Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Surya, Joko, dan Politik tanpa Publik

Perselisihan Surya Paloh dengan Jokowi meruncing. Adakah manfaatnya bagi masyarakat?

14 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREMBET ke wilayah nonpolitik, perselisihan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh dengan Presiden Joko Widodo sungguh tak sehat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berseberang jalan dalam penentuan calon presiden 2024-2029, Jokowi ditengarai menjepit NasDem dengan rencana perombakan kabinet dan kasus hukum kader partai serta merecoki urusan bisnis. Ketimbang berkeluh kesah, lebih terhormat jika Partai NasDem menarik menterinya keluar dari pemerintahan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Puncak kisruh kedua politikus itu terjadi saat Jokowi tidak mengundang Surya dalam silaturahmi di Istana Negara pada Selasa, 2 Mei lalu. Kecuali Ketua Umum Partai NasDem, semua pemimpin partai pendukung pemerintah hadir dalam pertemuan yang membahas pemilihan presiden 2024 tersebut.

Sebelumnya, Jokowi berulang kali menyindir Surya, yang dianggap “membelot” karena pada Oktober 2022 mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon presiden. Dukungan kepada Anies juga diberikan Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat, partai di luar pemerintah. Tambahan dua partai ini melengkapi syarat presidential threshold agar mantan Gubernur DKI Jakarta itu bisa bertanding dalam perebutan kursi RI-1.

Langkah Surya mendorong Anies tidak sejalan dengan harapan Jokowi, yang lebih menginginkan Prabowo Subianto atau Ganjar Pranowo sebagai penerus. Ketika NasDem, Demokrat, dan PKS mendeklarasikan koalisi perubahan, Jokowi menandinginya dengan menggagas koalisi besar yang berisi Partai Gerindra, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, Partai Golkar, dan belakangan menyusul Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Isu perombakan kabinet juga membuat NasDem ketar-ketir. Jika kadernya tersingkir dari kabinet, NasDem akan kehilangan pengaruh juga potensi pasokan logistik, sesuatu yang penting untuk menghadapi pemilihan umum tahun depan. Saat ini NasDem memiliki tiga wakil di kabinet. Mereka adalah Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, serta Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.

Maju-mundurnya pengusutan Johnny Plate dalam perkara pengadaan pemancar sinyal seluler di Kementerian Komunikasi dan Informatika dipercaya merupakan tekanan lain kepada NasDem.

Orang-orang dekat Surya Paloh meyakini bisnis bosnya sedang digencet. PT Pangansari Utama terancam tak lagi dipakai sebagai pemasok katering di sejumlah perusahaan tambang pemerintah. Beberapa bank negara ramai-ramai menarik diri sebagai penyandang dana pembangunan Menara Indonesia Satu, gedung pencakar langit di Jakarta milik Surya.

Memanfaatkan wewenangnya sebagai pemimpin pemerintahan, Jokowi ingin menjadi penentu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Patut disayangkan, ia menempuh jalan tak patut. Jokowi telah terang-terangan berpihak kepada kandidat yang ia suka.

Padahal semestinya ia netral seraya menjaga kompetisi Pemilu 2024 berlangsung jujur, adil, dan transparan. Perombakan kabinet atau pengusutan korupsi menteri hendaknya dilakukan dengan pertimbangan efektivitas pemerintahan dan penegakan hukum, bukan kalkulasi politik jangka pendek.

Praktik buruk pemerintah dilengkapi dengan sikap membebek ketua umum partai kepada pemerintah. Selain mengharapkan dukungan logistik, partai bersikap lunak karena tersandera banyak kepentingan, termasuk kasus hukum. Partai yang semestinya mewakili aspirasi publik kini berselancar semata-mata agar selamat.


Baca liputannya:


Dengan pelbagai kompensasinya, Dewan Perwakilan Rakyat menjadi tukang stempel kebijakan Jokowi. Pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi, lahirnya Omnibus Cipta Kerja, dan program memindahkan ibu kota negara adalah bukti tidak berfungsinya partai politik sebagai penyerap aspirasi masyarakat.

Partai politik semestinya menyadari pemilu merupakan cara demokratis untuk mengoreksi kekuasaan dan kebijakan yang salah. Membebek kekuasaan agar tak kehilangan kekuasaan adalah cara nista membunuh kepercayaan publik kepada demokrasi dan sistem kepartaian.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus