baik, terutama mengingat tidak semua lurah berpenghasilan cukup, hingga ia terpaksa ambil dari sana-sini," kata anak bekas lurah dari daerah Sulawesi Tengah ini. Gagasan mempegawai-negerikan lurah, kata Ischak, sebetulnya bukan gagasan Sudomo, tapi gagasan pemerintah yang telah dimasukkan dalam RUU Pemerintahan Desa yang akan disampaikan secara resmi pada DPR oleh Mendagri 6 Juni ini. Menurut RUU ini, dibedakan antara Lurah dan Kepala Desa. Lurah bisa ditunjuk atau dipilih langsung oleh rakyat dan ditempatkan di ibukota propinsi atau kabupaten atau yang setingkat, scrta mendapat gaji seperti pegawai negeri. Sedang Kepala Desa tetap dipilih langsung oleh rakyat dan mendapat imbalan berupa bengkok atau gaji bagi desa yang tak mempunyai tanah bengkok. Moro melihat RUU ini tidak bertentangan dengan usaha membina demokrasi di pedesaan. "Pemilihan secara demokratis masih terus dilakukan di daerah yang masih memungkinkan. Sedang status pegawai negeri hanya berhubung dengan imbalan fasilitas," ujarnya. Banyak lurah di luar Jawa yang dilihatnya bekerja sebagai sukarelawan dengan fasilitas dan imbalan yang sangat kurang. Mereka inilah yang dianggapnya perlu dibantu. Pemerintah sendiri, seperti kata Amirmachmud, tampaknya memang tidak segera akan mempegawai-negerikan semua lurah. Menggaji 62.875 kepala desa, belum lagi ditambah pamong desa lainnya, jelas akan merupakan beban berat. Untuk tahun anggaran:1979/1980 saja, bantuan tunjangan pada pamong desa yang kurang penghasilan saja telah menyedot anggaran Rp 9 milyar. Hingga tampaknya cita-cita lama Amirmachmud itu belum akan dapat diwujudkan dalam waktu dekat ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus