Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tawaran tukar informasi

Tono saksono memberi saran kepada masyarakat pemetaan & pengindriaan jarak jauh. mengajak bertukar informasi antara hasil pemotretan kamera metrik miliknya dengan pemotretan nonmetrik oleh pratiwi nanti.

15 Februari 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SANGAT menarik, salah satu titipan LIPI untuk Dr. Pratiwi, astronaut Indonesia pertama pada penerbangan space shuttle, adalah pemotretan wilayah Indonesia dengan kamera 70 mm. Sayang, TEMPO 18 Januari (llmu & Teknologi) tidak menjelaskan lebih jauh kamera yang digunakan itu. Apakah sejenis kamera Hasselblad (nonmetric) seperti yang digunakan Neil Armstrong dan Edwin Aldrin pada misi pendaratan ke bulan yan sangat bersejarah (20 Juli 1969) yang "terjatuh dan hilang" di ruang angkasa ketika dipakai Michael Collins, Juli 1966. Betapapun, peristiwa ini harus disambut, baik oleh para ilmuwan maupun praktisi yang terlibat dalam teknik atau industri pemetaan di Indonesia. Seperti kita ketahui, setidak-tidaknya sudah dua kali peristiwa penting space shuttle dilengkapi dengan tugas pemotretan permukaan bumi. Pertama pada Mission STS--9: metric camera (Zeiss) milik European Space Agency (ESA) dipasang (November--Desember 1983). Meskipun masih terdapat beberapa kelemahan, terutama karena kondisi penyinaran yang kurang baik di musim dingin, misi ini telah diakui sebagai breakthrough oleh kalangan yang terlibat dalam teknik pemetaan dari satelit. Atasan paling penting adalah karena resolusi dan kualitas (detectability) dari citra yang diperoleh, dan kemungkinan pengamatan stereoskopis untuk pengindriaan. jarak jauh dan pemetaan topografis. Dengan foto standar 23x23cm, focal length 30.5 cm dan ketinggian terbang rata-rata 250 km, satu single photograph meliput kira-kira 168 x 188 km persegi. Sayang sekali, boleh dikata tidak ada wilayah Indonesia yang tercakup dalam misi Metric Camera ini. Misi pemotretan kedua adalah Shuttle Mission STS-41G (5 Oktober 1984) yang dilengkapi dengan Shuttle Imaging Radar (SIR-B) dan Large Format Camera (ITEK) yang dilengkapi dengan Stellar Attitude Reference System (LFC-ARS). Memang NASA lebih menitikberatkan misi SIR- B-nya, terbukti dengan disediakannya dana untuk 44 co-investigators untuk Sl R- B. Tetapi dalam hal ground resolution dan geometric integrity, hasil pemotretan LFC ternyata jauh lebih baik daripada citra radar SIR-B. Sebagai tambahan, resolusi LFC ini kira-kira dua kali lebih baik daripada Metric Camera. Tidak dapat disangkal, tentu saja, keuntungan citra radar yang bisa diambil malam hari dan untuk daerah yang tertutup awan. Pada misi LFC ini sebagian besar wilayah Indonesia tercakup. Beberapa daerah di Kalimantan, Jawa, Sulawesi,dan Irian Jaya tercakup dengan kondisi awan yang baik (di bawah 30%). Dengan format yang lebih besar (23 x 46 cm), sebuah single frame photo meliput kira-kira 170 x 340 km persegi. Pada pertengahan 1986, NASA merencanakan penerbangan kembali Metric Camera (EOM Mission) dengan meningkatkan resolusinya menjadi dua atau tiga kali dan dilengkapi dengan Image Motion Compensation. Pada misi pemotretan berikutnya, 1988, direncanakan pemotretan dengan focal length yang lebih panang. Ada beberapa hal yang bisa diambil dari rentetan kronologis di atas. Dalam kesempatan ini juga disampaikan saran, tawaran, dan permohonan baik untuk masyarakat pemetaan dan pengindriaan jarak jauh maupun instansi yang berwenang di Indonesia. 1. Di samping penggunaan citra dengan resolusi yang lebih rendah, pemotretan dari ruang angkasa sudah merupakan alternatif penting sebagai media data acquisition tool untuk pemetaan topografis dan pengindriaan jarak jauh. Diperkirakan potret-potret satelit ini cocok untuk pemetaan topografis skala 1:50,000 atau bahkan lebih besar (masih dikaji). 2. Upaya pertama pemotretan wilayah Indonesia oleh orang Indonesia (Dr. Pratiwi) harus dikembangkan lebih jauh ke arah upaya kerja sama yang lebih luas dengan ESA, khususnya dengan German Space Agency (DFVLR) atau NASA, untuk kemungkinan penggunaan kamera yang lebih powerful. 3. Potret-potret satelit yang diperoleh dalam misi LFC harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para ilmuwan di Indonesia. Tanpa mengesampingkan hasil citra yang akan diperoleh Dr. Pratiwi, citra-citra LFC jelas merupakan hasil jepretan kamera yang lebih baik daripada yang digunakan Dr. Pratiwi -- kalau betul itu nonmetric camera seperti yang saya duga. 4. Saat ini saya sedang melakukan riset di Department of Photogrammetry, UCL, University of London. Media yang saya gunakan sekarang adalah hasil misi Metric Camera dengan foto Nomor 864/866, yang meliput daerah Marseilles, Prancis, dan Nomor 717/718 untuk daerah Libya. Riset tersebut mempelajari Fractal Based Digital Terrain Models untuk keperluan pemetaan topografis, studi geofisika, dan geomorfologis. Riset yang sama untuk citra-citra LFC insya Allah akan saya mulai Mei tahun ini. Terus terang saya sangat tertarik pada hasil pemotretan Dr. Pratiwi di atas, karena saya ingin juga melakukan studi di atas untuk citra yang diambil dengan kamera nonmetrik dan dengan focal length yang lebih pendek. Dua tahun yang lalu saya pernah menggunakan kamera Hasselblad ini untuk Terrestrial Photogrammetry dalam mempelajari deformasi konstruksi (bangunan maupun industri). Dengan sophisticated treatment dalam systematic error compensation dan gross error removal, ternyata kamera ini mampu menyamai potensi kamera metrik. Tentu saja menarik untuk mempelajari potensi kamera ini dalam pekerjaan-pekerjaan Satellite Photogrammetry dan Remote Sensing. Dalam kesempatan ini, saya mengajukan tawaran untuk bertukar pengalaman dan informasi dengan para ilmuwan di Indonesia yang terlibat dalam proses pengindriaan jarak jauh dan pemetaan hasil citra misi Dr. Pratiwi ini. Kalau pertukaran informasi ini harus melalui jalur yang resmi, dalam kesempatan ini juga saya mengajukan permohonan bantuan pada Bapak Menteri Riset dan Teknologi dan LIPI, yang mempunyai prakarsa dalam proyek pemotretan ini, untuk mendapatkan izin memperoleh dan menggunakan citra tersebut di atas. Kalau bentuk kerja sama yang lebih melembaga diperlukan, dengan senang hati saya pun dapat minta Ketua Departemen atau supervisor saya untuk menyampaikan semacam proposal untuk Collaborative Research Program. Saya pun akan menyambut baik pertukaran pengalaman dalam riset tentang LFC, baik untuk wilayah Indonesia maupun wilayah luar Indonesia. Sebagai referensi, peralatan penting yang sekarang tersedia di University of London adalah: a. Dua super computers untuk pengolahan data offline, yaitu Distributed Array Processor (ICL-DAP) dan CRAY 1S/1000, Vector Processor, b. 125 workstation untuk imageprocessing, c. Sebuah Analytical Plotter Kern DSR1 untuk pengukuran koordinat foto dengan resolusi 1 micron, dan untuk semi-automatic (dalam arti tidak sepenuhnya on-line) Digital Terrain Model Generation serta tugas digital mapping lainnya. Bagaimanapun bentuk pertukaran informasi dan hasil riset itu nanti jadinya, satu harapan di sanubari saya, semoga ini akan berguna bagi bangsa dan negara Indonesia. Untuk itu saya sangat menunggu tanggapan para pengambil keputusan yang berwewenang mengeluarkan data seperti tersebut, atau dari masyarakat pemetaan dan pengindriaan jarak jauh di Indonesia. TONO SAKSONO Dept. of Photogrammetry, UCL University of London Gower St. WC1E 6BT London, England

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus