ADA "Tipe A", ada "Teori Z". Barangkali dengan itu kita
bicara lebih baik tentang demokrasi.
"Tipe A" adalah jenis sebagian besar perusahaan Amerika
manajemennya disusun dengan sang boss sendirian di pucuk.
Keputusan diproses hanya oleh yang paling di atas itu.
Ternyata tradisi demokrasi yang termasyhur di Amerika agak macet
di sini. Akibatnya berat perusahaan-perusahaan Amerika sedikit
demi sedikit kalah bersaing menghadapi perusahaan Jepang.
Maka, muncullah "Teori Z". Setidaknya menurut resep William
Ouchi. Profesor ilmu manajemen dari Universitas California ini
bulan depan akan menerbitkan bukunya, Theory Z Corporations: How
American Business Can Meet the Japanese Challenge.
Kisah "Teori Z" dimulai dengan kisah sebuah perusahaan yang
sedang sekarat. Pada suatu hari seorang muda diangkat jadi
manager pabrik. Ia langsung mengundang rapat semua pekerja.
Dijelaskannya, bahwa perusahaan saingan mungkin akan
menggerogoti bisnis pabrik ini. Dibahasnya sebuah studi, yang
menunjukkan permintaan para konsumen. Dikemukakannya betapa
perusahaan perlu memperoleh untung tertentu, agar dapat terus
menampung para buruh yang ada dan mengadakan investasi baru.
Para pekerja manggut-manggut. Sebelumnya, mereka tak pernah tahu
menahu soal ini. Mereka cuma menjalankan perintah, menyelesaikan
kerja. Mereka tak merasa jadi bagian yang integral dengan sistem
yang lebih besar. Mereka tak sadar alasan apa yang mengharuskan
mereka bekerja lebih keras dan lebih efisien -- kecuali untuk
kepentingan perusahaan, yang seakan lepas dari kepentingan
mereka sendiri.
Kini mereka boleh berdiskusi. Mereka dipercaya. Perlahan-lahan,
mereka mengembangkan sikap baru. Mereka mengatur sendiri
efisiensi mereka. Itu tak berarti mereka yang harus ditegur
dibiarkan saja. Bahkan mereka yang tak menunjukkan ikhtiar untuk
maju, atau tak mampu bekerja lebih jauh, terI.Lksa dilepas.
Disiplin tetap. Tapi "Teori Z" mengajarkan, bahwa keputusan
diproses berdasarkan basis yang lebih luas, tak cuma di puncak
yang sempit.
Contoh yang baik untuk penerapan "Teori Z" ini terdapat pada
sebuah perusahaan komputer yang didirikan di tahun 1968, Intel
-- singkatan dari Integrated Electronics. Di tahun 1970,
penjualan Intel mencapai $ 70 juta. Di tahun 1980, angka itu
menjadi $ 900 juta, dengan tenaga kerja berjumlah 15.000.
Anehnya, meskipun keuntungan jangka pendek bukan tujuan Intel,
ternyata catatan prestasinya di segi ini bagus benar: laba
sebelum dipotong pajak dapat selalu di pertahankan di atas 20%,
baik di masa laris atau pun di masa sulit.
Setelah ditelaah, yang menarik dari Intel adalah organisasinya.
Dalam kerja sehari-harinya -- baik dalam soal penjualan,
pengawasan mutu dan sebagainya -- Intel punya beberapa lusin
"dewan". Lembaga bersama yang tak cuma terdiri dari para
spesialis ini ikut memutuskan dan menegakkan standar.
Andrew Grove, sarjana ahli komputer yang jadi manajer
perusahaan, mengatakan apa gerangan sebabnya. Semua peserta
dalam dewan-dewan itu diperlakukan sama (pekerja baru boleh
mengadu argumen dengan eksekutif yang senior), karena sang
pemimpin tahu batas. "Saya tak dapat berlagak tahu bentuk
silikon atau teknologi komputer yang baru di masa depan," kata
Grove. Dan dengan pengakuan akan makin cepatnya pertambahan
informasi, sikap demokratis adalah suatu keniscayaan.
Kata kunci di situ adalah partisipasi. Di Indonesia, kata ini
juga dikenal. Namun yang berlaku di sini bukan "Teori Z", Juga
bukan "Tipe A". Yang lebih nampak berlaku di sini adalah "Tipe
D" yang terkenal itu: Datang, Duduk, Diam, Damai.
Tak teramat mengherankan, bila banyak hasil besar yang
ditelurkan pemerintah ternyata ditonton seperti siaran
pembangunan TVRI saja. Jika ada manfaat, penonton tak ikut
merasa mensyukuri. Jika ada persoalan, penonton tak merasa ikut
menyadari. Hasil pembangunan seakan hanya buat dipersembahkan
kepada rakyat -- bukan yang digulati sendiri oleh rakyat. Serba
beres, tanpa problem, juga tanpa keterlibatan hati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini