Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Antara gurau dan kecemasan

KBRI di canberra protes atas ucapan brigjen John Deighton, yang mengatakan bahwa Indonesia merupakan ancaman nomor dua bagi Australia setelah Rusia. (nas)

25 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERJADINYA "insiden" itu sama sekali tak diduga. Dua pekan lalu serombongan atase militer asing yang bertugas di Australia diundang menghadiri suatu acara briefing di barak Laverack, Townsville, Queensland, Australia. Komandan setempat, Brigjen John Deighton, menguraikan kekuatan tempur Angkatan Darat Australia. Deighton dikabarkan antara lain meneatakan: "Tentara Australia mampu nenangani Indonesia, seperti pernah dilakukannya dulu." Namun Deighton, 47 tahun, yang pernah bertugas di Malaysia semasa zaman konfrontasi dulu, menambahkan, "Indonesia kini merupakan kawan." Atase Pertahanan RI Kol, T.D.V. Situmeang yang ikut hadir, rupanya tersinggung atas ucapan tersebut. Ucapan Deighton memang bisa diartikan, Australia menganggap Indonesia sebagai musuh. Dan untuk itu tentara Australia siap menghadapinya. Tak jelas apa yang kemudian terjadi. Konon Kedutaan Besar RI di Canberra kemudian meneaiukan keluhan pada Departemen Pertahanan Australia Deighton kemudian dipanggil oleh Komandan Staf Umum Letjen P. H. Bennet. Ia lalu memutuskan memindahkan Deigh ton ke jabatan lain. Deighton dikabarkan menolak. Ia menyatakan meletakkan jabatannya. Brigjen Deighton tak bisa diminta keterangannya. Tatkala koresponden TEMPO di Australia Zulaikha Chudori mencoba menghubunginya, ternyata ia telah memulai cutinya yang dua bulan untuk kemudian memulai tugas barunya di Melbourne. Juru bicara Departemen Pertahanan Australia Bruce Davis menolak memberi keterangan tentang apa yang dikatakan Deighton. "Masalah ini sudah dianggap selesai," ujarnya. Menurut dia, yang terjadi hanyalah "salah pengertian". Setelah memanggil Deighton dan mempertimbangkan situasinya, Letjen Bennet kemudian memutuskan bahwa lebih baik Deighton mendapat tugas lain. Sementara itu Departemen Luar Negeri Australia menyangkal bahwa KBRI menyampaikan protes atau pernyataan apa pun pada Deplu Australia tentang kejadian tersebut. Seorang juru bicara departemen tersebut juga menolak mengomentari mengenai pemindahan tugas Deighton. "Khususnya karena kami belum secara resmi menyatakan apakah Indonesia memang terlibat dalam persoalan ini," jawabnya. Di Jakarta, Menlu Mochtar Kusumaatmadja Senin lalu menjawab singkat, "saya belum mendapat laporan dari KBRI di Canberra. Frank Cranston, wartawan Canberra yang menulis mengenai kejadian ini. Ia menganggap, ucapan Deighton itu dilakukannya secara bergurau yang rupanya ditanggapi Kol. Situmeang secara serius. Seorang atase militer itu hadir dalam acara tersebut dan diwawancarai Cranston berpendapat: ucapan Deighton hanya gurauan, dan pihak Indonesia dianggapnya terlalu terburu-buru menanggapinya. Dr. Feter McCawley, seorang ahli tentang Indonesia dari Australian National University, menganggap Australia maupun Indonesia terlalu sensitif menanggapi kejadian tersebut. "Kelihatannya kedua belah pihak memberikan reaksi yang berlebihan. Saya kira lebih baik kedua pihak tenang-tenang saja dulu untuk sementara. Biarkan sebulan berlalu. Baru kemudian mencoba menyelesaikannya secara baik-baik," ujarnya. Ia juga menganjurkan agar kedua pihak lebih santai dan bersikap lebih mengerti. Toh kecurigaan masyarakat Australia terhadap kemungkinan ancaman dari Indonesia ternyata besar. Majalah Bulletin pada edisinya 4 September lalu melaporkan hasil survei Morgan Gallup Poll. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa Indonesia menduduki tempat kedua setelah Rusia, sebagai negara yang merupakan ancaman terhadap keamanan Australia. Urutannya: Rusia 26%, Indonesia 17%, RRC 7% dan Amerika Serikat 6%. Sebagai perbandingan, poll TEMPO pada 1980 menunjukkan bahwa hanya sekitar 4% responden menganggap Australia sebagai ancaman. Negara yang dianggap mengancam keamanan Indonesia berturut-turut adalah RRC 28%, Uni Soviet 23%, Vietnam 21%, AS 11% dan Jepang 8%. Pemerintah Australia sendiri rupanya tak dihinggapi kekhawatiran. Dalam pidatonya di Parlemen pekan lalu, Menteri Pertahanan Australia Ian Sinclair menyatakan, "Saat ini tidak ada indikasi bahwa Australia diancam bahaya apa pun di kawasan Asia-Pasifik." Alasannya: angkatan darat di kawasan tersebut tidak didukung kekuatan laut dan udara yang berarti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus