Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Fungsi Guru itu Sesudah Nabi

Ia meredam protes mahasiswa terhadap NKK/BKK dengan caranya sendiri, menyederhanakan mata pelajaran dan memasukkan bahasa Inggris di SD.

10 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FUAD Hassan adalah sebuah harapan ketika ia diangkat menjadi Menteri Pendidikan, 1985, menggantikan Nugroho Notosusanto yang tak sempat menyelesaikan masa jabatan menterinya. Fuad seorang psikolog (doktor psikologi pertama Fakultas Psikologi UI), pembaca sastra (menerjemahkan beberapa karya sastra asing), dekan yang populer (tak segan ikut mendorong mobil dosen yang mogok), penggesek biola yang lumayan, dan pecandu biliar.

Dari sosok seperti itu, mestinya ia mempunyai solusi di tengah protes mahasiswa dan masyarakat tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang membekukan dewan mahasiswa dan menggantinya dengan badan koordinasi kemahasiswaan (BKK). Inti NKK/BKK yang diluncurkan di masa Menteri Daoed Joesoef (1976–1983) meredam mahasiswa berpolitik praktis.

Protes memang tak berhenti, namun mereda. Fuad tak menyoal soal dewan mahasiswa atau nama lain, yang penting ”memberikan peluang untuk pengembangan diri mahasiswa,” demikian suatu saat ia katakan. Bisa jadi meredanya protes mahasiswa itu pula yang membuat Fuad tetap dipercaya di posisinya dalam kabinet berikut (1988–1993). Dan peluang ini membuat Fuad berani menghapuskan NKK/BKK dengan cara meneken keputusan menteri pada 1990: mahasiswa boleh mempunyai senat mahasiswa sebagai ajang berorganisasi.

Semula mahasiswa menolak, tapi—entah siapa yang melihat dengan jeli—dalam keputusan itu terbuka peluang untuk ”kemerdekaan kampus”. Ada pasal yang menyatakan pelaksanaan teknis senat mahasiswa diserahkan kepada masing-masing perguruan tinggi. Pada pasal itulah mahasiswa bermain.

Memang, keputusan itu tidak kontroversial, apalagi monumental, dan karena itu jasa menteri yang Jumat pekan lalu menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, karena kanker paru-paru itu tak banyak ditengarai. Ia pun seperti terlupakan di masa menjelang habisnya pemerintahan Soeharto, bahkan kemudian di masa ”reformasi”. Fuad, sejak tak lagi menteri, asyik dengan hobi barunya, berkuda, atau memenuhi permintaan untuk membuka pameran lukisan.

Gagasan Fuad tentang pendidikan di awal masa ia menjadi menteri, yang sering dikatakannya kepada wartawan, boleh dikata tak terwujud dalam kebijakannya. Hanya beberapa hal yang ”praktis” dilakukannya, dan sukses. Pengurangan jurusan di perguruan tinggi adalah jasa Fuad. Ia pernah terheran-heran, mengapa di IKIP ada jurusan pendidikan filsafat. Bukankah tak ada mata pelajaran ini di SMA? Namun, cita-citanya ”menyederhanakan” jumlah mata pelajaran di SD sampai SMA tak kesampaian.

Lulusan Sekolah Guru Atas di Surabaya ini tak peduli dengan kurikulum—”Apa pun kurikulumnya, membuat siswa memahami suatu ilmu,” begitu suatu saat ia berkata. Toh, di masanya disusun kurikulum yang kemudian disebut Kurikulum 94, karena baru diterapkan pada 1994, setahun setelah Fuad tak menjadi menteri lagi. Tak ada yang istimewa dalam kurikulum itu. Hanya ada penggabungan mata pelajaran yang bisa digabungkan (sejarah digabungkan ke IPS), dan ketentuan diajarkannya bahasa Inggris sejak kelas IV SD.

Bagi Fuad, sebenarnya lebih penting guru daripada kurikulum. Fungsi guru itu sesudah nabi, sebagai mualim penyampai ilmu, katanya. Guru, katanya, adalah ”orang yang menjadikan ilmu sebagai sikapnya, dan memahami kecenderungan murid satu per satu.” Mungkin konsep ini terlalu filosofis. Yang jelas, satu survei di awal 2000-an oleh seorang bekas kepala sekolah di Jakarta International School menyimpulkan, tak berkualitasnya pendidikan di beberapa SD di Jakarta Selatan karena gurunya tak mampu menyampaikan pelajaran, sehingga muridnya tidak tertarik pada ilmu apa pun.

Inikah penyebab terus merosotnya peringkat pendidikan di Indonesia di dunia menurut UNESCO? Fuad tak bisa lagi diajak memikirkan ini semua.

Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus