Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Seks Bebas Di Pulau-Pulau Riau

Loekman soetrisno, staf p3k UGM, mengemukakan pemanfaatan zona ekonomi eksklusif di riau jadi masalah karena dikuasai oleh nelayan asing. Hasil penelitian itu disangkal keras dirjen perikanan soeprapto.

21 Januari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH redup cerita pukat harimau, kini nelayan di Provinsi Riau menghadapi musuh baru. "Mereka saling berebut ikan di laut dengan nelayan Thailand," kata Profesor Mubyarto dari UGM. Nelayan Thailand? Begitulah. Rupanya penangkap ikan dari negeri Ratu Sirikit itu kini jadi saingan baru nelayan setempat. Ini adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan (P3K) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada bulan Agustus dan September tahun lalu di Riau. Penelitian lembaga yang dipimpin Mubyarto itu, Kamis dua pekan lalu, diseminarkan di P3K UGM. Salah satu hasil temuan penting, menurut Loekman Soetrisno, pemanfaatan perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) di Riau untuk kesejahteraan nelayan Indonesia masih jadi masalah. Betapa tidak? Pengembangan perikanan di kawasan itu dikuasai oleh nelayan asing. "Kalau nelayan Malaysia dan Singapura sudah masalah lama. Tapi munculnya nelayan Thailand di Riau merupakan peristiwa baru," kata staf P3K UGM itu. Pada waktu penelitian itu dilakukan misalnya, puluhan nelayan dari Kecamatan Bintan Timur, Kabupaten Kepulauan Riau, mengadu kepada bupati setempat karena kapal-kapal ikan Thailand makin berani saja memasuki perairan mereka, 12 mil dari garis pantai. Malah tiga bulan lalu sejumlah nelayan sempat menggiring dua kapal Thailand yang "nakal" itu ke pantai. Aparat keamanan di sana berhasil menenteramkan nelayan yang marah dan ingin membakar kedua kapal itu. Tapi kemudian Pemda Kepulauan Riau melepaskan kedua kapal itu setelah mereka menandatangani surat pernyataan untuk tak mengulangi perbuatannya. "Menyedihkan memang, mereka itu tambah brutal dan jumlahnya tambah banyak saja," kata Abdul Razak, Ketua HNSI Kabupaten Kepulauan Riau, kepada TEMPO. Padahal, kata Abdul Razak, kehidupan nelayan di Riau umumnya pas-pasan. Umumnya mereka tinggal di pulau-pulau kecil. Tiap desa berpenghuni antara 20 dan 50 keluarga. Jarak antara satu pulau dan pulau lainnya rata-rata bisa ditempuh dengan perahu motor selama dua sampai tiga jam. Selain nelayan, mereka juga menanam kelapa dan pisang. Rumah mereka sangat sederhana kebanyakan gubuk dengan atap rumbia. Bukan itu saja. Di dalam seminar tadi, Kepala Bidang Penelitian Bappeda Riau M. Helmi melaporkan bahwa para nelayan Thailand itu bersikap seakan perampok. Mereka, kata Helmi, mendirikan tenda-tenda di pantai, mencuri ayam dan tanaman penduduk, serta memperagakan seks bebas di tenda-tenda itu, yang tentu saja menyakitkan hati penduduk setempat. Keluhan serupa juga terjadi di Malaysia. Mereka sering bentrok dengan nelayan setempat. Bahkan, kata Mubyarto, "Ada kapal ikan Thailand yang dilengkapi dengan senjata api, atau dilindungi oleh kapal-kapal besar bersenjata untuk menangkap ikan di Malaysia." Akan tetapi, menurut Mubyarto, yang awal Januari lalu mengunjungi Malaysia, pemerintah Malaysia cukup siap menghadapi kebrutalan itu. Cukup banyak kapal ikan Thailand yang ditangkap dan dihukum di sana. Sebuah kapal yang diketahui mencari ikan secara liar di perairan mereka bisa didenda Mal.$1 juta atau sekitar Rp625 juta. Selain itu, setiap kapal asing yang beroperasi di Malaysia diwajibkan menggunakan awak kapal (ABK) yang berasal dari penduduk setempat. "Di Indonesia kita belum siap menjaga dan melindungi kekayaan laut kita dan nelayan tradisional yang menggantungkan pencahariannya di sana," kata Mubyarto. Sebab, sampai saat ini Indonesia belum memiliki undang-undang perikanan yang betul-betul melindungi kekayaan laut, khususnya ikan, seperti yang sudah ada di Malaysia. Apalagi dalam penelitian yang dilakukan tadi, ketiadaan undang-undang itu dikaitkan dengan zona ekonomi eksklusif (ZEE). Di dalam kongres hukum laut (Law of the Sea Convention) 1982, diakui eksistensi ZEE. Ini adalah konsep baru yang mengakui bahwa wilayah sampai sejauh 200 mil di sekitar kawasan teritorial laut suatu negara, diakui sebagai zona ekonomi eksklusif. Kemudian Dirjen Perikanan mengizinkan kapal nelayan asing untuk mencari ikan di wilayah baru itu dengan syarat "membayar pungutan lisensi (ZEE Fee) sebesar lebih kurang Rp37 juta per kapal per tahun". Di Indonesia ada sekitar 827 kapal asing yang beroperasi di perairan ZEE itu. Dari jumlah itu 200-an kapal di antaranya beroperasi di perairan Riau. Komandan Pangkalan Utama Angkatan Laut (Danlantamal) Tanjungpinang Kolonel (Laut) Prapto mengakui, "Memang terkadang perbuatan nelayan Thailand itu keterlaluan". Tapi tak semua nelayan Thailand berperilaku kasar, katanya. Dengan peralatan yang lebih canggih, mereka memang sering masuk ke kawasan perairan 12 mil. Pihaknya, kata Prapto, bukannya tidak mau menangkap kapal-kapal itu. Yang penting pembuktiannya. Kapal patroli TNI-AL harus di jaga kredibilitasnya, jangan sampai terjadi salah tangkap, lalu dibebaskan di pengadilan. Hasil penelitian itu disangkal keras oleh Dirjen Perikanan Soeprapto. "Kalau benar nelayan Thailand itu memasuki perairan nelayan tradisional, mereka akan ditangkap, kapal dan ikannya disita. Mereka akan didenda lagi Rp25 juta," katanya. Menurut Soeprapto, Pemerintah telah membuat ketentuan untuk mengatur penangkapan ikan di ZEE yang melindungi nelayan Indonesia. Misalnya, dengan dua SK Menteri Pertanian pada tahun 1988, diatur bahwa nelayan asing dilarang menggunakan pukat. Sejak Desember tahun lalu kapal asing -- yang dulu dibolehkan menjual hasil tangkapannya ke luar negeri -- tak diperpanjang lagi ijinnya. "Mereka hanya boleh mengambil ikan di sebelah utara tiga derajat Lintang Utara," kata Soeprapto. Di sini pun ada kewajiban bagi kapal asing untuk mempekerjakan orang Indonesia sedikitnya 30% dari jumlah awak kapal. Tapi menurut sang Dirjen, tenaga ABK yang ada tak mampu memenuhi kebutuhan kapal asing. Kini Ditjen Perikanan sedang mendidik sejumlah ABK untuk mencukupi kebutuhan itu. Betapapun, akhirnya Soeprapto sendiri mengakui bahwa aparat dan peralatan yang ada memang belum bisa mengcover perairan ZEE yang begitu luas. Padahal selain undang-undang yang jelas, aparat pengawasan yang cukup, yang lebih penting lagi, "Dibutuhkan aparat yang jujur untuk mengawasi undang-undang itu," kata Loekman Soetrisno. AN, Slamet Subagyo, Rustam F. Mandayun, Affan Bey

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus