Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Teknologi Informasi

Media elektronik, seperti video, radio, televisi, kini telah pegang monopoli. media cetak terdesak masalahnya, media elektronik sulit dikendalikan oleh birokrasi. akibat kemajuan teknologi informasi.

25 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA anda punya pilihan, apakah yang akan anda lakukan membaca sebuah novel atau menonton video? Buku dan media cetak, apa boleh buat, tak lagi pegang monopoli Mulamula radio masuk ke kehidupan kita Kemudian televisi. Kini kaset video. Di suatu masa ketika persentase buta huruf masih 30%, kita memasuki zaman buu huruf baru: masa pra-tulisan langsung bergerak ke dalam masa pasca-tulisan. Burukkah? Entahlah Jika anda membaca novel, anda mengangkut latar dan tokoh-tokoh cerita itu dalam kepala anda. Kisah mereka, suasana hati mereka, yang tercermin dalam irama kalimat novel itu, akan berhenti bila anda pun berhenti membaca -- misalnya karena tiba-tiba harus menemui tamu. Membaca, dengan demikian, berarti membangun sebuah dunia. Menonton suatu penyajian video sebaliknya ibarat mengunjungi sebuah negeri yang tehh siap -- bak serombongan turis dalam satu tour ringkas. Biro perjalanan yang memilih untuk anda, bagaimana sebuah negeri harus nampak di mata anda. Bandingkanlah bila kita membaca Injil dan menonton Tbe King of Kings. Atau membaca Atheis karya Achdiat K. Mihardja dan menonton film Athes yang dibikin Syumandjaja. Dalam banyak kejadian, versi audiovisual sebuah karya kurang memuaskan bila dibanding dengan karya itu dalam bentuk tertulis. Sebuah lelucon yang terkenal di Amerika ialah tentang iklan scbuah novel: "Bacalah buku ini sebelum dirusak oleh Hollywood!" Kitasering kecewa, mungkin karena kita merasa bahwa dunia, yang kita bangun secara pribadi dari novel itu, direbut orang lain, lalu dijual ke khalayak ramai. Tapi burukkah media di luar karya cetak itu bagi kita? Di masa ketika pembacaan puisi ramai dikunjungi sementara buku puisi jarang dibeli, mungkin kita tak boleh terburu-buru jadi hakim. Media elektronik setidaknya telah bertindak seperti alat cetak pertama di Gutenberg dulu: ia meruntuhkan monopoli atas informasi. Zaman sebelum penemuan di Gutenberg adalah zaman ketika ilmu pengetahuan berada di tangan para padri, yang menyimpan ilmu itu di naskah tulisan tangan dalam jumlah sangat terbatas. Mesin cetaklah yang mengubah keadaan: teknologi ini berhasil memperbanyak naskah, lalu orang pun menyebarluaskannya. Dan sekali ilmu menyebar, ia bukan saja ikut membikin perubahan. Ia juga jadi sukar punah. Tentu saja ada yang posisinya guncang dengan penemuan di Gutenberg. Para padri tak lagi bisa mengontrol apa yang layak dibaca dan tak layak dibaca oleh awam. Dan tentu saja selalu ada ikhtiar untuk merebut kembali kontrol itu. Vatikan, misalnya, sampai kini pun punya indeks buku yang seharusnya tak dibaca. Tapi Vatikan tak sendirian. Bahkan di Amerika, di kalangan pers, percobaan memegang kontrol yang eksklusif juga terjadi. Ketika media elektronik mulai muncul, media cetak jadi cemas. Mereka pun berteriak tentang perlunya sensur. Di tahun 1923, misalnya. Ketika itu, radio baru saja dimasyarakatkan. Harian The New York Times, yang biasanya bicara soal kemerdekaan pers, tiba-tiba menulis tentang perlunya ketidakmerdekaan radio. "Para pendengar radio begitu luas," tulisnya, "dan mewakili kepentingan yang sangat beragam, hingga sensur harus melenyapkan siaran yang bisa merusakkan perasaan orang yang mendengarkannya." Media cetak, dengan kata lain, ingin tetap pegang monopoli tentang informasi--juga tentang apa yang layak diketahui dan tak diketahui oleh orang ramai. Tidakkah kecemasan terhadap kaset video kini pun menyimpan tendensi itu pada dasarn a? Mungkin. Sebab berbeda dari film di TVRI dan yang beredar di bioskop, gambar hidup yang tersimpan di kaset-kaset video lebih sukar dikendalikan oleh suatu birokrasi sentral. Itu agaknya suatu isyarat ke masa depan, dan pelajaran buat masa kini. Yakni, bahwa pada akhirnya selalu ada alternatif yang tak bisa dikuasai dan dipotong-potong dalam perubahan besar teknologi informasi. Kecemasan boleh saja. Tapi alternatif bukan hal yang jelek. Terutama ketika film bagus seperti Saidjab dan Adinda tak bisa dipuur untuk umum, sedangkan film sampah Edwige Fenech berderetan terbuka . . .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus