JIKA anda punya pilihan, apakah yang akan anda lakukan membaca
sebuah novel atau menonton video?
Buku dan media cetak, apa boleh buat, tak lagi pegang monopoli
Mulamula radio masuk ke kehidupan kita Kemudian televisi. Kini
kaset video. Di suatu masa ketika persentase buta huruf masih
30%, kita memasuki zaman buu huruf baru: masa pra-tulisan
langsung bergerak ke dalam masa pasca-tulisan.
Burukkah? Entahlah Jika anda membaca novel, anda mengangkut
latar dan tokoh-tokoh cerita itu dalam kepala anda. Kisah
mereka, suasana hati mereka, yang tercermin dalam irama kalimat
novel itu, akan berhenti bila anda pun berhenti membaca --
misalnya karena tiba-tiba harus menemui tamu.
Membaca, dengan demikian, berarti membangun sebuah dunia.
Menonton suatu penyajian video sebaliknya ibarat mengunjungi
sebuah negeri yang tehh siap -- bak serombongan turis dalam satu
tour ringkas. Biro perjalanan yang memilih untuk anda, bagaimana
sebuah negeri harus nampak di mata anda. Bandingkanlah bila kita
membaca Injil dan menonton Tbe King of Kings. Atau membaca
Atheis karya Achdiat K. Mihardja dan menonton film Athes yang
dibikin Syumandjaja.
Dalam banyak kejadian, versi audiovisual sebuah karya kurang
memuaskan bila dibanding dengan karya itu dalam bentuk tertulis.
Sebuah lelucon yang terkenal di Amerika ialah tentang iklan
scbuah novel: "Bacalah buku ini sebelum dirusak oleh Hollywood!"
Kitasering kecewa, mungkin karena kita merasa bahwa dunia, yang
kita bangun secara pribadi dari novel itu, direbut orang lain,
lalu dijual ke khalayak ramai.
Tapi burukkah media di luar karya cetak itu bagi kita? Di masa
ketika pembacaan puisi ramai dikunjungi sementara buku puisi
jarang dibeli, mungkin kita tak boleh terburu-buru jadi hakim.
Media elektronik setidaknya telah bertindak seperti alat cetak
pertama di Gutenberg dulu: ia meruntuhkan monopoli atas
informasi.
Zaman sebelum penemuan di Gutenberg adalah zaman ketika ilmu
pengetahuan berada di tangan para padri, yang menyimpan ilmu itu
di naskah tulisan tangan dalam jumlah sangat terbatas. Mesin
cetaklah yang mengubah keadaan: teknologi ini berhasil
memperbanyak naskah, lalu orang pun menyebarluaskannya. Dan
sekali ilmu menyebar, ia bukan saja ikut membikin perubahan. Ia
juga jadi sukar punah.
Tentu saja ada yang posisinya guncang dengan penemuan di
Gutenberg. Para padri tak lagi bisa mengontrol apa yang layak
dibaca dan tak layak dibaca oleh awam. Dan tentu saja selalu ada
ikhtiar untuk merebut kembali kontrol itu. Vatikan, misalnya,
sampai kini pun punya indeks buku yang seharusnya tak dibaca.
Tapi Vatikan tak sendirian. Bahkan di Amerika, di kalangan pers,
percobaan memegang kontrol yang eksklusif juga terjadi. Ketika
media elektronik mulai muncul, media cetak jadi cemas. Mereka
pun berteriak tentang perlunya sensur.
Di tahun 1923, misalnya. Ketika itu, radio baru saja
dimasyarakatkan. Harian The New York Times, yang biasanya bicara
soal kemerdekaan pers, tiba-tiba menulis tentang perlunya
ketidakmerdekaan radio. "Para pendengar radio begitu luas,"
tulisnya, "dan mewakili kepentingan yang sangat beragam, hingga
sensur harus melenyapkan siaran yang bisa merusakkan perasaan
orang yang mendengarkannya."
Media cetak, dengan kata lain, ingin tetap pegang monopoli
tentang informasi--juga tentang apa yang layak diketahui dan tak
diketahui oleh orang ramai.
Tidakkah kecemasan terhadap kaset video kini pun menyimpan
tendensi itu pada dasarn a? Mungkin. Sebab berbeda dari film
di TVRI dan yang beredar di bioskop, gambar hidup yang tersimpan
di kaset-kaset video lebih sukar dikendalikan oleh suatu
birokrasi sentral.
Itu agaknya suatu isyarat ke masa depan, dan pelajaran buat masa
kini. Yakni, bahwa pada akhirnya selalu ada alternatif yang tak
bisa dikuasai dan dipotong-potong dalam perubahan besar
teknologi informasi. Kecemasan boleh saja. Tapi alternatif bukan
hal yang jelek. Terutama ketika film bagus seperti Saidjab dan
Adinda tak bisa dipuur untuk umum, sedangkan film sampah Edwige
Fenech berderetan terbuka . . .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini