Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan bagi anak Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden mempertontonkan rusaknya sistem hukum kita. Di lembaga yang semestinya menjadi penjaga konstitusi itu, Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman melakukan segala cara agar keponakannya bisa berlaga dalam pemilihan presiden 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hakim konstitusi menerima gugatan Almas Tsaqibbirru Re A agar Mahkamah Konstitusi mengubah Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu yang mengatur usia minimal calon presiden dan wakil presiden 40 tahun dengan menambahkan klausa “atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten-kota”. Pengabulan tuntutan ini membuat Gibran yang baru berusia 36 tahun bisa menjadi kandidat di Pemilu 2024 karena menjabat Wali Kota Solo.
Almas tidak memiliki alasan legal menguji pasal tersebut. Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta ini tak punya kaitan dengan isi permohonannya. Kalaupun gugatannya ditolak, ia tidak memiliki kerugian konstitusional. Modalnya hanya klaim sebagai pengagum Gibran.
Hakim konstitusi seharusnya menolak gugatan itu. Apalagi hakim sudah menolak mengadili gugatan usia minimal calon presiden dan wakil presiden. Dalam banyak kasus sebelumnya, hakim konstitusi sangat ketat memeriksa legal standing pemohon—termasuk menolak gugatan bila mereka tidak punya posisi hukum yang jelas. Untuk gugatan Almas, para hakim langsung memprosesnya.
Apalagi kuasa hukum Almas mencabut permohonan pada 29 September 2023, lalu pemohon membatalkan pencabutan itu esoknya. Dari sini kita bisa menilai penggugat tidak serius mengajukan permohonan. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang tegas mengatur permohonan yang sudah ditarik tidak bisa diajukan kembali. Bukannya menerbitkan penetapan pencabutan permohonan, Mahkamah Konstitusi malah memundurkan tanggal pencatatan pembatalan pencabutan perkara.
Benturan konflik kepentingan sudah terlihat jauh sebelum putusan dibacakan pada 16 Oktober 2023. Pada 9 September lalu, dalam kuliah umum di Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, Anwar Usman membahas pentingnya sosok pemimpin muda. Pernyataan Anwar di depan mahasiswa baru itu mengindikasikan pandangannya mengenai perkara yang tengah diproses oleh Mahkamah Konstitusi.
Apa yang dilakukan Anwar Usman jelas melanggar kode etik. Pasal 17 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman juga mengharuskan hakim konstitusi tak ikut memeriksa perkara bila ia dan keluarganya punya kepentingan atas putusan itu. Tak hanya ikut memberikan putusan, Anwar Usman juga diduga berusaha mempengaruhi hakim lain agar mengabulkan gugatan tersebut.
Dalam amar putusan, hakim konstitusi menambahkan klausa “pernah atau sedang menduduki jabatan melalui pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah” pada Pasal 169 UU Pemilu itu. Padahal klausa ini tak tertera dalam naskah gugatan. Tindakan hakim konstitusi ini jelas melampaui kewenangan karena bertindak seperti anggota legislatif.
Apa yang dilakukan para hakim konstitusi menabrak prinsip independensi, integritas, kepantasan, dan kecakapan, sejalan dengan studi komparatif Tom Ginsburg (2018). Ginsburg menemukan pembalikan demokrasi di banyak negara terjadi karena pembajakan terhadap pengadilan konstitusi. Caranya mengendalikan komposisi hakim, dari proses penunjukan hingga penggantiannya. Pembajakan terhadap Mahkamah Konstitusi Indonesia dimulai saat Dewan Perwakilan Rakyat mencopot hakim Aswanto karena ia acap menganulir undang-undang yang disahkan DPR.
Baca liputannya:
- Bagaimana Anwar Usman Mengatur Putusan Mahkamah Konstitusi
- Siapa Calon Wakil Presiden Prabowo Subianto?
- Mengapa Megawati Memilih Mahfud Md Sebagai Pendamping Ganjar Pranowo?
- Krisis Demokrasi Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi
Dengan pembajakan ini, sulit membayangkan Mahkamah Konstitusi menjadi wasit yang adil dalam menyelesaikan sengketa Pemilu 2024. Ibarat pertandingan sepak bola, hakim konstitusi telah menjadi pemain ke-12 yang berpihak.
Untuk mencegah krisis berlanjut, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi harus menggelar sidang etik mengusut dugaan pelanggaran para hakim, termasuk Anwar Usman. Meski tidak menggugurkan putusan, Majelis Kehormatan bisa memecatnya. Bersih-bersih ini penting untuk mengembalikan muruah Mahkamah Konstitusi sekaligus mencegah kemunduran demokrasi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Mahkamah yang Kehilangan Muruah"