Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Cara Mengenang Pelanggaran HAM Berat

Sejumlah negara membangun dan mempertahankan monumen pelanggaran HAM berat. Membuka cerita korban untuk mengungkap kebenaran.

9 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ACEH dan Timor Timur sama-sama pernah menjadi daerah operasi militer saat Orde Baru berkuasa. Pada masa itu pula di dua wilayah tersebut terjadi berbagai pelanggaran hak asasi manusia berat. Namun, soal peringatan atas pelanggaran HAM berat masa lalu, nasib Aceh dan Timor Timur tak serupa.

Di Aceh, pemerintah Indonesia berencana merobohkan Rumoh Geudong di Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie. Rumah panggung itu pernah menjadi tempat tentara menginterogasi dan menyiksa penduduk yang dituding terkoneksi dengan Gerakan Aceh Merdeka.

Sedangkan di Timor Timur, yang berganti nama menjadi Timor Leste setelah merdeka pada 20 Mei 2002, hampir tiga tahun setelah referendum 1999, pemerintahnya mempertahankan bangunan penanda pelanggaran HAM berat. Salah satunya Monumen Pahlawan Tanah Air di Distrik Ermera, dua jam perjalanan bermobil ke arah barat daya Kota Dili.

Di dekat situ ada makam Ana Lemos. “Ana menjadi salah satu korban pelanggaran hak asasi,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, Jumat, 7 Juli lalu. Usman pernah mendatangi monumen itu dan berbincang dengan ibunda Ana, Ines Lemos.

Kepada Usman, Ines bercerita bahwa putrinya yang menjadi guru sekolah dasar itu bersikap kritis terhadap kehadiran militer. Ia juga mendukung kemerdekaan Timor Leste. Ketika Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie mengizinkan referendum, Ana berkeliling Distrik Ermera untuk mengumumkan kabar tersebut. Ia juga bekerja untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menggelar jajak pendapat.

Baca: Pelanggaran HAM Berat dan Sesal Jokowi

Pada pagi buta yang dingin, 13 September 1999, milisi pro-integrasi menangkap Ana. Perempuan 34 tahun itu kemudian disiksa dan diperkosa. Jenazah Ana baru ditemukan pada November 1999 dengan kondisi penuh luka. “Makam Ana dijadikan memorialisasi,” ujar Usman.

Keluarga Ana, petinggi PBB, dan otoritas lokal rutin menggelar upacara peringatan di dekat monumen dan pusara Ana. Tak hanya mengenang tragedi, mereka juga merefleksikan perjuangan ibu tiga anak itu. Saat seremoni tahun 2019, putra Ana, Rivelino, menyampaikan eulogi untuk ibunya. “Kita perlu berkorban untuk masa depan tanah air ini,” tutur Rivelino mengulangi ucapan Ana.

Dikenal sebagai Operasi Seroja, invasi militer ke Timor Timur pada Desember 1975 dilancarkan pemerintah Indonesia. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Timur menemukan sedikitnya 18.600 warga Timor Timur tewas dan hilang selama masa pertempuran. Selain itu, 84 ribu orang diperkirakan meninggal karena sakit dan kelaparan.

Afrika Selatan juga menjadi negara yang mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Segregasi ras terjadi di Afrika Selatan sejak Partai Nasional berkuasa pada 1948. Diskriminasi dan kekerasan terhadap warga non-kulit putih berlangsung selama hampir setengah abad. Apartheid, begitu sistem politik pemisahan ras itu dikenal, berakhir pada 1991.

Usman menyebutkan pemerintah Afrika Selatan masih mempertahankan berbagai situs yang menandai peristiwa pelanggaran hak asasi. Di antaranya penjara Nelson Mandela di Pulau Robben, Cape Town. Hotel prodeo itu kini menjadi museum yang dapat dikunjungi oleh publik.

Baca: Jejak Apartheid di Pulau Maut

Menurut Usman, Afrika Selatan berhasil menangani kasus pelanggaran HAM berat masa lalu karena mau membuka cerita para korban kepada publik. Kesaksian mereka diperdengarkan dan disiarkan lewat radio. “Testimoni korban bisa melepaskan penderitaan dan membuat orang lain mengetahui kebenaran sesungguhnya,” kata mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sejarah di Pusara Ana"

Raymundus Rikang

Raymundus Rikang

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014 dan kini sebagai redaktur di Desk Nasional majalah Tempo. Bagian dari tim penulis artikel “Hanya Api Semata Api” yang meraih penghargaan Adinegoro 2020. Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta bidang kajian media dan jurnalisme. Mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) "Edward R. Murrow Program for Journalists" dari US Department of State pada 2018 di Amerika Serikat untuk belajar soal demokrasi dan kebebasan informasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus