Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Nahdlatul Ulama berusia satu abad.
Alih-alih kembali ke khittah, NU makin terseret politik praktis.
Mesti menarik diri dari kerumunan politik.
MELALUI seabad usianya, jalan Nahdlatul Ulama tak selalu lempang. Dalam lintasan sejarahnya, organisasi kemasyarakatan keagamaan terbesar di Indonesia ini sering kali harus terlibat dalam tarik-menarik kepentingan. Meski begitu, karakter moderat kaum nahdliyin yang dikenal sebagai kaum sarungan memberi kontribusi terbesar dalam usaha merawat persatuan Republik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menyongsong abad kedua—dalam penanggalan Islam karena organisasi ini didirikan pada 1926—tantangan yang dihadapi NU tak akan lebih ringan. Persoalan di dalam dan luar negeri mungkin tak akan surut dan bisa berdampak pada organisasi ini. Dalam setiap hajatan politik, godaan dan tarikan ke kanan-kiri sudah pasti makin kencang. Dengan begitu, konsistensi NU sebagai organisasi sosial keagamaan, seperti yang dikehendaki para pendirinya, akan terus diuji.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tekad untuk melepaskan diri dari politik praktis memang telah dicetuskan sejak Muktamar NU di Situbondo, Jawa Timur, pada 1984. Namun, seiring dengan ramainya elite NU yang terlibat politik praktis, semangat itu terlihat memudar. Secara formal, organisasi NU mungkin tidak berpolitik praktis. Kenyataannya, karena keterlibatan tokohnya dalam politik elektoral, organisasi ini bergerak layaknya organisasi politik. Tokoh-tokoh itu menjadikan NU sebagai alat legitimasi dan tunggangan mengejar posisi politik.
Setelah era reformasi, sebagai organisasi kemasyarakatan Islam dengan basis massa yang besar, NU dikerubuti para pengail suara dalam setiap pemilihan umum. Pada dua pemilihan presiden, elite NU bahkan menjadi kontestan. Pada 2004, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Hasyim Muzadi digandeng Megawati Soekarnoputri sebagai calon wakil presiden. Tokoh NU yang lain, Salahuddin Wahid, menjadi pasangan Wiranto sebagai kandidat dari Partai Golkar. Empat tahun lalu, Rais Am NU Ma’ruf Amin terpilih sebagai wakil presiden, berpasangan dengan Joko Widodo di tengah masyarakat yang terpolarisasi.
Di luar mereka yang maju dalam pemilihan, sejumlah tokoh NU terlibat sebagai anggota “tim sukses” calon presiden setiap kali pemilu tiba. Para anggota tim sukses ini biasanya membawa calon presiden masing-masing ke kantong-kantong santri, mendandaninya dengan peci dan sarung, seakan-akan para calon itu warga nahdliyin. Ulah mereka yang menempatkan NU sebagai lumbung suara menyeret organisasi ini menjauh dari khitahnya.
Artikel:
Pada pemilihan presiden tahun depan, situasi tersebut bisa diprediksi terjadi lagi. Indikasinya sudah tampak. Tokoh yang diketahui berniat maju dalam pemilihan merapat ke NU. Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, misalnya. Setelah diangkat sebagai anggota Barisan Ansor Serbaguna NU pada akhir 2021, Erick diberi panggung sebagai Ketua Panitia Peringatan Satu Abad NU di Sidoarjo. Baliho bergambar dirinya bertebaran di Surabaya, yang bertetangga dengan Sidoarjo, di seputar hari peringatan itu.
Berkecimpung dalam organisasi sosial keagamaan sebenarnya sah-sah saja. Siapa pun yang punya niat tulus membesarkan organisasi demi kemajuan umat dan anggotanya jelas terpuji. Tapi, jika para tokoh politik hanya menjadikan NU sebagai kendaraan, hal itu akan merugikan organisasi ini di masa depan. Dengan politisasi yang terus terjadi, identitas NU menjadi kabur, antara organisasi sosial keagamaan dan organisasi politik. Jika itu yang terjadi, tekad kembali ke khitah tinggal menjadi romantisisme masa lalu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo