Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SORE yang hening di Desa Bili, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, pecah oleh suara ekskavator. Aiyub Sakti, warga setempat, menyaksikan alat berat itu tiba-tiba masuk ke kompleks Rumoh Geudong. Di tempat itu, pada 1989-1998, terjadi pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh militer terhadap masyarakat Aceh.
Menurut Aiyub, 32 tahun, keranjang bercakar dari ekskavator langsung menggaruk tanah dan bebatuan besar di sekitar Rumoh Geudong. Tak lama kemudian, mobil-mobil berpelat merah datang. Sejumlah aparatur sipil negara berseragam cokelat pun menjejak di kawasan rumah panggung yang tinggal menyisakan anak tangga, sebagian tembok, serta sumur tua berlumut itu.
Aiyub, korban penyiksaan di Rumoh Geudong, langsung cemas melihat rombongan pegawai negeri berkerumun di sisa bangunan berusia lebih dari dua abad itu. “Saya khawatir petugas datang untuk meruntuhkan sisa bangunan Rumoh Geudong,” kata Aiyub kepada Tempo melalui panggilan telepon, Kamis, 6 Juli lalu.
Beberapa hari sebelumnya, Aiyub mendengar kabar bahwa pemerintah akan merobohkan sisa bangunan Rumoh Geudong. Sebagai gantinya, akan dibangun masjid dan tugu peringatan untuk mengenang kekejian di rumah itu. Pembangunan itu rencananya dimulai setelah Presiden Joko Widodo membuka peluncuran program penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat.
Tim Pemulihan Korban dan Pencegahan Pelanggaran HAM (PKPHAM) mengusulkan tiga lokasi acara peluncuran program. Selain Rumoh Geudong, ada Simpang PT Kertas Kraft Aceh (KKA) di Aceh Utara dan Jambo Keupok di Aceh Selatan. Semuanya menjadi lokasi pelanggaran HAM berat di tanah Aceh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Warga melihat monumen Rumoh Geudong di Desa Bilie Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Pidie, Aceh, 25 Juni 2023. Antara/Irwansyah Putra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usul itu lantas diajukan kepada Jokowi. “Presiden memilih Rumoh Geudong karena korbannya massal,” ujar Wakil Ketua PKPHAM Ifdhal Kasim kepada Tempo di Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, 5 Juli lalu.
Meski tinggal repihan, Rumoh Geudong memiliki arti penting bagi Aiyub. Di sana, 27 tahun lalu, ia disekap oleh aparat berbaret merah, warna khas Komando Pasukan Khusus. Bersama ibunya, Nyak Maneh, Aiyub yang saat itu masih berusia 6 tahun berkali-kali dipukul. Dia bebas setelah dikurung 9 hari. Namun Aiyub tak pernah melihat ibunya lagi.
Rukiyah juga cemas jika sisa-sisa Rumoh Geudong rata dengan tanah. Di rumah itu, pada 1990, ia menyaksikan suaminya yang dituduh anggota Gerakan Aceh Merdeka dibedil hingga tewas. Rukiyah juga mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh para tentara, yang hingga kini tak pernah diseret ke pengadilan.
Dalam bahasa Aceh Pidie, perempuan 65 tahun itu mengungkapkan harapannya agar sisa-sisa bangunan tetap dipertahankan sebagai bukti sejarah kelam. “Sisa-sisa rumah itu justru menjadi monumen bagi kami,” ucap Rukiyah seperti diterjemahkan anaknya, Hijriati, saat dihubungi pada Jumat, 7 Juli lalu.
Sesungguhnya Aiyub dan Rukiyah tak puas atas penyelesaian pelanggaran HAM berat di luar pengadilan. Keduanya melihat pemerintah tak serius memenuhi hak para korban. “Sampai sekarang tak ada permintaan maaf,” kata Rukiyah. Presiden Jokowi, dalam pidatonya pada 11 Januari lalu, hanya mengakui dan menyesalkan tragedi pelanggaran HAM berat masa lalu.
Baca: Pelanggaran HAM Berat dan Sesal Jokowi
Aiyub dan Rukiyah bahkan tak terdata sebagai korban pelanggaran HAM berat yang akan menerima kompensasi. Padahal keduanya telah mengantongi surat keterangan sebagai korban dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Sebelumnya, pemerintah mengumumkan akan menyerahkan kompensasi kepada korban berupa bantuan ekonomi, sosial, dan kesehatan.
Februari lalu, Aiyub pernah didata oleh utusan Tim PKPHAM. Namun namanya hilang dari daftar. Pada pertengahan Mei lalu, Aiyub mempertanyakan persoalan itu kepada petugas yang sempat mendatanya. “Saya dianggap bukan korban karena waktu peristiwa terjadi saya masih kecil,” ujar Aiyub. Sedangkan Rukiyah mengaku tak pernah didata oleh perwakilan pemerintah.
Direktur Pengembangan Aktivitas Sosial Ekonomi Masyarakat (Paska) Aceh, Farida Haryani, mempertanyakan metode pendataan korban pelanggaran HAM berat. Belasan tahun mengadvokasi korban tragedi Rumoh Geudong, ia mencatat jumlah korban di Pidie yang telah terdata di Komnas HAM lebih dari 50 orang. Sedangkan yang belum terdata mencapai ratusan.
Saat peluncuran program pemulihan hak korban, pemerintah mengumumkan bakal memberikan kompensasi kepada 27 orang. Mereka adalah penerima undangan forum diskusi dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu di Banda Aceh pada November 2022.
Menko Polhukam Mahfud MD memberikan keterangan pers terkait penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di Kemenko Polhukam, Jakarta, 23 Juni 2023. Antara/Hafidz Mubarak A
Selisih data tersebut membuat kelompok korban kasus HAM berat di Pidie gaduh. Farida mengatakan para korban mencurigai pemerintah ingin buru-buru meluncurkan program pemulihan hak korban. “Padahal data korban penerima kompensasi belum jelas,” katanya.
Pada akhir Mei lalu, Farida bersama beberapa kelompok masyarakat sipil Aceh menemui sejumlah anggota Tim PKPHAM. Dalam pertemuan di kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan itu, mereka mempersoalkan ketiadaan kriteria korban penerima bantuan. Mereka mendesak pemerintah segera melengkapi data.
Hasil dari pertemuan itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. meminta tim ad hoc mendata kembali dan memvalidasi korban-korban pelanggaran HAM berat. Ia menargetkan pendataan korban rampung akhir tahun ini. Tatkala mengunjungi Pidie pada Selasa, 27 Juni lalu, Mahfud berkata, “Data korban HAM berat baru berasal dari Komnas HAM.”
Anggota Tim PKPHAM, Beka Ulung Hapsara, mengatakan pendataan dan verifikasi korban membutuhkan waktu panjang. “Jika ada korban yang belum terdata sebelum kick-off, segera kami proses,” tutur mantan anggota Komnas HAM itu di Permata Hijau, Jakarta Selatan, Rabu, 5 Juli lalu.
Adapun Presiden Jokowi saat meluncurkan program penyelesaian pelanggaran HAM berat non-yudisial mengklaim pemulihan hak korban pada 12 kasus hak asasi manusia segera terwujud. “Ini menandai komitmen bersama untuk melakukan upaya-upaya pencegahan agar hal serupa tak akan pernah terulang kembali di masa yang akan datang,” ujar Presiden.
Baca: Solusi Buru-buru Pelanggaran HAM Berat
•••
HAMPIR saban hari sepanjang Mei lalu, Tim Pemulihan Korban dan Pencegahan Pelanggaran HAM Berat menggelar rapat maraton bersama 19 perwakilan kementerian dan lembaga pemerintah. Dari hotel ke hotel, mulai Park Hyatt sampai Pullman di Jakarta Pusat, rapat tertutup itu membahas rencana peluncuran program penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non-yudisial.
Anggota PKPHAM yang juga bekas Wakil Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Letnan Jenderal (Purnawirawan) Kiki Syahnakri, bercerita, pembahasan pemulihan hak korban terganjal sejumlah masalah. Kementerian dan lembaga yang ditunjuk ikut menyediakan layanan kompensasi bagi korban kurang mampu menerjemahkan rekomendasi PKPHAM.
Dalam rekomendasinya, Tim PKPHAM menyarankan pemerintah memberikan bantuan yang berbeda kepada setiap korban, disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Cara ini bertujuan mencegah kompensasi yang diterima korban seperti bantuan sosial semata. “Sayangnya, banyak lembaga dan kementerian kurang menangkap,” kata Kiki di Jakarta Selatan, Rabu, 5 Juli lalu.
Meski penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat non-yudisial disiapkan sejak 2022, perkara anggaran masih menjadi kendala. Sepanjang rapat antar-kementerian dan lembaga berlangsung, persoalan anggaran menjadi perdebatan. Pasalnya, pemerintah belum menghitung anggaran khusus yang dibutuhkan untuk memulihkan hak-hak korban.
Ditemui Tempo di kantornya, kompleks Istana Negara, pada Kamis, 6 Juli lalu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebutkan pemerintah akan menggunakan anggaran existing di tiap kementerian dan lembaga. “Kalau sudah diprogramkan, pasti ada alokasinya,” ucap bekas Panglima TNI ini. Berbagai kendala itu membuat waktu kick-off mundur dari awal menjadi akhir Juni.
Rapat Tim PKPHAM dan perwakilan 19 lembaga negara tak hanya membahas teknis pemberian kompensasi. Mereka juga mempersiapkan kontra-narasi untuk menangkal komentar-komentar negatif dari publik mengenai langkah pemerintah dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat secara non-yudisial.
Sejak pemerintah mengumumkan akan menempuh jalur penyelesaian non-yudisial untuk 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, penolakan dari berbagai organisasi pembela hak asasi menderas. Para aktivis khawatir cara ini hanya akan mengaburkan upaya penyelesaian HAM berat melalui jalur pengadilan. “Jadi kontra-narasi itu disiapkan,” tutur Kiki Syahnakri.
Baca Wawancara Ketua Tim PPHAM Makarim Wibisono: Kalau Cuma Minta Maaf Tak Punya Dampak Besar
Tim PKPHAM juga mendekati para korban pelanggaran HAM berat agar tak menolak mekanisme penyelesaian di luar pengadilan. Salah satunya dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia di Wamena, Papua, pada 2003. Para korban di sana menuntut insiden berdarah itu diselesaikan lewat pengadilan internasional dan melibatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kiki menuding para korban yang menolak penyelesaian non-yudisial telah terpengaruh oleh kelompok pro-kemerdekaan Papua. Ia lantas melobi tokoh gereja dan tokoh adat di Wamena untuk membujuk korban menerima penyelesaian yang ditawarkan pemerintah. “Dari tokoh-tokoh itu, kami bisa masuk ke korban,” ia mengklaim.
Di Aceh, jurus mendekati para korban juga dilancarkan agar mereka mendukung penyelesaian pelanggaran HAM berat tanpa ketokan palu hakim. Aktivis Asia Justice and Rights (Ajar) yang mendampingi korban Simpang KKA, Mulki Makmun, bercerita bahwa seorang korban yang menolak jalur non-yudisial didatangi petugas berseragam pada tengah malam, Mei lalu.
Berdalih melakukan pendataan, petugas itu meminta korban tak menggelar aksi yang menentang pemerintah saat Jokowi datang ke Aceh. “Korban diminta tidak berbuat macam-macam,” ujar Mulki saat dihubungi pada Selasa, 4 Juli lalu.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko membantah jika disebut ada tekanan terhadap para korban. Ia menyatakan korban pelanggaran HAM berat dan keluarganya berhak menolak mekanisme yang ditawarkan pemerintah. “Toh, saat ini responsnya sangat baik, publik melihat Presiden punya niat menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat,” katanya.
Kepada Tempo pada Kamis, 6 Juli lalu, tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden, Siti Ruhaini Dzuhayatin, menimpali bahwa jalur penyelesaian HAM secara non-yudisial tak menggantikan mekanisme yudisial. Ia berharap para korban dan keluarganya memahami bahwa penyelesaian kasus HAM di pengadilan membutuhkan waktu. “Karena memerlukan bukti yang kuat,” ujarnya.
Nyatanya, pelbagai kasus HAM berat yang direkomendasikan Komnas HAM untuk diselesaikan secara hukum tak kunjung dibawa ke meja hijau. Kasus-kasus itu mandek di Kejaksaan Agung. Pada masa pemerintahan Jokowi, hanya satu kasus, yaitu pelanggaran HAM berat di Paniai, Papua, yang sampai di pengadilan. Namun terdakwanya, Mayor (Purnawirawan) Isak Sattu, divonis bebas.
Baca: Kenapa Kasus Paniai Bisa ke Pengadilan?
Upaya pemerintah menyelesaikan pelanggaran HAM berat di luar pengadilan terus menuai kritik. Mulki Makmun menganggap pemerintah tak punya peta jalan yang jelas. Ia menilai pemerintah buru-buru menyelesaikan kasus HAM berat sebelum kepemimpinan Jokowi berakhir pada 2024.
Indikasinya, kata Mulki, pemerintah hanya memberi waktu Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM tiga bulan untuk merumuskan solusi terhadap 12 kasus hak asasi manusia berat. “Akhirnya semua jadi semrawut,” ucapnya.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Fatia Maulidiyanti, menyesalkan upaya pemerintah yang menekankan penyelesaian non-yudisial. Lambat laun usaha untuk mencari pelaku pelanggaran HAM berat menjadi samar-samar. “Ini mempertontonkan impunitas hukum kepada pelanggar HAM di Indonesia,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Rosseno Aji dan Imam Hamdi berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Luka Baru Korban Lama"