Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Mengapa Proyek Food Estate Gagal

Sejak era Soeharto, setiap presiden berhasrat mencapai ketahanan pangan dengan membangun food estate. Kesalahan-kesalahan masa lalu tak menjadi pedoman.

 

9 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah membangun food estate dengan memakai paradigma lama.

  • Ada empat kemudahan fasilitas negara dalam proyek food estate di kawasan hutan.

  • Tiga faktor kegagalan food estate yang tak kunjung diperbaiki.

UNTUK menopang kebutuhan pangan nasional, pemerintah Indonesia mencanangkan program ketahanan pangan yang disebut food estate atau lumbung pangan. Namun, seperti problem dunia dalam menyediakan pangan saat ini, program ini tak bisa mengesampingkan kebutuhan lahan yang besar, meski teknologi dan pengetahuan terus berkembang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertanian juga belum bisa meninggalkan pasokan air yang sangat bergantung pada kondisi lingkungan hidup. Di Indonesia, pertanian bahkan lekat dengan kebudayaan petani serta berbagai bentuk aksi kolektif ataupun modal sosial yang melekatkannya. Di sini, belajar dan mempraktikkan pertanian bukan hanya belajar ilmu, tapi juga belajar tentang kehidupan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karena itu, program food estate mesti mengacu pada paradigma itu. Masalahnya, program lumbung pangan yang menjadi proyek strategis pemerintah ini punya problem serius dalam hal tata kelola, yakni pengaturannya. Hal ini dibutuhkan agar pertanian dalam ketahanan pangan yang membutuhkan lahan besar tak mengganggu lingkungan hidup, terutama lumbung pangan yang memakai kawasan hutan.

Food estate dalam kawasan hutan mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan, dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan serta Penggunaan Kawasan Hutan. 

Dalam peraturan itu, food estate disebut sebagai usaha pangan skala luas yang memanfaatkan modal, teknologi, dan sumber daya lain untuk menghasilkan produk pangan guna memenuhi kebutuhan manusia secara terintegrasi. Ini mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan.

Penyediaan kawasan hutan itu ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui permohonan. Pemohonnya bisa menteri, kepala lembaga, gubernur, bupati, wali kota, atau kepala badan otorita yang ditugaskan khusus oleh pemerintah sebagai pengelola.

Jangka waktu hak mengelola hutan untuk food estate adalah 20 tahun dan bisa diperpanjang. Dalam mengelola area lumbung pangan, pengelola bisa bekerja sama dengan badan usaha atau masyarakat setelah mendapat persetujuan menteri.

Dalam peraturan tersebut, karena food estate menjadi proyek strategis nasional, ada upaya memudahkan pembangunannya melalui beberapa kelonggaran.

Pertama, penyediaan area food estate tidak perlu mengikuti tahap penataan batas kawasan hutan. Kedua, fungsi hutan berubah menjadi hutan produksi yang dapat dikonversi ketika kawasannya ditetapkan atau dicadangkan sebagai lokasi food estate.

Dalam keadaan normal, persetujuan pelepasan hutan produksi yang bisa dikonversi biasanya dilakukan di hutan tidak produktif. Proyek food estate mengecualikan area yang dicadangkan berada di provinsi yang tidak memiliki hutan sejenis ini.

Ketika lokasi food estate dimintakan oleh pemerintah pusat atau daerah, pelepasan kawasan hutan juga bisa dilakukan di hutan produksi tetap, baik yang sudah tidak produktif maupun yang masih produktif. Syaratnya adalah memperhatikan kecukupan luas kawasan hutan ataupun daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Ketiga, syarat persetujuan lokasi food estate tidak memerlukan rekomendasi gubernur dan tidak memerlukan rekomendasi tim terpadu. Selain itu, jika food estate yang akan dibangun itu bukan untuk tujuan komersial, pemegang persetujuan penggunaan kawasan hutan atau pengelolanya tidak wajib membayar penerimaan negara bukan pajak (PNBP) penggunaan kawasan hutan dan PNBP kompensasi pemakaian kawasan hutan. 

Keempat, kawasan hutan untuk food estate juga bisa diberlakukan di hutan lindung yang sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung. Selain itu, food estate bisa dibangun di area yang memiliki tutupan bukan hutan pada kawasan hutan yang telah dikelola oleh badan usaha milik negara bidang kehutanan serta yang telah dibebani perizinan berusaha pemanfaatan hutan. Dalam mengelola food estate, pemegang perizinan pengelolaannya bisa bekerja sama dengan badan usaha lain.

Lahan lain yang bisa menjadi lokasi food estate adalah kawasan hutan yang telah dicadangkan untuk perhutanan sosial. Pasal 485 menyebutkan lokasi food estate juga bisa berada di area yang ditetapkan untuk reforma agraria dan disesuaikan dengan program yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat.

Dengan pelbagai kemudahan itu, tata kelola food estate yang berangkat dari aturan agaknya belum menimbang problem-problem tata kelola dalam program lumbung pangan sebelumnya. Belajar dari program food estate yang telah lalu, kita bisa memetik pelajaran berikut ini. 

Pertama, hasil yang rendah. Di Bulungan, Kalimantan Timur, food estate pada 2011, dari luas lumbung pangan seluas 298.221 hektare, lahan yang menjadi sawah hanya 1.024 hektare, dan yang menghasilkan hanya 5 hektare. Untuk proyek lahan gambut di Kalimantan Tengah pada 1996, dari luas 1.457.100 hektare, ada sekitar 48 ribu hektare yang areanya telah dibuka. 

Food estate di Merauke, Papua, yang dibuka pada 2011 dan masih berjalan hanya 400 hektare oleh PT Parama Pangan Papua yang bermitra dengan petani lokal dari alokasi luas lahan 1,23 juta hektare. Di Ketapang, Kalimantan Barat, pada 2013, dari potensi lahan 886.959 hektare, pemerintah kabupaten sanggup mengusahakan 100 ribu hektare. Setelah dua tahun berjalan, food estate yang bisa diolah tinggal 104 hektare.

Kedua, kinerja yang rendah. Dari beberapa observasi, kinerja food estate yang rendah disebabkan kelemahan pengelola proyek dalam mendudukkan masyarakat setempat sebagai subyek. Akibatnya, perencanaan food estate tak menyesuaikan secara cermat, detail, dan mendalam karakter ekosistem dan budaya pertanian setempat.

Belum lagi pengabaian terhadap legalitas dan hak-hak atas tanah yang belum selesai ketika food estate mulai dibangun. Akibatnya, masyarakat tidak bisa mengikuti proses pertanian yang dianggap “maju dan modern” oleh pengelolanya.

Walaupun food estate ditujukan untuk mengatasi kelangkaan pangan secara nasional, masyarakat yang mengikuti program ini harus menyelesaikan problem mereka sendiri ketika mulai mengolah lahan. Pengetahuan dan masalah lokal yang dipengaruhi situasi tertentu dan spesifik tak diakomodasi pengelola food estate. Kebijakan food estate cenderung menggeneralisasi problem setiap tempat. Perspektif ilmiah tentang obyektivitas tak memakai pendekatan berbasis nilai yang mengutamakan nilai-nilai lokal. 

Ketiga, proyek food estate menitikberatkan capaian administrasi yang cenderung manipulatif karena tak berorientasi pada dampak jangka panjang. Proyek food estate ditengarai menyimpan banyak penyimpangan administrasi, seperti penilaian dokumen analisis mengenai dampak lingkungan dan alokasi anggaran yang tidak tepat.

Kita tahu, proyek yang didasari asumsi tertentu sering kali gagal mencapai tujuan ketika asumsi tersebut tak sesuai dengan keadaan lapangan. Misalnya, lahan yang belum siap dipaksakan ditanami komoditas food estate akibat terbatasnya waktu pertanggungjawaban anggaran proyek. Pembukaan lahan hutan hanya bertujuan mengambil kayu ketimbang menyiapkan lahan untuk pertanian.

Tiga problem food estate yang telah terjadi itu menunjukkan ada persoalan struktural dan tata kelola yang menghambat tujuan proyek food estate. Alih-alih bisa menciptakan ketahanan pangan, proyek food estate justru menciptakan peluang manipulasi bahkan korupsi.

Untuk itu, agar program food estate kali ini dapat menciptakan ketahanan pangan, pengelolanya perlu menimbang penyelesaian klaim hak-hak atas tanah dan kawasan hutan terlebih dulu sebelum proyek berjalan. Agar food estate tidak merusak lingkungan, terutama jika dibuka di kawasan hutan lindung, pengelola food estate dan regulatornya harus menimbang dengan ketat daya dukung dan daya tampung lingkungan serta akuntabilitas pengawasannya di lapangan.

Lebih mendasar dari itu, paradigma food estate juga mesti diubah. Keberhasilan sebuah proyek tidak hanya bertopang pada satu-dua langkah, tapi juga harus mendorong kehidupan petani yang sejahtera dalam jangka panjang. Kesejahteraan ini penting guna menciptakan keberlanjutan pertanian dalam menopang produksi pangan nasional.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Problem Tata Kelola Food Estate"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus