SEBAGAI jenderal, Gubernur Sutiyoso tahu benar betapa pentingnya taktik untuk bisa menang dengan biaya minimum. Ketika rencana membuka kasino di Kepulauan Seribu mendapat reaksi gencar dari sudut sana-sini, persiapan yang sebenarnya sudah cukup jauh itu olehnya diturunkan tingkatnya menjadi masih "wacana" saja. Padahal hampir semua sudah dikerjakan, dari studi kelayakan, pemilihan investor, sampai memohon anggukan dari atasan.
Selain masalah hukum, soal pembenaran perjudian memang senantiasa adalah wacana multikompleks (baca: ruwet) yang menyangkut asas manfaat dan segi moral. Yang pragmatis akan berpegang pada kebaikan dari manfaat yang dihasilkan dan menghindari ujian yang memakai nilai mutlak yang abadi—kaidah agama murni, misalnya—sebagai mistar pengukur moralitas.
Pendekatan pragmatis dalam soal membolehkan judi ini bukan tak pernah berhasil. Selain di banyak negeri di dunia, di Jakarta 33 tahun yang lampau Gubernur Ali Sadikin me-nerobos halangan legal dan sosial untuk menyelenggarakan perjudian, menambah isi pundi-pundi untuk membiayai pembangunan daerahnya. Hanya sedikit orang yang tak memuji hasilnya, walau keberaniannya itu juga membuahkan julukan "gubernur maksiat" baginya. Jurus legal yang dipakainya tatkala itu ialah undang-undang tentang peraturan pajak daerah (Undang-Undang No. 11/Drt/1957), yang mencantumkan bahwa kepala daerah boleh memungut "pajak atas izin mengadakan perjudian".
Rupanya, perjudian dibolehkan sepanjang memperoleh izin. Ini sejalan dengan rumusan hukum pidana (Pasal 303 KUHP), yang melarang perbuatan melakukan perjudian oleh "barang siapa tanpa mendapat izin" untuk itu. Sampai saat ini pun sebenarnya peraturan perundang-undangan yang menyusul (Undang-Undang No. 7/1974 tentang Penertiban Perjudian) juga tetap menganggap "tindak pidana perjudian" sebagai kejahatan, bukan "perjudian" itu sendiri. Dan tindak pidana perjudian, sebagaimana rumusan KUHP, ialah yang tanpa izin atau judi gelap.
Tapi belum tentu lokalisasi perjudian dalam kasino akan mulus karena ada celah hukum yang tersedia. Kendala nilai moral masyarakat dan politik tidak bisa diabaikan begitu saja. Keduanya bisa melumpuhkan, sekalipun operasi judi itu telah memperoleh semacam legalisasi. Ali Sadikin termasuk beruntung. Sebab, faktor suksesnya tidak cuma berkat kepemimpinannya yang kuat, tapi juga karena pada zaman itu lebih mudah mengontrol protes masyarakat ataupun kecaman pers karena atmosfernya masih represif. Partai politik dan badan perwakilan rakyat juga tidak punya taring seperti yang tampak menonjol sekarang.
Persoalan judi memang pelik. Sebenarnya tidak ada yang percaya bahwa judi gelap tidak bisa diberantas kalau ada kemauan pemerintah dan disiplin aparat penegak hukum. Tapi, kenyataannya, judi menjamur di mana-mana dan sudah jadi rahasia umum bahwa uang proteksi judi setengah resmi ini secara reguler dinikmati berbagai aparat negara, bahkan untuk menambal lubang anggaran operasi dan kesejahteraannya.
Agak berbau munafik kalau Gubernur Sutiyoso mengatakan tujuan lokalisasi judi terutama ialah mengurangi dampak sosialnya, sedangkan tujuan menaikkan pendapatan asli daerah (PAD) merupakan prioritas nomor empat. Kita harus berhati-hati dalam memutuskan perlunya lokalisasi (dus legalisasi) ini. Bila pendekatan pragmatis yang dipilih, seharusnya dilakukan dengan legislasi setingkat undang-undang, yang berarti diputuskan oleh DPR. Bukan cuma dengan keputusan presiden atau peraturan pemerintah.
Dan undang-undang baru itu harus mengandung keadilan, agar semua daerah dan tingkat penyelenggaran perjudian—besar ataupun kecil—mendapat kesempatan sama sepanjang bisa memenuhi persyaratan yang ditentukan. Prioritas diberikan kepada daerah yang berpendapatan rendah, dan prosesnya terbuka. Kalau belum bisa begitu, lebih baik tunda dulu dan lanjutkan berwacana saja sementara ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini