Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Badan Legislasi DPR menolak membahas RUU Perampasan Aset.
DPR meminta pemerintah memperlakukan RUU Perampasan Aset seperti RUU Cipta Kerja.
Apa alasan peolakan untuk UU yang sangat dibutuhkan Indonesia ini?
BERTANDANG ke ruang pimpinan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada Rabu sore, 15 September lalu, sejumlah pemimpin dan anggota Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan keluhan mereka. Hari itu Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly menyerahkan Rancangan Undang-Undang atau RUU Perampasan Aset.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua politikus yang mengikuti pertemuan di lantai tujuh Gedung Nusantara I, Jakarta, itu bercerita, tetamu yang datang menilai pemerintah memaksakan pembahasan RUU Perampasan Aset tanpa pernah berkonsultasi. Menurut sumber yang sama, Ketua Fraksi PDI Perjuangan Utut Adianto menelepon Menteri Yasonna Laoly dan menanyakan rancangan undang-undang tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut sumber yang sama, Utut meminta pemerintah berkomunikasi dulu dengan ketua umum partai politik sebelum mengajukan draf tersebut. Dari ujung telepon, Yasonna yang juga kader partai banteng menyatakan penyerahan rancangan itu kepada Badan Legislasi DPR merupakan keputusan rapat kabinet.
Dimintai tanggapan tentang persamuhan itu, Utut irit bicara. “Kami hanya berkomunikasi biasa,” kata Utut kepada Tempo, Jumat, 8 Oktober lalu. Namun Utut menyatakan pemerintah seharusnya berkoordinasi dengan ketua umum partai. Ia mencontohkan, saat pembahasan RUU Cipta Kerja, Presiden Joko Widodo langsung mengundang ketua umum partai ke Istana.
Utut menilai persetujuan ketua umum partai diperlukan karena aturan itu termasuk “barang panas” yang bisa disalahgunakan untuk menghantam lawan politik. Utut pun menganggap perampasan aset bisa dilakukan tanpa aturan khusus. Misalnya melalui putusan pengadilan. Adapun Menteri Yasonna tak merespons permintaan wawancara yang dilayangkan Tempo.
Aset tanah milik obligor BLBI yang disita, di kawasan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang, Banten, 3 September 2021. ANTARA/Fauzan
Jika disahkan, RUU Perampasan Aset bisa menjadi alat bagi pemerintah untuk menyita harta yang diduga berasal dari aktivitas ilegal. Dampaknya, pengambilan aset bisa dilakukan sebelum putusan pengadilan pada perkara pokok seperti korupsi, pencucian uang, dan transaksi narkotik. Pemilik harta wajib membuktikan asetnya diperoleh dengan kegiatan legal.
Sebelum pertemuan di lantai tujuh, sejumlah anggota Badan Legislasi terkaget-kaget dengan permintaan pemerintah agar RUU Perampasan Aset masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2021. “Kami bertanya-tanya maksud RUU itu. Judulnya saja merampas, mengambil paksa,” ucap anggota Badan Legislasi dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Neng Eem Marhamah Zulfa.
Pimpinan Badan Legislasi pun menskors rapat tersebut. Ketika itu, Eem melanjutkan, Wakil Ketua Badan Legislasi dari fraksinya, Ibnu Multazam, dipanggil oleh Ketua Fraksi PKB Cucun Ahmad Syamsurizal untuk membicarakan RUU Perampasan Aset. Ketua Badan Legislasi Supratman Andi Agtas mengatakan rapat dihentikan sementara untuk berdiskusi dengan Menteri Yasonna H. Laoly.
Seorang anggota Badan Legislasi bercerita, mereka mempertanyakan alasan pemerintah mengusulkan RUU Perampasan Aset. Mereka juga menyesalkan minimnya komunikasi dengan DPR dan ketua umum partai. Pada Selasa, 5 Oktober lalu, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar membenarkan jika disebut belum diajak bicara oleh Istana mengenai RUU Perampasan Aset. “Belum ada,” kata Wakil Ketua DPR ini.
Anggota Badan Legislasi dari Fraksi PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu, mengatakan partainya belum pernah diajak diskusi oleh pemerintah. Adapun Supratman Andi Agtas menyarankan pemerintah membuka komunikasi dengan pimpinan partai mengenai rancangan tersebut karena Badan Legislasi tak bisa mengambil keputusan.
Badan Legislasi memutuskan menolak RUU Perampasan Aset masuk Prolegnas Prioritas 2021. Hanya tiga dari lima rancangan yang diajukan oleh Yasonna yang disetujui, yaitu revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, revisi Undang-Undang Pemasyarakatan, serta revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sedangkan revisi Undang-Undang Badan Pemeriksaan Keuangan yang awalnya diusulkan oleh pemerintah diubah menjadi usulan Dewan.
Menurut Supratman, pembahasan RUU Perampasan Aset membutuhkan waktu lama. “Kami bersepakat menerima rancangan undang-undang yang bisa diselesaikan pada tahun ini,” ujar politikus Fraksi Partai Gerindra ini. Seusai rapat, Menteri Yasonna menyatakan menerima keputusan itu.
Adapun Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. mengatakan pemerintah sudah berkomunikasi dengan DPR. Namun belum ada lobi khusus dengan pimpinan partai. “Ada perwakilan tujuh partai koalisi yang membahas di kabinet,” ucapnya, Jumat, 8 Oktober lalu.
Mahfud mengaku sudah melaporkan perkembangan pembahasan RUU Perampasan Aset kepada Presiden Jokowi. Ia menyampaikan, salah satu kesepakatan politik dengan DPR adalah pemerintah akan mengajukan kembali rancangan tersebut tahun depan.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae juga telah bertemu dengan Jokowi pada awal Oktober lalu. Dalam pertemuan itu, Presiden yang didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno terlihat gusar karena RUU Perampasan Aset tak masuk Prolegnas Prioritas.
Namun Jokowi optimistis aturan itu bisa disahkan pada 2022. Pemerintah juga akan mengajukan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kuartal setelah pengesahan Undang-Undang Perampasan Aset. Aturan pembatasan transaksi tunai itu diharapkan membuat PPATK bisa lebih mengawasi transaksi nontunai melalui penyedia jasa keuangan.
Dian menyatakan aturan perampasan aset diperlukan untuk menyita harta ilegal. Ihwal judul yang terkesan mengerikan, dia mengatakan judul serupa dipakai oleh sejumlah negara yang telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Antikorupsi. “Secara psikologis, orang akan takut berbuat pidana karena hartanya bisa diproses secara perdata,” kata Dian.
•••
RANCANGAN Undang-Undang Perampasan Aset Terkait dengan Tindak Pidana digagas oleh pemerintah pada 2008. Ketika itu pemerintah Indonesia baru saja meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Antikorupsi. Isi perjanjian itu antara lain mengatur tentang perampasan dan pengembalian aset.
Negara yang bergabung dalam konvensi itu satu per satu mulai membuat aturan tentang pengambilan aset. Pemerintah Indonesia pun ingin ada aturan yang bisa mengambil aset dari sejumlah tindak pidana. Tiga tahun kemudian, draf RUU Perampasan Aset diserahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pada era Yudhoyono, rancangan itu berputar-putar di tangan pemerintah. Baru pada 2015 RUU itu masuk Program Legislasi Nasional DPR. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud Mahmodin menuturkan, pada periode pertama Joko Widodo, rancangan itu sudah dibahas dan hampir semua pasal disetujui oleh DPR.
Namun rancangan undang-undang itu urung diketuk lantaran pemerintah belum satu suara. Menurut Mahfud, ada perbedaan soal pengelola aset rampasan. Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kementerian Keuangan memiliki lembaga pengelola aset. “Ada lembaga masing-masing,” ujar Mahfud. Setelah itu, pembahasan rancangan aturan tersebut tak pernah terdengar lagi.
Penggodokan rancangan itu kembali intens digelar sejak tahun ini. “Pembahasan sekitar lima bulan,” kata Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Dian Ediana Rae, Jumat, 8 Oktober lalu.
Dian menyebutkan pemantik pembahasan itu adalah perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Pemerintah ingin menagih utang para obligor dan debitor dana BLBI karena proses hukum pidana gagal. Komisi Pemberantasan Korupsi telah menghentikan penyidikan kasus BLBI dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, pada April lalu. (Baca: Menjaring Sjamsul Menuai Angin)
Keputusan itu berdasarkan putusan Mahkamah Agung yang memvonis bebas bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Syafruddin Arsyad Temenggung, dan menyatakan kasusnya bukan perkara pidana. Masalahnya, para obligor dan debitor BLBI ini masih mempunyai tunggakan yang mencapai Rp 110,45 triliun.
Menurut Dian, pemerintah ingin mempunyai payung hukum yang kuat untuk mengambil aset ataupun menagih utang secara perdata. “Supaya ada aset recovery,” ujarnya. Pembahasan ini melibatkan sejumlah kementerian dan lembaga, seperti kepolisian, Kejaksaan Agung, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Luar Negeri.
Dian juga menghadap Jokowi untuk membahas rancangan tersebut. Ia menyampaikan bahwa pemulihan aset dari tindak pidana masih rendah. Berdasarkan riset Indonesia Corruption Watch, jumlah kerugian negara akibat korupsi pada 2020 mencapai Rp 56,7 triliun. Namun uang pengganti yang dikabulkan hakim hanya Rp 8,9 triliun, 15 persen dari kerugian negara.
Menteri Mahfud mengatakan Jokowi pun terlibat dalam pembahasan RUU itu. “Beliau ikut membahas hal teknis,” tuturnya. Dalam rapat kabinet pada pertengahan tahun ini diambil keputusan bahwa RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kuartal akan diajukan oleh pemerintah agar segera dibahas di DPR.
Selain kasus korupsi, nantinya pemulihan aset bisa dilakukan untuk 26 jenis kejahatan. Di antaranya pembalakan liar, narkotik, dan penipuan pajak. “Presiden menyebut hal ini sangat penting,” ujarnya.
Dian bercerita, pembahasan di tingkat kementerian dan lembaga kerap berjalan dinamis. Misalnya mengenai pengelolaan aset yang belum mencapai titik temu. Namun pemerintah akhirnya bersepakat bahwa Kejaksaan Agung dan Kementerian Keuangan akan menjadi pengelola aset.
Kejaksaan bisa mengelola aset sebelum ada putusan hakim. Jaksa Agung pun diwajibkan melaporkan aset-aset yang dikelola lembaganya kepada presiden tiap enam bulan. Sedangkan Kementerian Keuangan, kata Dian, dapat mengelola perampasan aset setelah proses hukum di pengadilan selesai.
Menurut Dian, sempat ada perdebatan juga soal lembaga yang berhak merampas dan menyita aset. Polisi sempat menawarkan sebagai pihak yang merampas aset. Belakangan, kewenangan itu jatuh kepada kejaksaan. Kepolisian hanya bertugas menyita sebelum diserahkan kepada kejaksaan, yang bertindak sebagai pengacara negara.
Dian berharap RUU Perampasan Aset bisa segera dibahas bersama dengan DPR dan disahkan menjadi undang-undang. Pemerintah berkejaran dengan waktu karena aset dari tindak pidana dapat berpindah tangan dengan cepat. “Dengan adanya aturan ini, kami bisa mengungkap siapa beneficial owner dari aset yang diduga hasil kejahatan,” ucapnya.
RAYMUNDUS RIKANG
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo