Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Sebaiknya Presiden Megawati Pergi ke Dili

Kalangan DPR menyarankan agar Megawati menimbang masa lalu dan tidak pergi ke Dili. Saran yang tidak menatap masa depan.

5 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAYANGKAN jika Presiden Megawati tidak menghadiri pelantikan presiden baru Timor Loro Sa'e, Xanana Gusmao, pada 20 Mei nanti di Dili. Tuduhan bisa macam-macam. Indonesia bisa dituduh masih "sakit hati" akibat lepasnya wilayah yang pernah jadi provinsi ke-27 RI itu. Jakarta bisa dianggap sebuah pemerintahan yang berpandangan sempit, terbenam oleh masa lalu, dan masih menyimpan dendam sejarah. Lagi pula undangan ke Dili datang dari Sekretaris Jenderal PBB, sehingga Presiden Megawati bisa dianggap kurang mengikuti tata krama pergaulan dunia jika memutuskan tidak datang tanpa alasan yang jelas. Pasti Jakarta—yang berseberangan "tembok" dengan Loro Sa'e—sulit menjelaskan mengapa orang pertamanya tidak muncul, sementara di Dili hadir Perdana Menteri Portugal, mantan presiden AS Bill Clinton, Perdana Menteri John Howard, belasan petinggi dunia, dan tentu saja Sekjen PBB Kofi Annan. Memang ada saran dari DPR dan sebagian kalangan TNI bahwa sebaiknya Presiden menimbang masa lalu sebelum memutuskan pergi. Presiden Mega pastilah sangat mempertimbangkan saran itu. Tentu ia tak ingin polemik baru bergulir, sementara soal dana banpres dan soal amandemen UUD 45 belum lagi selesai. Tapi, dengan segala pertimbangan, majalah ini sangat setuju jika Presiden Megawati memenuhi undangan ke Dili. Justru dengan melangkah ke masa depan, kita bisa menyelesaikan sebagian persoalan masa lalu. Kita tahu Xanana Gusmao adalah tokoh yang paling moderat di sana. Dia sekaligus tokoh yang paling bersahabat dengan Indonesia walau pernah dipenjarakan oleh Jakarta. Benar bahwa Xanana menang 83 persen dalam pemilu dua pekan lalu di negeri berpenduduk 800 ribu jiwa itu. Tapi parlemen Loro Sa'e—disebut Dewan Konstituante—dikuasai pendukung Perdana Menteri Mari Alkatiri. Sekitar 80 persen kursi parlemen dikuasainya. Kekuasaan Perdana Menteri Alkatiri ini juga luas. Hampir semua kewenangan pemerintahan ada di tangannya, sementara Presiden Xanana hanya memiliki kewenangan di bidang pertahanan-keamanan dan luar negeri. Dan siapa pun tahu bahwa Alkatiri jauh lebih tidak bersahabat dengan Indonesia dibandingkan dengan Xanana Gusmao. Selama lebih dari 20 tahun masa "pembebasan" Timor Timur dari tangan Indonesia, Alkatiri banyak berada di Mozambik sebagai dosen yang menyebarkan semangat anti-integrasi Tim-Tim dengan Jakarta. Ia tak kenal Jakarta sama sekali. Berbeda dengan Xanana, yang banyak punya "teman" di Jakarta. Pemimpin baru ini dari dulu yakin bahwa Loro Sa'e harus berhubungan baik dengan Jakarta, bahkan lebih baik dibandingkan dengan Australia. Jika Jakarta menyambut ajakan bersahabat Xanana itu, ada begitu banyak persoalan yang bisa diselesaikan. Yang paling penting adalah soal pemulangan (repatriasi) sekitar 100 ribu pengungsi Loro Sa'e yang kini berdiam di Timor Barat. Akibat referendum di Tim-Tim pada tahun 1999, sebagian rakyat Tim-Tim yang prointegrasi dengan Indonesia mengungsi ke sana. Xanana—sebelum terpilih—sudah dua kali mengajak para pengungsi itu pulang. Tentu, dengan jabatan presiden yang lebih berbobot dan menentukan, Xanana bisa membujuk para pengungsi itu pulang. Satu problem besar akan segera selesai. Jakarta punya banyak kenangan di Loro Sa'e. Misalnya makam para prajurit TNI yang tewas di sana. Siapa tahu dengan datangnya Presiden Megawati nanti makam para prajurit itu tidak lantas dijadikan kebun singkong seperti kabar yang beredar selama ini. Xanana dengan rasa persahabatannya mungkin akan setuju jika makam itu tetap dijaga baik. Mungkin juga urusan-urusan lama, misalnya soal pelanggaran hak asasi manusia, soal fasilitas publik yang dibangun Jakarta—jika masih tersisa—bisa lebih enak dirundingkan jika Jakarta bisa "merangkul" presiden baru itu. Sebaiknya Presiden Mega datang ke Dili. Bukankah kita tak mau membiarkan masa lalu menjerat kita, menghambat langkah kita menuju masa depan yang lebih bersahabat dengan jiran di "balik tembok" itu?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus