KETEGANGAN timbul di kantor Kadin Aceh, lantai tiga gedung GPEIS
di Banda Aceh, pertengahan lebruari lalu. Lebih seratus
kontraktor beramai-ramai datang unjuk perasaan. Mereka merasa
tak puas dengan cara-cara Kadin mengurus sertifikat dan
rekomendasi bagi mereka. Seorang kontraktor sampai tak bisa
menahan emosinya, lalu membanting gelas, botol dan memecahkan
kaca jendela. Arsip surat yang berada di meja sekretariat juga
diobrak-abrik oleh kontraktor yang kalap itu.
Tapi tindakan kontraktor yang berasal Aceh Utara itu mendapat
keplok dari rekan-rekannya. Suasana pun bertambah panas dan
hampir saja tak terkendalikan. Kejadian itu baru reda setelah
regu Polri dan Kores Banda Aceh, yang kantornya hanya terpisah
sekitar 30 meter dari gedung Kadin, didatangkan dengan bedil
berbayonet terhunus.
Keributan di kantor Kadin Aceh itu berasal dari lambatnya para
pengurus menyelesaikan sertifikat dan rekomendasi untuk bahan
pelengkap memperoleh pra-kualifikasi rekanan sesuai Keppres 14
A. Padahal jadwal mengajukan permohonan ke kantor gubernur
berakhir pada 14 Februari, "Siapa yang tidak panik kalau sudah
begini," kata Amir Dewan, seorang kontraktor.
Para kontraktor itu menuduh, pihak Kadin "bekerja seperti
main-main." Rupanya ada 400 lebih kontraktor yang belum
memperoleh sertifikat dan rekomendasi menjelang hari akhir itu.
Sebenarnya, menurut Dahlan Sulaiman, sekretaris Kadin, kesalahan
tak seluruhnya bisa ditimpakan ke pundak pengurus. Kontraktor
sendiri, menurut Dahlan, lambat dalam mengajukan permohonan
mendapat sertifikat dan rekomendasi. Sudah beberapa bulan
diberitahu agar mereka melengkapi bundel mereka, tapi para
kontraktor selalu mengulur waktu. Hingga saat terakhir mereka
serentak mengurusnya.
"Bayangkan untuk melayani 1.500 bundel kontraktor dalam beberapa
hari saja," kata Rubani A. Gani, staf sekretariat Kadin Aceh.
Apalagi para pengurus terdiri dari para pengusaha pula. "Kami
kan harus cari makan juga. Kerja di sini tidak digaji," tukas
Dahlan, yang juga seorang kontraktor.
Saling menuding siapa yang salah agaknya tak perlu diperpanjang
lagi. Kini, setelah kejadian 'unjuk perasaan' itu, suasana
kembali normal di kantor Kadin Aceh. Hanya kesibukan meningkat
di luar kebiasaan, dan para kontraktor yang datang ke sana
mendapat pelayanan yang ramah. Hari akhir rekomendasi pun, atas
persetujuan Ketua Kadin Aceh M. Nur Nikmat, diundur sampai
tanggal 5 Maret.
Kejadian di Aceh itu menunjukkan salah satu akibat dari
Keputusan Presiden (Keppres 14 A) yang akan berakhir masa
berlakunya pekan depan jumlah kontraktor meledak. Sebelum ada
Keppres 14 A, di Aceh hanya terdapat sekitar 900 kontraktor.
Tapi setelah muncul itu Keppres yang oleh seorang pengusaha
dianggap sebagai suatu "rahmat bagi pengusaha lemah" itu, jumlah
kontraktor pun meningkat menjadi 1. 500.
Eksplosi kontraktor atau rekanan itu mernang terjadi di
mana-mana. "Rata-rata di setiap provinsi naik 100%," kata
Triguno, seorang staf pembantu Menteri PPLH yang antara lain bc
rtugas merekam pelaksanaan Keppres 14 A. Di Jawa Barat jumlah
itu meroket sampai 300%, dari 200 menjadi 600 kontraktor.
Notaris Koswara, 51 tahun, dari Bandung mengakui kantornya jauh
lehih ramai setelah muncul itu Keppres 14 A. Rata-rata yang
datang 30 orang sehari, dari pagi sampai sore," katanya. Tapi
Koswara, yang juga duduk sebagai Ketua Komda Ja-Bar Ikatan
Notaris Indonesia, mengatakan, "Saya tak enak kalau mengatakan
bahwa yang datang untuk bikin akte itu kebanyakan adalah
pemborong."
Dalam soal ini, Drs. Anwar Makarim, seorang notaris yang sudah
lama buka praktek di Jakarta, lebih berterus terang. "Setelah
adanya Keppres 14 A itu, klien saya yang mendirikan
perusahaan meningkat dua kali lipat," katanya.
Sebelum itu ia mengaku hanya membuat 5 akte perusahaan setiap
bulan. Tapi sekarang bisa sampai 10 sebulan. "Mereka kebanyakan
dari kategori kontraktor kelas menengah ke bawah," kata Ariwar
Makarim. "Ada juga perusahaan yang tadinya bermodal dasar kecil,
minta diubah aktenya agar bisa naik kategorinya."
MENURUT catatan Kadin Jaya IV anggotanya memang bertambah
subur sejak awal April tahun lalu. "Sekarang hampir 3.500
anggota," kata Moh. Kamaruddin, Ketua II Kadin Jaya. Menurut
catatan Kaharuddin, yang juga Ketua Tim Keppres 14 A Kadin Jaya,
yang bertambah karena Keppres itu ada sebanyak 1.000 anggota.
Mengingat tak semua perusahaan itu masuk Kadin, bisa dipastikan
yang lahir setelah Keppres lebih banyak dari jumlah itu.
Ada yang berpendapat eksplosi pemborong itu antara lain akibat
"perusahaan-perusahaan tertentu" sengaja memecah diri dalam
beberapa perusahaan pemborong, agar lebih banyak kebagian
proyek. Ada juga keluhan, bahwa ada perusahaan yang belum
berpengalaman sebagai pemborong, mendadak ingin ikut tender. Ini
diakui oleh Triguno dari kantornya Menteri Emil Salim. "Adanya
praktek yang demikian memang sulit untuk dihindari," katanya.
"Tapi untuk membuktikannya juga tak mudah."
Bagjo SH dari kantor Notaris Eobro-oerwanto di Jakarta
merasakan ada suatu yang "aneh" dari orang-oran yang datang
membuat akte. Banyak kliennya yang membuat perusahaan hanya
untuk satu kali jalan saja. Mereka itu akan datang lagi kalau
ada proyek lain.
Bagjo rupanya bicara tentang mereka yang datang untuk mendirikan
perusahaan yang terbaur. "Terus terang saja yang partner pribumi
itu kelihatan seperti bukan pedagang," katanya. Kalau benar
begitu, notaris itu mengakui perbuatan tersebut termasuk
penyelundupan hukum. "Tapi apa boleh buat, hal itu memang masih
legal," jawab Bagjo cepat.
Maka tak heran kalau seorang sopir tiba-tiba bisa naik pangkat
menjadi direktur sebuah CV. Itu antara lain pengamatan Ketua
Umum Kadin Sum-Ut Imral Nasution, 42 tahun. Menurut Imral,
pembauran yang demikian itu biasa dikenal sebagai 'Ali-Baba'. Si
Ali "pri", si Baba "nonpri".
Tapi toh seorang Ali yang kuat bisa main pintar-pintaran, dengan
memecah modalnya dalam beberapa perusahaan. Itu terjadi pada
Imral Nasution sendiri, ketika perusahaannya, PT Inanta dari
Medan, memenangkan tender untuk membangun Lembaga Pemasyarakatan
Padang Sidempuan.
Proyek penjara itu di bawah nilai Rp 200 juta. Sebab itu
seharusnya dikerjakan para rekanan setempat. Tapi ternyata orang
Medan itu yang menang. Kasus ini sempat menimbulkan protes dari
Kadin Perwakilan Padang Sidempuan, karena di daerah itu ada 8
rekanan lokal yang mampu mengerjakan proyek seharga itu.
Tapi Imral dalam keterangannya kepada TEMPO menolak kalau ia
dituduh telah melanggar Keppres 14 A. Sebab sejak ia menjabat
pucuk pimpinan Kadin setempat, jabatan direktur dipegang oleh
bawahannya. Ia mengaku kejadian itu "di luar pengetahuannya".
Sebagai koreksi, Imral menerangkan telah mensubkontrakkan
proyek penjara itu kepada pemborong di daerah yang mampu.
Sedang PT Inanta bertindak sebagai "bapak angkat", katanya.
Dengan demikian Imral hendak menunjukkan, bahwa ia, perusahaan
yang tergolong bermodal kuat, tak serta merta terjun menerkam
porsi perusahaan kelas kecil dan menengah.
Yang kecil itu banyak benar, apalagi bila pecahan bertebaran. Di
Sumatera Utara saja ada 3.230 dari 5.000 pengusaha yang lulus
prakualifikasi. Mereka umumnya bergerak di bidang jasa-jasa
konstruksi. Akibatnya terjadi persaingan yang tak sehat. "Ibarat
kue yang harus dibagi begitu banyak orang, maka masing-masing
orang hanya dapat bagian sedikit," kata Imral. Cara pembagian
yang nampaknya lebih merata itu, menurut ketua umum Kadin Sum-Ut
itu, "jelas merugikan dari segi bisnis." Seperti kata Bupati
Deli Serdang Tenteng Ginting, "jumlah perusahaan ada 600, tapi
pekerjaan yang tersedia cuma 100."
Lantas, bagaimana dengan tujuan Keppres untuk mengutamakan
ekonomi lemah? "Wah, itu berjalan setengah kopling," tutur
Soetomo Permadi dari Kadin Ja-Teng. Juga memiliki kontraktor CV
Bangun Patria, Tomo, demikian ia biasa dipanggil, dalam logat
medok Cirebon, lantas bercerita panjang.
"Kalau ingin memperoleh proyek, mesti beken dulu dan kuat,"
katanya. "Termasuk harus dekat dan pegang pemimpin proyeknya.
Lihat saja, proyek-proyek besar, pemborongnya ya yang itu-itu
saja."
Di antara pemborong kuat di Jawa Tengah itu, kata Tomo, terjadi
semacam "arisan" saja. Menurut Soetomo, di daerahnya ada lima
rekanan kuat yang bersatu dan "dekat dengan pejabat." Jika ada
tender, di antara kelima rekanan ini pasti bersatu, dan proyek
pasti jatuh kepada salah satu pemborong itu secara bergilir.
"Tapi karena syarat minimum tender itu juga lima, sesuai
Keppres, supaya kelihatan lebih ramai, kelima pemborong itu
masing-masing mencari pasangan yang lemah. Mereka dipakai begitu
saja, malah penawaran yang mereka ajukan diketikkan si pemborong
kuat. Pokoknya atas nama saja," begitulah uraian Tomo.
Tapi ia sendiri enggan menyebutkan siapa kelima anggota "arisan"
itu. Pokoknya ia menjelaskan telah memberitahu semua ketimpangan
pelaksanaan Keppres 14 A kepada Gubernur Supardjo.
Dalam keterangannya kepada TEMPO, Gubernur Supardjo sendiri
berpendapat sudah terjalin kerjasama yang baik dengan Kadin,
suatu hal yang belum berjalan benar di banyak daerah lain.
Kedudukan Kadin, menurut Gubernur Ja-Teng itu, adalah sebagai
"konsultan dari panitia prakualifikasi yang setiap saat
memberikan saran kepada panitia." Begitu pula, "panitia pun
dapat minta pertimbangan Kadin bila dipandang perlu," katanya.
Soetomo yang aktif di Kadin tak mengelak, Kadin berfungsi
sebagai pemberi saran. Maka di samping setumpuk kritik yang
dilontarkannya, ada juga pujian keluar dari mulutnya. Ia
mengacungkan jempolnya ketika ditanya soal bank.." Jauh lebih
baik ketimbang Keppres 14. Sekarang malah bank aktif dan
lancar," katanya. Walau diakui keseretan masih terjadi di
tingkat pelaksana, misalnya di bagian kredit, tapi "itu soal
biasa . . ., " kata Tomo mesem.
Keppres 14 A nampaknya baru beroperasi di bidang
bangun-membangun gedung. "Menurut penelitian memang begitu
agaknya," kata Dr Alwi Dahlan, Asisten III Menteri PPLH.
Rupanya, pengusaha yang tergolong "pri" itu umumnya lebih mampu
berkecimpung di bidang kontraktor, dibandingkan kalau mereka
harus bergerak sebagai leveransir atau bidang lainnya. Dengan
tender yang dimenangkan, pengusaha bisa memperoleh kredit.
Sedang untuk pekerjaan leveransir atau pengadaan barang,
diperlukan suatu keikutsertaan dalam "jaringan yang sampai
sekarang masih dikuasai golongan ekonomi kuat," kata Alwi
Dahlan. "Ini bervariasi dari mulai alat-alat kantor sampai
barang bangunan, masih mereka kuasai."
Pemerintah mengharapkan dalam Keppres yang baru nanti -- yang
berlaku sejak awal April 1981 -- akan diciptakan semacam "bapak
angkat" di bidang niaga. "Kelompok ekonomi kuat bisa memegang
pengadaan barang, dan kelompok ekonomi lemah yang disuplai,"
kata Alwi.
Dalam hubungan ini patut didengar kritik yang dilontarkan
seorang pejabat teras Provinsi Sum-Bar terhadap kebijaksanaan
pembelian yang dilakukan di Jakarta. Menurut pejabat itu,
mestinya Pusat juga bertindak sebagai "bapak angkat" terhadap
daerah dalam hal pembelian barang-barang. Tapi yang terjadi,
hampir semua pembelian diborong Jakarta. "Masa semua pembelian,
mulai dari mesin hitung ke atas disentralisir di pusat," kata
pejabat itu.
Sistem pembelian yang dipusatkan itu, selain mengakibatkan
keterlambatan, juga tak memberi kesempatan kepada para pengusaha
golongan ekonomi lemah di daerah untuk lebih maju. Pejabat itu
lantas menunjuk pada rencana pembelian yang tercantum dalam PBN
1981/1982. Di situ disebutkan misalnya, lewat proyek sektoral
ada sekitar Rp 62 milyar yang hampir seluruhnya akan
dibelanjakan di Jakarta.
Toh di a-Tim terjadi kemajuan, dalam hal desentralisasi di
bidang lain. Di provinsi yang memiliki rekanan paling banyak --
dalam tahun anggaran lalu punya 3.215 rekanan kuat dan lemah --
akan ditempuh kebijaksanaan desentralisasi prakualifikasi mulai
1 April nanti. "Tiap-tiap bupati dan walikota bertindak sebagai
panitia prakualifikasi tingkat I, guna menyelenggarakan
prakualifikasi di daerah masing-masing. Hasilnya lantas
dikirimkan ke tingkat I untuk dijadikan satu dalam daftar
rekanan yang mampu (DRM)," ujar Widarto, Kepala Biro Pembangunan
Pemda Tkt I Ja-Tim pada TEMPO. "Ini supaya pelayanan terhadap
calon rekanan bisa lebih cepat."
Selama ini, sebagaimana ketentuan, seluruh permohonan untuk jadi
rekanan dialirkan ke tingkat I, sehingga terjadilah kesibukan
yang luar biasa. Itu pula yang sebenarnya terjadi di Kadin
Banda Aceh dalam hal memberi rekomendasi, yang berbuntut runyam
tadi. Sedang di Ja-Tim, para bupati atau walikota punya daftar
rekanan di daerah mereka masing-masing. "Mereka kan harus
mengutamakan pengusaha setempat, " kata Widarto.
Tapi ia bukannya tak melihat masalah dalam usaha perbaikan ini.
Widarto melihat kenyataan banyaknya pengusaha pribumi yang
mestinya mampu tapi masuk ke golongan lemah. "Terus terang kami
tidak bisa melakukan kontrol permodalan mereka itu berapa
sebenarnya," katanya.
Hal serupa juga tercermin dalam DRM proyek-proyek pemerintah di
wilayah DKI Jakarta, tahun 1980-1981. Di situ antara lain
tercantum PT Elektronika Nusantara (Elnusa) punya Udaya
Hadibroto, PT Nawa Jaya punya Ilham Malik, putra Wapres, dan PT
Sapta Krida Utama, yang dipimpin dr. Rosita S. Noor. Semua
perusahaan para tokoh terkenal itu termasuk kategori pengusaha
"lemah".
Iuga PT Daun Rindang Utama, punya Badar Tando dan PT Rachma
Tirta jaya, dengan direkturnya Rachmawati Soekarno Putri, putri
Bung Karno, dimasukkan ke dalam kelompok "modal lemah" juga.
Begitu pula PT Timsco Indonesia, dengan Dir-Ut Ir. S.A. Habibie.
(lihat box).
Menarik garis tegas antara pengusaha yang "lemah" dan yang
"kuat" memang tak mudah. Apalagi kalau hanya melihat dari modal
saham yang dicantumkan dalam akte notaris. Tapi semua itu
menunjukkan, di mana-mana Keppres 14 A itu disambut secara
meriah.
Kecuali di beberapa daerah, seperti Kabupaten Kepulauan Riau.
"Dalam dua tahun ini hanya 4 sampai 5 pengusaha baru yang
muncul," kata Said Idrus, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten
Kepulauan Riau. Itu pun terdiri dari eks subkontraktor, yang
kini ingin tampil sebagai kontraktor.
Rebutan tender juga tak terjadi di Tana Toraja. Majid, seorang
kontraktor disana, rajin ikut tender setiap tahun. Dan baru satu
kali menang. Tapi itu tak membuat pengusaha asal Palopo ini
berkecil hati. "Di Tana Toraja perusahaan yang tak menang tender
biasanya memperoleh jatah penunjukkan yang besarnya Rp 20 juta
itu," kata Majid. "Jadi pemerataan bagi 37 kontraktor di daerah
kami terbilang cukup."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini