Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Penyelesaian Bermasalah Pelanggaran HAM Berat

Penyelesaian non-yudisial kasus pelanggaran HAM berat terlalu berfokus pada pemberian kompensasi. Bisa melanggengkan impunitas.

9 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA tak dibarengi langkah lain, kebijakan Presiden Joko Widodo mendorong penyelesaian non-yudisial kasus pelanggaran hak asasi manusia sulit memenuhi rasa keadilan korban. Dengan memberikan kompensasi semata, tidak ada jaminan pelanggaran HAM tak berulang di masa depan. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat harus diikuti dengan pelurusan sejarah dan perubahan kurikulum pendidikan nasional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada akhir Juni lalu, Presiden Jokowi secara resmi memulai proses pemberian kompensasi untuk korban dalam 12 kasus pelanggaran HAM berat. Peluncuran kebijakan ini ditandai oleh seremoni di lokasi salah satu kasus pelanggaran HAM berat, yakni di Rumoh Geudong, Pidie, Aceh. Ironisnya, seremoni itu diprotes sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang menyesalkan pembersihan bekas lokasi penyiksaan warga Pidie tersebut dari puing. Artefak sejarah yang seharusnya dijaga dan dilestarikan untuk merawat memori kolektif soal peristiwa memilukan itu justru disingkirkan demi kelancaran upacara yang dihadiri Presiden dan sejumlah menteri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Insiden pembersihan di Rumoh Geudong sejatinya mencerminkan kelirunya pendekatan Presiden dan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dipimpin Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. Tak hanya salah menerjemahkan aspirasi warga dan keinginan korban yang berkeras mempertahankan bukti sejarah yang tersisa di Rumoh Geudong, tekanan yang terlampau besar pada soal pemberian kompensasi kepada korban menunjukkan kegagalan pemerintah memahami esensi dari penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di negeri ini.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat ada 16 kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Empat kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur, Tanjung Priok (Jakarta), serta Abepura dan Paniai (Papua) sudah dibawa ke meja hijau lewat mekanisme yudisial. Namun semua terdakwa dalam kasus-kasus itu divonis bebas. Para hakim pengadilan ad hoc HAM menilai bukti yang disodorkan Kejaksaan Agung dan Komnas HAM untuk menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM yang meluas dan sistematis tidak cukup buat menjatuhkan vonis bersalah.

Penyelesaian di luar pengadilan melalui mekanisme Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) juga menemui jalan buntu. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 yang mengatur pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006. Akibatnya, mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM dengan jalur serupa yang sudah berjalan di Aceh kehilangan pijakan hukum. Tim penyelesaian pelanggaran HAM lewat jalur non-yudisial yang digagas Presiden Jokowi memang menawarkan solusi pragmatis di tengah kebuntuan ini.


Baca liputannya:


Masalahnya, iktikad baik itu tidak boleh berhenti di bibir saja. Tetap perlu ada upaya mencari keadilan retributif untuk korban yang masih menginginkan penyelesaian yudisial. Selain itu, untuk menjamin tidak ada lagi pelanggaran HAM berat di Indonesia, semua narasi publik dari lembaga negara harus diubah. Tak boleh lagi ada tafsir sejarah resmi, terutama dalam kurikulum pendidikan untuk siswa sekolah kita, yang masih memaklumi pelanggaran HAM. Jika ini tak dilakukan, inisiatif non-yudisial yang diluncurkan Presiden akan dicemooh sebagai kebijakan setengah hati yang justru melanggengkan impunitas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pesan Keliru Penyelesaian Kasus HAM"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus