SEIICHIRO Sakata tersentak. Rentetan , ledakan membuat wartawan harian Yomiuri Shimbun ini terjaga dari tidurnya di Hotel Turismo, Dili. Ia melihat jam. Sekitar 15 menit lewat tengah malam. Artinya tahun 1989 baru berumur seperempat jam, karena waktu itu tanggal 1 Januari. Serangan Fretilin? Ini memang yang pertama kali terpikir oleh penduduk Kota Dili. Dan ini juga yang diakui perwakilan gerombolan pemberontak ini di Darwin, Australia. Bahkan, menurut juru bicara Fretilin, meledaknya gudang mesiu itu menyebabkan 84 tentara Indonesia tewas dan 27 luka-luka. Berita yang dimuat media Australia ini segera dibantah Indonesia. "Itu berita bohong," kata Jenderal Try Sutrisno, Panglima ABRI. "Saya baru saja kembali dari sana. Keadaan keamanan sudah baik dan terus membaik," tambah jenderal yang baru merayakan Natal di Dili ini. Justru membaiknya keadaan ini yang menyebabkan Sakata berada di Dili. Wartawan Jepang ini mendapat izin untuk meliput proses terbukanya provinsi termuda RI ini, terhitung 29 Desember lalu. Dan ramainya pesta penduduk Dili merayakan malam Tahun Baru memang mengesankan keadaan yang aman itu. Pada saat orang-orang baru pulang dari misa di gereja itulah rentetan ledakan itu terjadi. Menurut Sakata-san, ledakan itu berlangsung sekitar satu jam. Bahkan, menurut sebuah sumber TEMPO, baru pada pukul 4 pagi letusan di gudang mesiu ini benar-benar berhenti. Yang tersisa adalah puing-puing di gudang mesiu itu. Sebuah bangunan hancur total dan sebuah lagi masih tersisa sedikit. "Maklum, sebagian bangunan militer itu hanya terbuat dari tenda dan tripleks," kata sumber TEMPO tersebut. Beruntung tak ada korban tewas akibat ledakan. Menurut Sakata, yang berada di Tim-Tim selama sepekan, ia hanya mendengar, malam itu ada dua orang yang tewas akibat kecelakaan lalu lintas ketika mengungsi. Selain itu, setelah ledakan usai, ternyata keadaan kembali aman. Karena itu, menurut Sakata, "Saya kira ledakan itu kecelakaan saja." Pendapat Sakata itu didukung oleh sumber TEMPO lainnya. "Dalam penyelidikan kami, ledakan itu terjadi karena korsluiting listrik," katanya. Mungkin dalam merayakan Tahun Baru, listrik yang digunakan terlalu banyak. "Diduga, beban listriknya terlalu tinggi," tambah sumber tadi. Itulah sebabnya, Jenderal Try mengatakan pengakuan juru bicara Fretilin di Australia itu "Sekadar propaganda saja yang harus di-counter." Dan upaya counter pemerintah yang paling canggih adalah melalui Keppres 62 Tahun 1988. Yakni menyamakan status Timor Timur (Tim-Tim) dengan provinsi lainnya. Ini, menurut Gubernur Carrascalao, berarti siapa saja dapat berkunjung ke daerahnya tanpa perlu surat izin seperti sebelumnya. Termasuk untuk orang asing. "Jadi, sama seperti mau ke Bali, Kupang, atau Ambon," katanya, seperti dikutip Suara Pembaruan Senin pekan ini. Dan hal ini, menurut sumber TEMPO yang baru berkunjung ke Tim-Tim, "sudah berjalan lancar sejak 12 Januari lalu." Ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia sudah yakin benar bahwa keamanan di wilayah ini sudah mantap. Apalagi, menurut sumber TEMPO tadi, semangat gerombolan bersenjata Fretilin sudah semakin lemah. Terbukti dalam dua bulan ini, sudah 17 anak mereka, yang selama ini tinggal di hutan, diserahkan kepada para pastor di wilayahnya. "Yang mereka inginkan sekarang adalah menyerah, dengan jaminan nyawa mereka aman," kata sumber itu. Rasa aman agaknya memang yang didambakan sebagian besar rakyat Tim-Tim. Sebab, seperti dikatakan seorang peninjau asing, "Trauma akibat kekerasan yang sempat terjadi di kawasan ini cukup dalam bekasnya." Maka, pembangunan fisik yang cukup pesat terjadi di wilayah ini memang harus diimbangi pembangunan lainnya. Itulah membangun "rasa aman" bagi penduduk. Kini, dengan dinyatakannya Tim-Tim sebagai wilayah terbuka, tugas Gubernur Carrascalao untuk menumbuhkan "rasa aman" ini agaknya menjadi semakin ringan. Lebih lagi kalau masyarakat Tim-Tim sudah merasa, status mereka kini sama dengan penduduk Indonesia lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini