Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Sartono, Perlawanan Orang Biasa

Sejarawan besar Sartono Kartodirdjo wafat. Ia yang memelopori penulisan sejarah dengan cara pandang Indonesia-sentris dan multidisiplin.

10 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAJI Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Wasid, Haji Marjuki. Pada suatu hari—tepatnya 9 Juli 1888—para ulama tarekat Kadiriyah itu menggerakkan petani Banten menyerbu pos-pos pejabat Belanda di Cilegon. Disertasi itu dibuat sudah 41 tahun lampau, dan apabila kini kita baca, masih sanggup membangkitkan imajinasi.

Disertasi itu sangat detail. Adegan pengejaran asisten residen bernama Gubbels, misalnya, diceritakan begitu hidup. Gubbels dengan dokarnya menerobos 30-an petani yang menutup jalan. Kudanya ditusuk di perut, dada Gubbels ditombak.

Ia, Sartono Kartodirdjo, sang penulis, meninggal pekan lalu dalam usia 86 tahun. Perannya begitu banyak dalam penulisan sejarah kita. The Peasant Revolt of Banten in 1888, disertasinya, adalah tonggak yang menginspirasi bagaimana seharusnya sejarah kita ditulis. Ia yang pertama mengumandangkan bahwa sejarah Indonesia harus ditulis dengan sudut Indonesia-sentris, menempatkan orang kita sendiri sebagai pelaku utama, bukan pemerintah Hindia Belanda.

Sepanjang hidupnya ia berpendapat bahwa membesarkan peran elite dalam sejarah bisa menjadi alat legitimasi kekuasaan. Ia aktif menyuarakan bahwa ”orang biasa” adalah juga penggerak sejarah Tanah Air. Ia menolak menempatkan petani sebagai: les peoples sans histoire.

Sewaktu masih bayi merah pada 1921, ia dibawa bapaknya, Tjipto Sarojo, pegawai kantor pos Wonogiri, Jawa Tengah, naik kereta api ke Prambanan. Di Prambanan, bapaknya memohon agar bayinya menjadi anak pintar. Sartono kemudian, meski retinanya mengidap penyakit yang mengaburkan penglihatannya, dikenal haus buku. Di HIS, bakat menulisnya muncul. Soekotjo, gurunya di HIS, ayah almarhum Umar Kayam, adalah pembimbingnya.

Sampai menjelang 1980-an, bila ditanya buku pertama apa yang dibelinya, Sartono selalu ingat dan tegas menjawab: Vander Landsche Geschiesenis (Sejarah Tanah Air) terbitan J.B. Wolters di Batavia! ”Harganya 2,5 gulden,”

Ia juga ingat bahwa masa studinya di jurusan sejarah Universitas Indonesia selalu mendapat ”godaan”. ”Prof Resink bertanya kepada saya, mengapa tidak pindah saja ke fakultas sosial ekonomi,” katanya dalam sebuah wawancara. Akhirnya ia lulus sebagai sarjana sejarah pertama di Indonesia, Februari 1956. Ia melanjutkan studinya ke Universitas Yale, Amerika Serikat, kemudian ke Universitas Amsterdam, Belanda. Dari pemberontakan petani, ia menekuni tema-tema Ratu Adil—yang kemudian menjadi trade mark-nya.

”Cara Pak Sartono mendekati sejarah bukan deskriptif-naratif tapi deskriptif analitis,” kata Adaby Darban, sejarawan dari Universitas Gadjah Mada. Untuk merekonstruksi sebuah peristiwa sejarah, Sartono selalu berusaha mengungkap unsur ”mengapa”-nya. Untuk itu Sartono menggunakan alat bantu: sosiologi, psikologi. Itulah sebabnya ia dianggap memelopori pendekatan multidispliner dalam sejarah.

Misalnya, dengan pendekatan sosiologis ia bisa menjelaskan bahwa pemberontakan petani Banten itu bukan sesuatu yang spontan, tapi telah direncanakan selama bertahun-tahun. Ia sampai bisa membeberkan berbagai persiapan yang dilakukan para ulama Banten itu.

Ia konsisten berkeyakinan bahwa tidak ada sebuah kelompok yang paling berjasa membentuk sejarah Indonesia. Kita ingat ketika almarhum Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho Notosusanto, dalam buku resmi sejarah Indonesia yang dibuatnya, menempatkan militer sebagai unsur paling dominan dalam politik modern kita. Sartono berseberangan, sampai ia membuat buku sejarah Indonesia sendiri.

Sebagai dosen, ia dikenal bagai ”algojo” tatkala membimbing calon doktor. ”Akibatnya, bimbingan Pak Sartono seperti Prof Ibrahim Alfian, Prof Darsiti Suratman, semuanya matang,” kata Adaby. Betapapun demikian, Sartono dikenal tak fanatik mengharuskan mahasiswanya mengikuti ”mazhabnya”, ia misalnya, menurut Adaby, merekomendasikan agar sejarawan Kuntowijoyo, Djoko Suryo, sekolah ke luar.

Sampai akhir hayatnya, Sartono dikenal hidup sederhana. Kepada wartawan majalah ini ia pernah berseloroh, rezekinya mengalir karena memiliki keris Talang Segoro yang diberikan oleh Soemarsaid Moertono, doktor ilmu sosial, sahabat akrabnya. ”Ini untuk Mas Sartono,” begitu ujar Moertono. Talang Segoro berarti saluran kucuran air laut—hal yang menurut dia membuat tak pernah kekeringan rezeki.

Pada hari-hari sakitnya, ia masih merindukan berkumpul dengan para sejarawan. Ketika Adaby Darban tahun lalu menjenguknya sekaligus pamit ke Jakarta untuk menghadiri sebuah seminar sejarah, Sartono meneteskan air mata, ”Salam kepada teman-teman,” katanya saat itu.

Sartono seorang Katolik yang saleh. Tiap berbaring di tempat tidur ia membawa rosario. Kita bisa membayangkan saat tergolek lemah di Rumah Sakit Panti Rapih, rosario itu senantiasa digenggamnya. Ketika SMP buku yang kerap dibacanya adalah devosi Thomas Kempis: Imitation of Christ. Kempis, seorang rahib Katolik yang hidup pada abad ke-15, berpandangan bahwa mereka yang meniru Kristus—seperti memberi perhatian pada masyarakat kecil—kelak akan diberkahi di alam baka.

Kini Sartono mungkin mengarungi apa yang diyakini Kempis.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus