SUASANA pesta meliputi desa Nambangan Kidul di Kotamadya Madiun
Sabtu 2 Juni lalu. Anggota Hansip dikerahkan untuk menertibkan
penduduk, di tengah teriakan dan penjelasan para anggota
Kepolisian. Ada 4 kursi diletakkan di depan, yang sejak pukul
07.00 diduduki 4 orang calon lengkap dengan lambang
masing-masing, antara lain nanas, semangka dan pisang.
Hari itu penduduk Nambangan Kidul melaksanakan hak demokrasi
mereka yang telah ratusan tahun usianya: Memilih lurah desanya.
Ada 4884 penduduk yang berhak memilih. Mereka yang lumpuh, buta
atau sakit mendapat kesempatan pertama memasukkan kartu suara
mereka ke kotak suara. Menyusul para ibu yang menggendong anak
dan wanita lainnya. Sorenya jumlah suara dihitung dan sang
pemenang akan diangkat dan diusung para pendukung, dan pesta
kemenangan pun akan berlangsung.
"Suasana seperti ini tidak akan ada lagi kalau nanti kepala desa
dipegawainegerikan," tutur Soenoko, Lurah Madiun Lor pada Latief
Sunaryo pembantu TEMPO. Soenoko sendiri, yang menyandang gelar
sarjana muda (BA), diangkat sebagai Kepala Desa dengan status
pegawai negeri sejak 1970 karena hasil ujiannya terbaik di
antara 8 calon. Dengan gaji sekitar Rp 50.000 sebulan ia
memimpin 15 pamong desa lain yang menerima gaji bulanan maupun
honor. Soenoko menerima gaji sebesar itu karena berkat tingkat
pendidikannya, ia masuk golongan II C. Tapi bagaimana kalau sang
lurah hanya berijazah SD, atau malahan tak tamat SD sekalipun.
Politis
Akhir bulan lalu waktu meninjau Sumatera Utara, Pangkopkamtib
Sudomo melontarkan gagasan untuk mempegawai-negerikan lurah
dengan alasan agar mereka lebih mudah diawasi. Rupanya sebagai
Ketua Opstibpus, Sudomo melihat begitu banyak lurah desa yang
menyeleweng sedang rakyat tidak berani mengawasinya karena
menurut Sudomo "Lurah itu semacam Tuhan di daerah." Akibatnya
banyak rakyat yang langsung mengadu ke pusat. Dan ini agaknya
membuat pening Opstibpus karena masalah itu seharusnya
dibereskan didaerah.
"Saya sudah lama mencita-citakan lurah menjadi pegawai negeri,"
ujar Mendagri Amirmachmud menjawab pertanyaan pers. Hal ini
tidak akan dilakukan terburu-buru karena kalau
dipegawai-negerikan, pemerintah harus menggaji mereka. Dan ini
harus disesuaikan dengan kemampuan pemerintah.
Saat ini ada 62.875 desa di Indonesia. Kepala desa umumnya
dipilih langsung oleh rakyat. Tapi di kota-kota besar seperti
Jakarta, kepala desa dan pamong lain ditunjuk dan diangkat
pemerintah daerah dengan status pegawai negeri. Di Jawa, lurah
dan pamong memperoleh imbalan berupa tanah bengkok, antara 2
sampai 12 Ha.
Gagasan ini segera menimbulkan sengketa pendapat. Suara paling
ramai datang dari DPR. Wakil Ketua Komisi II DPR, Oka Mahendra
mengatakan ia tidak mengerti arah gagasan Sudomo. "Katanya kita
mau membina kehidupan demokrasi. Lha kehidupan demokrasi paling
dasar dan telah menjadi tradisi antara lain adalah pemilihan
lurah." katanya pada wartawan TEMPO A. Margana pekan lalu. Kalau
tujuannya untuk memudahkan pengawasan, jalan lain seperti
misalnya mengefektifkan parat pengawas sendiri sampai ke
tingkat desa dianggapnya lebih tepat. Mempegawai-negerikan lurah
juga dianggap Oka Mahendra akan kurang mendorong rakyat ikut
serta dalam pembangunan yang dipimpin lurah. "Lurah yang dipilih
langsung saja belum tentu bisa menggairahkan rakyat ikut serta,
apalagi yang ditempatkan dari atas," katanya. Lurah bukan
sekedar pegawai administratif tapi lebih merupakan pamong desa.
Tapi gagasan Sudomo dianggapnya bisa diterapkan di kota yang
struktur masyarakatnya berbeda dengan desa.
T.A.M. Simatupang dari Fraksi PDI sama pendapatnya pemilihan
lurah secara langsung oleh rakyat merupakan bentuk demokrasi
Indonesia yang paling dasar. Di samping pengawasan camat dan
bupati, pengawasan langsung oleh rakyat justru harus lebih
dihidupkan.
Apakah di balik gagasan itu terselip maksud politis untuk
menguasai para lurah dalam suatu wadah, yakni Korpri. Kalaupun
ada maksud seperti itu, TAM menganggapnya "salah pilih".
"Sebagai pihak yang berkuasa, tanpa tindakan seperti itu
semuanya pasti ikut," katanya. Agaknya, yang dimaksudnya adalah
masih adanya sifat feodalisme yang cenderung mendorong pamong
praja untuk "ikut" golongan yang berkuasa.
Ischak Moro dari F-PP berpendapat agak lain. "Gagasan itu baik,
terutama mengingat tidak semua lurah berpenghasilan cukup,
hingga ia terpaksa ambil dari sana-sini," kata anak bekas lurah
dari daerah Sulawesi Tengah ini. Gagasan mempegawai-negerikan
lurah, kata Ischak, sebetulnya bukan gagasan Sudomo, tapi
gagasan pemerintah yang telah dimasukkan dalam RUU Pemerintahan
Desa yang akan disampaikan secara resmi pada DPR oleh Mendagri 6
Juni ini.
Menurut RUU ini, dibedakan antara Lurah dan Kepala Desa. Lurah
bisa ditunjuk atau dipilih langsung oleh rakyat dan ditempatkan
di ibukota propinsi atau kabupaten atau yang setingkat, scrta
mendapat gaji seperti pegawai negeri. Sedang Kepala Desa tetap
dipilih langsung oleh rakyat dan mendapat imbalan berupa
bengkok atau gaji bagi desa yang tak mempunyai tanah bengkok.
Moro melihat RUU ini tidak bertentangan dengan usaha membina
demokrasi di pedesaan. "Pemilihan secara demokratis masih terus
dilakukan di daerah yang masih memungkinkan. Sedang status
pegawai negeri hanya berhubung dengan imbalan fasilitas,"
ujarnya. Banyak lurah di luar Jawa yang dilihatnya bekerja
sebagai sukarelawan dengan fasilitas dan imbalan yang sangat
kurang. Mereka inilah yang dianggapnya perlu dibantu.
Pemerintah sendiri, seperti kata Amirmachmud, tampaknya memang
tidak segera akan mempegawai-negerikan semua lurah. Menggaji
62.875 kepala desa, belum lagi ditambah pamong desa lainnya,
jelas akan merupakan beban berat. Untuk tahun
anggaran:1979/1980 saja, bantuan tunjangan pada pamong desa
yang kurang penghasilan saja telah menyedot anggaran Rp 9
milyar. Hingga tampaknya cita-cita lama Amirmachmud itu belum
akan dapat diwujudkan dalam waktu dekat ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini