Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Spiral Kekerasan di Kashmir

Kashmir, wilayah indah di kaki Gunung Himalaya yang diperebutkan India dan Pakistan, telah menjadi teater kekerasan kedua negara sejak lebih dari delapan dekade.

8 Maret 2019 | 07.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Polisi berjaga di jalan selama jam malam di Jammu, Kashmir, 17 Februari 2019.[REUTERS/Mukesh Gupta]

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Smith Alhadar
Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kashmir, wilayah indah di kaki Gunung Himalaya yang diperebutkan India dan Pakistan, telah menjadi teater kekerasan kedua negara sejak lebih dari delapan dekade. Bahkan, dua dari tiga perang besar antara India dan Pakistan sejak merdeka dari Inggris pada 1947 dipicu oleh isu Kashmir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Krisis saat ini dimulai pada 14 Februari ketika kelompok Jaish-e Mohammed (JeM), yang berbasis di Punjab, Pakistan, melancarkan bom bunuh diri di Pulwama, wilayah Kashmir yang dikontrol India, yang menewaskan 44 pesonel paramiliter India. Menganggap JeM dipelihara Pakistan, pada 26 Februari, India melancarkan serangan udara jauh ke dalam wilayah Pakistan untuk membom kamp latihan JeM. Sehari kemudian, Pakistan melancarkan serangan udara jauh ke dalam wilayah India dan menembak jatuh dua jet tempur tetangganya itu. Kini, kedua negara terlibat baku tembak lintas perbatasan menggunakan artileri.

Kendati ada upaya menekan eskalasi, kedua negara masih memberlakukan siaga tinggi. Serangan JeM telah membuat pemerintahan Perdana Menteri India Narendra Modi, pemimpin partai sayap kanan Hindu Bharatiya Janata Party (BJP) yang selama ini konsisten mengklaim bahwa keamanan menjadi prioritas pemerintahannya, dalam posisi sulit. Apalagi, kinerja ekonomi pemerintahan Modi melambat belakangan ini, sedangkan pemilihan umum India akan bergulir bulan depan dan Modi mencalonkan diri untuk periode kedua. Pemerintahan Modi juga tidak dalam posisi untuk menerima tawaran dialog dari Perdana Menteri Pakistan Imran Khan. Serangan balasan Pakistan merupakan keniscayaan pemerintahan Khan dan militer Pakistan. Bila berdiam diri, hal itu merupakan bunuh diri politik pemerintahan Khan. Sedangkan militer Pakistan akan mengalami erosi legitimasi dan semangat juang prajurit.

Jika tidak ditangani secara hati-hati dan bijaksana, krisis ini dapat berujung pada perang dua negara yang punya senjata nuklir. Pakistan menyatakan telah mengambil tindakan terhadap JeM. Namun, tentu tidak mudah meyakinkan India. Pasalnya, semua kelompok separatis Kashmir berbasis di Pakistan, kendati masalahnya berakar pada aspirasi kemerdekaan Kashmir. Selain JeM, ada pula Hizbul-ul-Mujahideen (HuM) dan Lashkar-e Taiba (LeT), yang semuanya muncul di wilayah Kashmir yang dikontrol India pasca-kerusuhan pemilihan umum 1988. Pada tahun itu, setelah tahun-tahun pengetatan ruang debat politik di Kashmir yang dikontrol India, meledak demonstrasi sesudah pemilu negara bagian yang dipertengkarkan beberapa bulan sebelumnya.

HuM, yang dibentuk pada 1989, memimpin demonstrasi dan menyerang pasukan keamanan India. Kelompok ini mendukung ideologi pro-Pakistan dan menyerukan India meninggalkan Kashmir sehingga dapat diserahkan kepada Pakistan. Organisasi yang dipimpin Mohammad Yusuf Shah ini menerapkan taktik perang gerilya dengan menyerang individu atau konvoi maupun serangan bunuh diri skala besar.

JeM dibentuk pada 2000 dan berafiliasi dengan Al-Qaidah. Pada 2001, JeM menyerang parlemen India di New Delhi dan dewan legislatif di Kashmir yang dikontrol India. LeT, yang didirikan pada 1990 oleh Hafiz Muhammad Saeed, merupakan kelompok bersenjata paling terkemuka yang beroperasi di dalam negeri Pakistan. Pada 2008, India menyalahkan LeT dalam serangan di Mumbai, India, yang menewaskan 160 orang ketika orang-orang bersenjata menyerbu hotel dan stasiun kereta api.

Mengingat semua kelompok itu berbasis di Pakistan, sangat sulit untuk mengatakan bahwa badan intelijen Pakistan (ISI) tidak tahu-menahu. Toh, kelompok-kelompok itu dapat menjadi kartu tawar bagi Pakistan dalam menghadapi sikap keras India dalam mengangkangi Kashmir. India sendiri, terkait dengan terorisme kelompok-kelompok itu, menjadikan Kashmir sebagai salah satu zona yang paling ketat dikendalikan militer. Akibatnya, ekses negatif terhadap hak asasi manusia dan pembunuhan ekstrayudisial juga terjadi. Pakistan "melindungi" kelompok-kelompok bersenjata juga akibat India diduga "mendukung" kelompok Muhajirin (pengungsi) yang berbasis di Karachi, Pakistan. Muhajirin adalah kaum muslim India yang mengungsi ke Pakistan saat anak benua India pecah menjadi dua negara: Pakistan yang dihuni mayoritas muslim dan India yang dihuni mayoritas Hindu. Belakangan, Muhajirin memberontak terhadap Islamabad karena merasa didiskriminasi.

Saling dukung kelompok bersenjata dan situasi pengap yang tercipta di Kashmir melahirkan spiral kekerasan yang sulit diurai. Absennya saling percaya antara New Delhi dan Islamabad juga membuat setiap peristiwa dicurigai sebagai perbuatan pihak lawan. Maka, krisis ini memunculkan urgensi tentang perlunya masalah Kashmir diselesaikan secepatnya sesuai dengan mandat PBB yang telah disepakati India dan Pakistan, yaitu menggelar referendum bagi penentuan nasib sendiri di seluruh Kashmir, baik wilayah yang dikontrol Pakistan maupun yang dikendalikan India. Pakistan dan India yang bersahabat akan melahirkan kawasan Asia Selatan yang stabil dan berkontribusi bagi perdamaian dan pertumbuhan ekonomi dunia.

Smith Alhadar

Smith Alhadar

Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus