Benedict Anderson
Indonesianis, tinggal di AS
MUNGKIN sadja djudul ini akan bikin bengong sebagian pembatja. Kalau novelis Nobelis Albert Camus ada politiknja kita sering dengar dari fansnja Mas Goenawan Mohamad. Tetapi Kamus????? Pertjalah, ada.
Kapan muntjulnja dan mengapa? Kamus2 ketjil2an bahasa Junani kuno sudah mulai nongol pada abad ke-3 sebelum Masehi, dan di Tiongkok kamus Shuo Wen mulai tersebar pada tahun 150 sebelum Masehi. Dunia Arab menjusul pada abad ke-10 dengan Fiah al-Lugha jang lumajan hebat. Pada abad ke-13 kata 'dictionary' muntjul dalam bahasa Inggris untuk pertama kali—persis pada masa Prabu Kartanagara bertakhta di Singosari. Semua kamus2 ini bersifat 'lugu,' artinja disusun oleh individual atawa kelompok jang kebetulan ada minat dan sedikit keahlian. Situasi demikian berobah dengan dahsat pada abad ke-17 dengan didirikan Academie Francaise dibawah naungan si 'Radja Mata Hari,' Louis XIV, jang menanamkan sistim monarki absolutis pertama di Perantjis. Salah satu tugas utama Academie ini—jang didjalankan dengan susah-pajah sampai masa globalisasi ini—adalah mentjiptakan, mempertahankan, dan memaksakan suatu bahasa Perantjis jang 'baik dan benar.' Kamus Negara-punja, jang diusahakan oleh 'polisi' dan 'pedjabat beatjukai' bahasa, mulai diterbit pada akhir abad ke 17, dengan seluruh kekuasaan sang radja dibelakangnja. Dan tjontoh ini dengan tjepat ditiru oleh radja2 absolutis lainnja. Tetapi ternyata bahasa tidak gampang dimonopoli oleh sang Siluman; tukang2 penjelundup, pengimpor2 gelap, maling dan bandit bahasa lokal, remadja2 jang gile, intelektual nakal, geng2 residivis dan hombreng, semuanja selalu aktip menggerogoti kedikaturan Negara. Bukan itu sadja. Polisi kamus sama sekali tidak berdaja terhadap bahasa2 lisan jang dipakai sehari2 oleh rakjat, dalam seribu satu variasinja. Paling2 mereka bisa turun tangan terhadap bahan2 jang tertulis/tertjetak.
Mulai pada abad ke-18 di Eropa, muntjullah peperangan dahsjat antara dua kubu: kubu jang ingin memonopolikan bahasa demi kepentingan Siluman dengan sembojan mempertahankan bahasa jang bersih, baek, dan bener menurut impian abdi2nja si Siluman, dan kubu jang jakin bahwa bahasa adalah milik semua pemakainja, dan harus bebas berobah menurut waktu dan selera segala lapisan masjarakat. Dus perang besar antara kamus otoriter dengan kamus demokratis. Pada umumnja pihak demokrat akhirnja berada diatas angin hampir dimana2, tetapi musuh2 abadinja tetap tjukup banjak.
Dan Indonesia? Tentunja ada variasi sendiri. Disimpan dirak buku disebelah tempat tidur saja adalah Kamus Umum Bahasa Indonesia dari Pak Purwadarminta, tjetakan ke-dua, tahun 1953, tiga tahun setelah kemerdekaan Indonesia diakui oleh 'donja internasional.' Memilukan memang. Rejot dimakan ulat; 900 halaman; harga 53 perak. Sisa djaman mulia dimana rupiah belum djadi lelutjon. Tetapi mungkin tara ada buku Indonesia jang lebih beta sajangi. Toh buku itu penuh tanda pergulatan politik, karena walaupun Pak Pur pribadi seorang demokrat jang moderen, ia djuga seorang 'pegneg' dan kamusnja diterbitkan oleh jang disebut ketika itu Kementerian P.D. dan K. (menarik bahwa Kebudajaan terpaksa mendjadi embel2annja Penghadjaran dan Pendudukan). Djadi mungkin ia orang terpaksa mendjadi sematjam 'bantji politik' jang baik hati.
Sikap demokratis dan rendah hati menondjol sekali dalam kata pengantarnja (jang belakangan dilenjapkan dalam tjetakan2 jang diterbitkan setelah Orbe Babe bertjokol dan beliau sudah kembali ke alam baka). Dikatakannja bahwa maksudnja ialah menjusun suatu kamus jang praktis dan kontemporer, tentunja tak lengkap karena bahasa Indonesia, mirip kebanjakan bahasa jang tidak musnah, berobah2 terus-menerus. Toh beliau ingin sekali bahwa buku, madjalah, kitab, dan hikajat lama masih bisa dibatja oleh generasi muda, sehingga kamusnja penuh dengan kata 2 jang 'kuno' sedikit. Buktinja banjak sekali kata2 Minangkabau muntjul didalam kamusnja, sisa2 djaman kolonial dimana pengarang2 Padang, jang sebagiannja berkuasa di 'Balai Poestaka' punja Gupermen, sangat berpengaruh, dan djaman paska-kolonial awal dimana tokoh2 Minangkabau matjam Bung Hatta, Bung Sjahrir, Pak Natsir dllnja masih dikagumi. Sikap demokratis djuga bisa dilihat dari hadlirnja banjak variasi dari satu kata, tanpa ada polusi eh polisi turun tangan. Tjontohnja, kata 'baru' nongol disamping 'baharu' sebagai temen, bukan sebagai Djagoan jang Bener terhadap GPK jang Tidak Baek.
Tetapi dilain pihak nampak djuga rekajasanja sang Siluman. Dalam kamusnja Pak Pur terlihat ribuan kata jang dikasih tahu etimologinja, entah Arablah, Djawalah, Sanskertalah atawa Sundalah. (Menarik bahwa kata2 ini bersolek biasa sadja; praktek dandan lonte2an Orde Babe, dimana kata2 pindjeman dari Djawa harus ditulis dengan hurup miring jang genitnja memuakkan, belum terpikir pada masa pubernja R.I.). Mengapa ada etimologi begituan? Pak Pur mendjelaskan bahwa kata2 ini "belum banjak diketahui" dan "belum dipakai setjara umum di masjarakat Indonesia." Mirip WNI rupanja, warga negara ija, toh asing djuga, dan perlu dipantau oleh djawatan imigrasi bahasa nasional. Ada KTP jang tara palsu? Timbul pertanjaan, apakah itu barang bernama 'masjarakat Indonesia'? Apakah hanja orang jang melek hurup, jang pada masa itu merupakan minoritas ketjil bangsa Indonesia?
Tetapi masalah politik sebenarnja lebih mendalam dari itu. Pada kamus2 jang moderen, demokratis, dan sedapat2nja lengkap, diusahakan untuk memberikan etimologi buat setiap kata entah kata WNIlah atawa Pribumilah Dengan demikian, umpamanja di Oxford English Dictionary sangat kentara bahwa bahasa Inggris hampir tak ada kata jang 'asli,' hampir semuanja ada bokap-mokapnja di bahasa Djerman Kuno, Belanda Kuno, Yunani, Latin, Hindu, Spanjol, Melaju, Arab, Perantjis, Itali, Tionghoa, Portugis, Persia, Irlandia, Srilanka, Norwegia Kuno, Indian Merah dan sebagainja. Pertumbuhan bahasa Inggris jang dahsjat itu timbul djusteru karena keterbukaannja kepada jang asing, sehingga kehebatannja tidak berasal pada 'murninja' tetapi pada kemampuannja untuk menjerap kata baru dari seluruh pendjuru angin. Blasteran jang menakdjubkan.
Di kamusnja Pak Pur laen lagi. Banjak sekali kata jang djelas berasal dari 'luar pagar' justeru tidak diberi etimologi—seolah2 nasional tulen. Djadi etimologi jang ada masih menundjukkan sikap Academie Francaise: seolah2 sebelah kanan ada kata2 jang 100% 'bahasa Indonesia' dan sebelah kiri ada jang djelas asing minta visa untuk masup. Rupanja Pak Pur, atawa Kementerian PP dan K, lupa bahwa bahasa Indonesia mendjadi besar karena sifatnja sebagai lingua franca (artinja bahasa merdeka) jang dipakai oleh ratusan kelompok—termasuk Belanda sendiri—sebagai bahasa antar-suku, antar-bangsa, dan antar-agama, pokoknja sebagai alat komunikasi akrab jang serba luas.
Statistik jang kasar2an djuga memperlihatkan beberapa hal jang menggarusbawahi politik bahasa kamus Pak Pur dari sudut lain. Berkat bantuan teman saja seorang Arab, saja menjelidiki semua kata dalam Kamus aslinja Pak Pur jang mulai dengan huruf a, b, c (jaitu tj- jang sebenarnja) d, e, dan f. Berdasarkan sebagian pada etimologi Pak Pur, dan kamus beberapa bahasa lain, ternjata dari sekitar 4.120 kata, kira2 1.828 (45%, hampir separo) berasal dari bahasa2 non-nasional. Urutannja: kira2 563 kata (14%) berasal dari bahasa Belanda, 293 dari bahasa Arab, 254 dari bahasa Djawa, 224 dari bahasa Betawi, 204 dari bahasa Minangkabau, 143 dari Inggris, 52 dari Tionghoa (Hokkien sebenarnja), 36 dari Sunda, 15 dari Perantjis, 11 dari Latin, 8 dari Palembang, masing2 dua dari Spanjol, Indian (Hindu), dan Dajak, dan masing2 satu (satu! Masyallah…) saza dari bahasa Batak, Madura, Portugis, Ambon, Djepang, dan Bugis. Statistik ini bersifat amatiran belaka; kalau diselidiki benar djumlah kata2 liar-pagar akan djauh lebih tinggi, plus banjak kata2 jang disinjalir oleh Pak Pur sebagai bahasa Betawi rasanja sebetulnja Djawa.
Jang sangat menonjol dari info diatas adalah dua hal. l. Absennja hampir total dari bangsa Indonesia dari bagian Timur Nusantara, seolah2 bangsa nasional adalah milik tritunggal jang terdiri dari Djawa, Betawi, dan Padang, 2. Jang belum saja sebut diatas, ialah bahwa dalam kamusnja Pak Pur tak ada satu katapun jang dikasih huruf etimologis 'B' jaitu Belanda. Belanda itu hilang diganti dengan hurup E, berarti 'Eropa' dimana Belanda, Inggris, Perantjis, Spanjol dan sebagainja dileburkan (tapi Djawa, Tionghoa, dan Arab tida dileburkan mendjadi 'Asia'). Dengan demikian, anak2 muda dengan gampang akan merasa sangat bersyukur bahwa bahasa nasionalnja bersih seratus persen dari pengaruh mantan pendjadjah. Saja tak jakin bahwa nonsens ini timbul dari sikap pribadinja Pak Pur, jang bertahun2 bekerdja sama dengan Profesor Teeuw dan ahli2 Belanda lain. Tjukup djelas bahwa sang Siluman turun tangan, supaja—untuk generasi muda—bahasa Indonesia mendjadi milik Republik Indonesia dan tak pernah berwudjud sebagai lingua franca, sebagai bahasa merdeka, milik siapa sadja jang mentjintainja dan ingin berkomunikasi bukan sadja dengan pribumi dari Nusantara Barat tetapi dengan siapa sadja jang bisa menikmati dan mengembangkannja. Rasanja selama roh mendiang Radja Mata Hari masih gentajangan, kitorang sebaeknja pasang ronda malam, ja nggak?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini