Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kampanye Bir Bintang ?

Serangkaian keputusan PB NU yang melarang pengurus NU merangkap pengurus orpol, membuat PPP Ja-Tim kedodoran. Tak ada satupun yang mau jadi komisaris. kiai Sjamsuri memberi fatwa wajib mendukung PPP.

15 Februari 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUNTUT larangan PB NU tentang rangkap jabatan dengan orpol tampaknya bertambah panjang, khususnya di Jawa Timur. Di provinsi yang dikenal sebagai basis NU ini, sebagian besar massa NU agaknya mengartikannya sebagai "perceraian" NU dengan PPP. Padahal, keputusan PB NU Nomor 72 Tahun 1985 sebetulnya cuma melarang pengurus harian NU di semua tingkatan merangkap kepengurusan harian organisasi politik. Selain larangan itu, beberapa tokoh NU memang memberikan tambahan penegasan. Rais Am Kiai As'ad Syamsul Arifin, misalnya, memberikan semacam fatwa: "Dalam Pemilu 1987 nanti, warga NU wajib menyukseskan pesta demokrasi itu. Tapi tidak wajib berkampanye untuk PPP dan tidak wajib pula mencoblos PPP." Setelah itu Kiai As'ad, Abdurrahman Wahid, dan Rais Syuriah NU Ja-Tim, Kiai Nadjid Abdul Wahab, mengeluarkan larangan: Semua ulama NU, pengasuh pesantren, dan para mubalig NU dilarang menjadi juru kampanye Pemilu 1987 nanti. Alasannya, agar mubalig NU murni menyampaikan dakwah Islam dan tidak tercampur soal politik. Belakangan keluar Keputusan PB NU Nomor 92 Tahun 1986. Isinya: melarang para pengurus harian NU serta pengurus lembaga, lajnah, dan badan otonom lainnya tingkat majelis wakil cabang dan ranting untuk menjadi komisaris organisasi politik, maupun mewakilinya dalam berbagai tingkatan aparatur pemilu. Serangkaian larangan ini ternyata membuat PPP Ja-Tim kedodoran. Rencana DPW PPP Ja-Tim untuk mengadakan pemilihan pimpinan anak cabang dan ranting, yang masing-masing seorang komisaris dan lima pembantu, macet. "Habis, tidak ada yang mau menjadi komisaris," kata Hamid Ulumuddin, 55, anggota F-PP di DPRD Ja-Tim. Hamid memberikan contoh. Di 19 kecamatan yang ada di Bondowoso, hampir tak ada yang bersedia menjadi komisaris. "Itu di tingkat kecamatan. Apalagi di tingkat desa," katanya. Menurut Hamid, alasan penolakan mereka: karena mereka ikut kiai. Pimpinan PPP, terutama. Naro, dianggap emoh kiai, hingga warga NU pun menjauhi Naro dan PPP. Untuk mencari tenaga PPS (Pengawas Pemungutan Suara) dan Panwaslakcam (Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu Tingkat Kecamatan) yang harus selesai akhir Februari ini, juga sulit. Bisa dimengerti bila hampir semua DPC yang menghadiri Konperensi Kerja DPW PPP Ja-Tim, 26 Januari silam mengeluhkan hal itu. Namun, Hizbullah Huda, tokoh PPP Ja-Tim, tampaknya optimistis. "Semuanya akan beres. Yang penting, bagaimana cara menyelesaikan hambatan itu, bukan mempersoalkan sebab musababnya," katanya. Sikap warga NU menjauhi PPP ternyata tak terbatas pada penolakan menjadi komisaris. Beberapa mubalig NU yang diketahui menjadi pengurus PPP langsung dicap sebagai antek Naro, dan tak diundang lagi. Hal itu menimpa, misalnya, Masjkur Hasyim dan Hidayat Tauhid. Masjkur Hasyim, 40, selain sebagai salah seorang Ketua Pemuda Ansor Ja-Tim, juga terkenal sebagai mubalig yang tersohor hingga ke Ja-Teng. Sebelum terpilih sebagai Sekretaris IV DPW PPP Ja-Tim sejak Oktober 1985, hampir tiap hari ia berkeliling memberikan ceramah agama. Namun, begitu ia menjadi pengurus PPP, penggemarnya anjlok. Beberapa pengajian rutinnya, misalnya di Masjid Ittihad Gubeng, Surabaya, mendadak dicoret. Undangan yang sudah disampaikan juga ada yang dibatalkan. Perang dingin di Ja-Tim antara pengurus NU yang keluar dari PPP dan yang masih bertahan tampaknya bisa berkepanjangan. Sebab, bagaimanapun pimpinan PPP -- yang memang dikuasai orang NU -- tentunya tidak ingin kehilangan dukungan warga NU. Hingga sindir-menyindir selalu ada. Hasyim Latief, bekas Ketua DPW PPP Ja-Tim yang kini giat di NU, misalnya, sering berkelakar, "Kampanye PPP nanti tak ubahnya seperti kampanye bir bintang." Melihat situasi ini, ada tokoh yang menengahi. Misalnya Kiai Sjamsuri Badawi, pengasuh pesantren Tebuireng, Jombang. Dalam Konperensi Kerja DPW PPPJa-Tim bulan lalu, ia mengatakan, "Umat Islam wajib mendukung PPP. Dan gambar bintang PPP bukan bir bintang, tapi bintang sahabat Nabi." Fatwa pribadi Kiai Sjamsuri itu, katanya, dikeluarkan untuk menyelamatkan warga NU. "Betul muktamar NU telah memutuskan untuk menanggalkan keterikatannya dengan orpol mana pun. Itu bagus. Tapi jangan lalu person-person pimpinan NU 'ngomong terus soal politik. Jangan 'ngatur terus-terusan: yang tak boleh jadi komisaris, tak boleh kampanye, dan tidak wajib mencoblos PPP. Perkataan macam itu justru menyesatkan umat," katanya. Lalu ditegaskannya, "Saya tetap menghukumi: wajib mendukung PPP. Alasannya: meski asas PPP sekarang Pancasila, AD/ART-nya masih jelas menyebutkan untuk memperjuangkan Islam. "Rumah umat Islam, ya di PPP itu." Kiai Sjamsuri membantah fatwanya itu dikeluarkan karena ia menjabat Ketua Majelis Pertimbangan PPP Cabang Jombang. Fatwa "wajib" Kiai Sjamsuri, tentu saja, disambut gembira pimpinan PPP. Ridwan Saidi, Ketua LP4 (Lajnah Pemilu PPP) Pusat yang juga Ketua Departemen Pemuda dan Pemilu DPP PPP, menilai, fatwa itu akan diterima bukan di Ja-Tim saja. "Saya kira di Ja-Tim tak banyak masalah hubungan antara NU dan PPP. Tanpa fatwa itu sebenarnya sudah berjalan baik. Bahkan yang menutup Konperwil PPP Ja-Tim dengan doa adalah Kiai Adlan Ali, ulama besar juga. Ini membuktikan, fatwa Abdurrahman Wahid tidak berjalan," katanya. Dari kalangan pimpinan PB NU belum muncul tanggapan terhadap fatwa Kiai Sjamsuri. "Saya belum mendengarnya," kata Fahmi Dja'far Saifuddin, Ketua PB NU. "Kebijaksanaan PB NU tak berubah dengan itu. Adalah hak Kiai Sjamsuri untuk memilih aspirasi politiknya. NU tidak melarang dan tidak mengarahkan untuk menentukan pilihan dalam pemilu nanti," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus