Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Hari-Hari Terakhir Keppres 14 A

Keppres 14 a ditinjau untuk perbaikan. timbul eksplosi kontraktor dan adanya ketimpangan pelaksanaan keppres 14 a. ada juga tuduhan "arisan" pemborong kuat. (nas)

21 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETEGANGAN timbul di kantor Kadin Aceh, lantai tiga gedung GPEIS di Banda Aceh, pertengahan lebruari lalu. Lebih seratus kontraktor beramai-ramai datang unjuk perasaan. Mereka merasa tak puas dengan cara-cara Kadin mengurus sertifikat dan rekomendasi bagi mereka. Seorang kontraktor sampai tak bisa menahan emosinya, lalu membanting gelas, botol dan memecahkan kaca jendela. Arsip surat yang berada di meja sekretariat juga diobrak-abrik oleh kontraktor yang kalap itu. Tapi tindakan kontraktor yang berasal Aceh Utara itu mendapat keplok dari rekan-rekannya. Suasana pun bertambah panas dan hampir saja tak terkendalikan. Kejadian itu baru reda setelah regu Polri dan Kores Banda Aceh, yang kantornya hanya terpisah sekitar 30 meter dari gedung Kadin, didatangkan dengan bedil berbayonet terhunus. Keributan di kantor Kadin Aceh itu berasal dari lambatnya para pengurus menyelesaikan sertifikat dan rekomendasi untuk bahan pelengkap memperoleh pra-kualifikasi rekanan sesuai Keppres 14 A. Padahal jadwal mengajukan permohonan ke kantor gubernur berakhir pada 14 Februari, "Siapa yang tidak panik kalau sudah begini," kata Amir Dewan, seorang kontraktor. Para kontraktor itu menuduh, pihak Kadin "bekerja seperti main-main." Rupanya ada 400 lebih kontraktor yang belum memperoleh sertifikat dan rekomendasi menjelang hari akhir itu. Sebenarnya, menurut Dahlan Sulaiman, sekretaris Kadin, kesalahan tak seluruhnya bisa ditimpakan ke pundak pengurus. Kontraktor sendiri, menurut Dahlan, lambat dalam mengajukan permohonan mendapat sertifikat dan rekomendasi. Sudah beberapa bulan diberitahu agar mereka melengkapi bundel mereka, tapi para kontraktor selalu mengulur waktu. Hingga saat terakhir mereka serentak mengurusnya. "Bayangkan untuk melayani 1.500 bundel kontraktor dalam beberapa hari saja," kata Rubani A. Gani, staf sekretariat Kadin Aceh. Apalagi para pengurus terdiri dari para pengusaha pula. "Kami kan harus cari makan juga. Kerja di sini tidak digaji," tukas Dahlan, yang juga seorang kontraktor. Saling menuding siapa yang salah agaknya tak perlu diperpanjang lagi. Kini, setelah kejadian 'unjuk perasaan' itu, suasana kembali normal di kantor Kadin Aceh. Hanya kesibukan meningkat di luar kebiasaan, dan para kontraktor yang datang ke sana mendapat pelayanan yang ramah. Hari akhir rekomendasi pun, atas persetujuan Ketua Kadin Aceh M. Nur Nikmat, diundur sampai tanggal 5 Maret. Kejadian di Aceh itu menunjukkan salah satu akibat dari Keputusan Presiden (Keppres 14 A) yang akan berakhir masa berlakunya pekan depan jumlah kontraktor meledak. Sebelum ada Keppres 14 A, di Aceh hanya terdapat sekitar 900 kontraktor. Tapi setelah muncul itu Keppres yang oleh seorang pengusaha dianggap sebagai suatu "rahmat bagi pengusaha lemah" itu, jumlah kontraktor pun meningkat menjadi 1. 500. Eksplosi kontraktor atau rekanan itu mernang terjadi di mana-mana. "Rata-rata di setiap provinsi naik 100%," kata Triguno, seorang staf pembantu Menteri PPLH yang antara lain bc rtugas merekam pelaksanaan Keppres 14 A. Di Jawa Barat jumlah itu meroket sampai 300%, dari 200 menjadi 600 kontraktor. Notaris Koswara, 51 tahun, dari Bandung mengakui kantornya jauh lehih ramai setelah muncul itu Keppres 14 A. Rata-rata yang datang 30 orang sehari, dari pagi sampai sore," katanya. Tapi Koswara, yang juga duduk sebagai Ketua Komda Ja-Bar Ikatan Notaris Indonesia, mengatakan, "Saya tak enak kalau mengatakan bahwa yang datang untuk bikin akte itu kebanyakan adalah pemborong." Dalam soal ini, Drs. Anwar Makarim, seorang notaris yang sudah lama buka praktek di Jakarta, lebih berterus terang. "Setelah adanya Keppres 14 A itu, klien saya yang mendirikan perusahaan meningkat dua kali lipat," katanya. Sebelum itu ia mengaku hanya membuat 5 akte perusahaan setiap bulan. Tapi sekarang bisa sampai 10 sebulan. "Mereka kebanyakan dari kategori kontraktor kelas menengah ke bawah," kata Ariwar Makarim. "Ada juga perusahaan yang tadinya bermodal dasar kecil, minta diubah aktenya agar bisa naik kategorinya." MENURUT catatan Kadin Jaya IV anggotanya memang bertambah subur sejak awal April tahun lalu. "Sekarang hampir 3.500 anggota," kata Moh. Kamaruddin, Ketua II Kadin Jaya. Menurut catatan Kaharuddin, yang juga Ketua Tim Keppres 14 A Kadin Jaya, yang bertambah karena Keppres itu ada sebanyak 1.000 anggota. Mengingat tak semua perusahaan itu masuk Kadin, bisa dipastikan yang lahir setelah Keppres lebih banyak dari jumlah itu. Ada yang berpendapat eksplosi pemborong itu antara lain akibat "perusahaan-perusahaan tertentu" sengaja memecah diri dalam beberapa perusahaan pemborong, agar lebih banyak kebagian proyek. Ada juga keluhan, bahwa ada perusahaan yang belum berpengalaman sebagai pemborong, mendadak ingin ikut tender. Ini diakui oleh Triguno dari kantornya Menteri Emil Salim. "Adanya praktek yang demikian memang sulit untuk dihindari," katanya. "Tapi untuk membuktikannya juga tak mudah." Bagjo SH dari kantor Notaris Eobro-oerwanto di Jakarta merasakan ada suatu yang "aneh" dari orang-oran yang datang membuat akte. Banyak kliennya yang membuat perusahaan hanya untuk satu kali jalan saja. Mereka itu akan datang lagi kalau ada proyek lain. Bagjo rupanya bicara tentang mereka yang datang untuk mendirikan perusahaan yang terbaur. "Terus terang saja yang partner pribumi itu kelihatan seperti bukan pedagang," katanya. Kalau benar begitu, notaris itu mengakui perbuatan tersebut termasuk penyelundupan hukum. "Tapi apa boleh buat, hal itu memang masih legal," jawab Bagjo cepat. Maka tak heran kalau seorang sopir tiba-tiba bisa naik pangkat menjadi direktur sebuah CV. Itu antara lain pengamatan Ketua Umum Kadin Sum-Ut Imral Nasution, 42 tahun. Menurut Imral, pembauran yang demikian itu biasa dikenal sebagai 'Ali-Baba'. Si Ali "pri", si Baba "nonpri". Tapi toh seorang Ali yang kuat bisa main pintar-pintaran, dengan memecah modalnya dalam beberapa perusahaan. Itu terjadi pada Imral Nasution sendiri, ketika perusahaannya, PT Inanta dari Medan, memenangkan tender untuk membangun Lembaga Pemasyarakatan Padang Sidempuan. Proyek penjara itu di bawah nilai Rp 200 juta. Sebab itu seharusnya dikerjakan para rekanan setempat. Tapi ternyata orang Medan itu yang menang. Kasus ini sempat menimbulkan protes dari Kadin Perwakilan Padang Sidempuan, karena di daerah itu ada 8 rekanan lokal yang mampu mengerjakan proyek seharga itu. Tapi Imral dalam keterangannya kepada TEMPO menolak kalau ia dituduh telah melanggar Keppres 14 A. Sebab sejak ia menjabat pucuk pimpinan Kadin setempat, jabatan direktur dipegang oleh bawahannya. Ia mengaku kejadian itu "di luar pengetahuannya". Sebagai koreksi, Imral menerangkan telah mensubkontrakkan proyek penjara itu kepada pemborong di daerah yang mampu. Sedang PT Inanta bertindak sebagai "bapak angkat", katanya. Dengan demikian Imral hendak menunjukkan, bahwa ia, perusahaan yang tergolong bermodal kuat, tak serta merta terjun menerkam porsi perusahaan kelas kecil dan menengah. Yang kecil itu banyak benar, apalagi bila pecahan bertebaran. Di Sumatera Utara saja ada 3.230 dari 5.000 pengusaha yang lulus prakualifikasi. Mereka umumnya bergerak di bidang jasa-jasa konstruksi. Akibatnya terjadi persaingan yang tak sehat. "Ibarat kue yang harus dibagi begitu banyak orang, maka masing-masing orang hanya dapat bagian sedikit," kata Imral. Cara pembagian yang nampaknya lebih merata itu, menurut ketua umum Kadin Sum-Ut itu, "jelas merugikan dari segi bisnis." Seperti kata Bupati Deli Serdang Tenteng Ginting, "jumlah perusahaan ada 600, tapi pekerjaan yang tersedia cuma 100." Lantas, bagaimana dengan tujuan Keppres untuk mengutamakan ekonomi lemah? "Wah, itu berjalan setengah kopling," tutur Soetomo Permadi dari Kadin Ja-Teng. Juga memiliki kontraktor CV Bangun Patria, Tomo, demikian ia biasa dipanggil, dalam logat medok Cirebon, lantas bercerita panjang. "Kalau ingin memperoleh proyek, mesti beken dulu dan kuat," katanya. "Termasuk harus dekat dan pegang pemimpin proyeknya. Lihat saja, proyek-proyek besar, pemborongnya ya yang itu-itu saja." Di antara pemborong kuat di Jawa Tengah itu, kata Tomo, terjadi semacam "arisan" saja. Menurut Soetomo, di daerahnya ada lima rekanan kuat yang bersatu dan "dekat dengan pejabat." Jika ada tender, di antara kelima rekanan ini pasti bersatu, dan proyek pasti jatuh kepada salah satu pemborong itu secara bergilir. "Tapi karena syarat minimum tender itu juga lima, sesuai Keppres, supaya kelihatan lebih ramai, kelima pemborong itu masing-masing mencari pasangan yang lemah. Mereka dipakai begitu saja, malah penawaran yang mereka ajukan diketikkan si pemborong kuat. Pokoknya atas nama saja," begitulah uraian Tomo. Tapi ia sendiri enggan menyebutkan siapa kelima anggota "arisan" itu. Pokoknya ia menjelaskan telah memberitahu semua ketimpangan pelaksanaan Keppres 14 A kepada Gubernur Supardjo. Dalam keterangannya kepada TEMPO, Gubernur Supardjo sendiri berpendapat sudah terjalin kerjasama yang baik dengan Kadin, suatu hal yang belum berjalan benar di banyak daerah lain. Kedudukan Kadin, menurut Gubernur Ja-Teng itu, adalah sebagai "konsultan dari panitia prakualifikasi yang setiap saat memberikan saran kepada panitia." Begitu pula, "panitia pun dapat minta pertimbangan Kadin bila dipandang perlu," katanya. Soetomo yang aktif di Kadin tak mengelak, Kadin berfungsi sebagai pemberi saran. Maka di samping setumpuk kritik yang dilontarkannya, ada juga pujian keluar dari mulutnya. Ia mengacungkan jempolnya ketika ditanya soal bank.." Jauh lebih baik ketimbang Keppres 14. Sekarang malah bank aktif dan lancar," katanya. Walau diakui keseretan masih terjadi di tingkat pelaksana, misalnya di bagian kredit, tapi "itu soal biasa . . ., " kata Tomo mesem. Keppres 14 A nampaknya baru beroperasi di bidang bangun-membangun gedung. "Menurut penelitian memang begitu agaknya," kata Dr Alwi Dahlan, Asisten III Menteri PPLH. Rupanya, pengusaha yang tergolong "pri" itu umumnya lebih mampu berkecimpung di bidang kontraktor, dibandingkan kalau mereka harus bergerak sebagai leveransir atau bidang lainnya. Dengan tender yang dimenangkan, pengusaha bisa memperoleh kredit. Sedang untuk pekerjaan leveransir atau pengadaan barang, diperlukan suatu keikutsertaan dalam "jaringan yang sampai sekarang masih dikuasai golongan ekonomi kuat," kata Alwi Dahlan. "Ini bervariasi dari mulai alat-alat kantor sampai barang bangunan, masih mereka kuasai." Pemerintah mengharapkan dalam Keppres yang baru nanti -- yang berlaku sejak awal April 1981 -- akan diciptakan semacam "bapak angkat" di bidang niaga. "Kelompok ekonomi kuat bisa memegang pengadaan barang, dan kelompok ekonomi lemah yang disuplai," kata Alwi. Dalam hubungan ini patut didengar kritik yang dilontarkan seorang pejabat teras Provinsi Sum-Bar terhadap kebijaksanaan pembelian yang dilakukan di Jakarta. Menurut pejabat itu, mestinya Pusat juga bertindak sebagai "bapak angkat" terhadap daerah dalam hal pembelian barang-barang. Tapi yang terjadi, hampir semua pembelian diborong Jakarta. "Masa semua pembelian, mulai dari mesin hitung ke atas disentralisir di pusat," kata pejabat itu. Sistem pembelian yang dipusatkan itu, selain mengakibatkan keterlambatan, juga tak memberi kesempatan kepada para pengusaha golongan ekonomi lemah di daerah untuk lebih maju. Pejabat itu lantas menunjuk pada rencana pembelian yang tercantum dalam PBN 1981/1982. Di situ disebutkan misalnya, lewat proyek sektoral ada sekitar Rp 62 milyar yang hampir seluruhnya akan dibelanjakan di Jakarta. Toh di a-Tim terjadi kemajuan, dalam hal desentralisasi di bidang lain. Di provinsi yang memiliki rekanan paling banyak -- dalam tahun anggaran lalu punya 3.215 rekanan kuat dan lemah -- akan ditempuh kebijaksanaan desentralisasi prakualifikasi mulai 1 April nanti. "Tiap-tiap bupati dan walikota bertindak sebagai panitia prakualifikasi tingkat I, guna menyelenggarakan prakualifikasi di daerah masing-masing. Hasilnya lantas dikirimkan ke tingkat I untuk dijadikan satu dalam daftar rekanan yang mampu (DRM)," ujar Widarto, Kepala Biro Pembangunan Pemda Tkt I Ja-Tim pada TEMPO. "Ini supaya pelayanan terhadap calon rekanan bisa lebih cepat." Selama ini, sebagaimana ketentuan, seluruh permohonan untuk jadi rekanan dialirkan ke tingkat I, sehingga terjadilah kesibukan yang luar biasa. Itu pula yang sebenarnya terjadi di Kadin Banda Aceh dalam hal memberi rekomendasi, yang berbuntut runyam tadi. Sedang di Ja-Tim, para bupati atau walikota punya daftar rekanan di daerah mereka masing-masing. "Mereka kan harus mengutamakan pengusaha setempat, " kata Widarto. Tapi ia bukannya tak melihat masalah dalam usaha perbaikan ini. Widarto melihat kenyataan banyaknya pengusaha pribumi yang mestinya mampu tapi masuk ke golongan lemah. "Terus terang kami tidak bisa melakukan kontrol permodalan mereka itu berapa sebenarnya," katanya. Hal serupa juga tercermin dalam DRM proyek-proyek pemerintah di wilayah DKI Jakarta, tahun 1980-1981. Di situ antara lain tercantum PT Elektronika Nusantara (Elnusa) punya Udaya Hadibroto, PT Nawa Jaya punya Ilham Malik, putra Wapres, dan PT Sapta Krida Utama, yang dipimpin dr. Rosita S. Noor. Semua perusahaan para tokoh terkenal itu termasuk kategori pengusaha "lemah". Iuga PT Daun Rindang Utama, punya Badar Tando dan PT Rachma Tirta jaya, dengan direkturnya Rachmawati Soekarno Putri, putri Bung Karno, dimasukkan ke dalam kelompok "modal lemah" juga. Begitu pula PT Timsco Indonesia, dengan Dir-Ut Ir. S.A. Habibie. (lihat box). Menarik garis tegas antara pengusaha yang "lemah" dan yang "kuat" memang tak mudah. Apalagi kalau hanya melihat dari modal saham yang dicantumkan dalam akte notaris. Tapi semua itu menunjukkan, di mana-mana Keppres 14 A itu disambut secara meriah. Kecuali di beberapa daerah, seperti Kabupaten Kepulauan Riau. "Dalam dua tahun ini hanya 4 sampai 5 pengusaha baru yang muncul," kata Said Idrus, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kepulauan Riau. Itu pun terdiri dari eks subkontraktor, yang kini ingin tampil sebagai kontraktor. Rebutan tender juga tak terjadi di Tana Toraja. Majid, seorang kontraktor disana, rajin ikut tender setiap tahun. Dan baru satu kali menang. Tapi itu tak membuat pengusaha asal Palopo ini berkecil hati. "Di Tana Toraja perusahaan yang tak menang tender biasanya memperoleh jatah penunjukkan yang besarnya Rp 20 juta itu," kata Majid. "Jadi pemerataan bagi 37 kontraktor di daerah kami terbilang cukup."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus