MELIPUT berita di daerah yang lagi sibuk pemilu memang tidak begitu gampang. Itu dialami wartawan kami Seiichi Okawa dan Isma Sawitri, yang sejak akhir bulan lalu ditugasi meliput kampanye dan pelaksanaan pemilihan umum di Filipina. Kesulitan pokok mereka, sebagai wartawan asing di negeri Jeepney itu, adalah kesempatan untuk mengadakan wawancara dengan berbagai tokoh yang terlibat dalam pemilu. Bersama dengan sekitar 1.000 wartawan asing dan lokal Borwa-san -- panggilan akrab Okawa, yang didapatnya dalam ekspedisi di pedalaman Irian Jaya sepuluh tahun silam -- mesti berebut untuk bisa mengadakan wawancara eksklusif dengan sejumlah tokoh penting. Tampaknya wartawan asing mempunyai peranan yang cukup penting dalam pemilu untuk menetapkan presiden Filipina itu. "Wartawan asing seakan menjadi tombak dan perisai dalam pemilu ini," kata Borwa-san. Sebagai tombak, seperti dilakukan Presiden Marcos, mereka menjadi corong ke dunia internasional untuk memojokkan oposisi. Dan, mereka juga dimanfaatkan pihak oposisi, yang dipimpin Nyonya Corazon Aquino, untuk tujuan serupa. Sedangkan sebagai perisai, kehadiran wartawan asing dimanfaatkan kedua belah pihak untuk mencegah pihak lawan melakukan kekerasan atau kecurangan. Sebagai contoh, Isma, sehari setelah pemilu ditelepon pihak Namfrel. Ia diminta segera datang ke Makati dan Mandaluyong. Karena, kata si penelepon, di kedua disrik Manila itu tengah terjadi kerusuhan. "Kalau tidak ada wartawan asing yang datang, kerusuhan akan meluas dan menjadi-jadi," kata si penelepon. Okawa, yang terbang dari Tokyo ke Manila, dan Isma, yang bertolak dari Jakarta, memang diminta siaga penuh menghadapi berbagai kemungkinan. Okawa, misalnya, beberapa kali tidak sempat makan lebih dahulu bila ada kampanye atau keributan antar kelompok peserta pemilu. Dalam bentrokan antar kelompok semacam itu, ia berada dalam dua pilihan: menyelamatkan diri atau mengabadikan peristiwa itu. Agaknya, ia memilih kedua-duanya. Ini terbukti dari foto-foto yang dibuatnya -- yang maaf, tidak semuanya bisa ditampilkan dalam majalah dan ia tetap segar bugar untuk mengirimkan laporan ke Jakarta. Dalam masa kampanye, Okawa terlebih dahulu meliput suasana di luar Kota Manila, dan masuk ke ibu kota Filipina itu pada putaran terakhir kampanye. Ia juga ke daerah miskin Manila, Tondo, untuk mengadakan wawancara dengan masyarakat setempat, lewat bantuan seorang pemuda Filipina yang kemudian menemaninya selama meliput pemilu. Kecuali ikut mobil kampanye keliling kota, Okawa juga mengadakan wawancara dengan Butz Aquino, adik mendiang tokoh oposisi Benigno Aquino. Ia juga mewawancarai Lorento M. Tanada, Senator Olaria, Wakil Ketua Organisasi Bayan yang kali ini ikut memboikot pemilu. Untuk bisa melontarkan beberapa pertanyaan pada Nyonya Cory, ia mesti ikut rombongan kampanye tokoh oposisi itu ke mana saja mereka pergi. Seluruh laporan yang dihimpun di Filipina, dan juga dari wartawan kami P. Nasution di Amerika Serikat, langsung ditulis oleh Isma Sawitri, yang selama ini menjaga gawang rubrik Luar Negeri, dari Manila. Sementara itu, Salim Said menulis bagian lain Laporan Utama ini di Jakarta. Bagi Okawa dan Isma, Filipina bukan lapangan baru untuk meliput berita. Isma, misalnya, pada 1983, ketika Ninoy tertembak mati, terbang ke Manila untuk meliputnya. Borwa-san sebelumnya pernah ke negeri Marcos itu untuk meliput Komisi Agrava 1984. Tahun yang sama, ia khusus terbang ke Manila untuk mewawancarai Menlu RRC Gong Dafei.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini