KEPPRES 14 A tinggal dua minggu umurnya. Beberapa pengusaha
mendapat rezeki dari sini, meskipun untuk memenangkan sesuatu
proyek mereka masih juga berhadapan dengan saingan dari
pengusaha bermodal kuat. "Dengan mengubah akte mereka biasanya
maju dengan dukungan orang-orang tertentu. Itulah yang disebut
perusahaan plat merah. Menghadapi mereka, kami lebih baik mundur
teratur," ungkap Rachmawati Soekarno Putri, Direktur PT Rachma
Tirtajaya.
Perusahaan putri Presiden RI pertama yang kawin dengan bintang
film Dicky Suprapto itu berdiri sejak 1979, bergerak di bidang
kontraktor dan konsultan bangunan. Dengan modal dasar Rp 30
juta, perusahaan tersebut sampai sekarang telah menangani proyek
bernilai lebih kurang Rp 1 milyar. Terakhir ia mendapat
pekerjaan membangun rumah di daerah Menteng senilai Rp 300 juta.
Dengan omset sebesar itu Rachma tetap merasa sebagai pengusaha
lemah. "Kami memperhitungkan kemampuan kami. Pernah ditawari
proyek senilai Rp 1,4 milyar tapi kami tolak, karena belum
mampu," ceritanya.
Selain PT Rachma Tirtajaya, Rachmawati dan Dicky ikut pula
memiliki perusahaan PT Mahkota Insan Adi. Sebuah perusahaan PDMN
di bidang percetakan bekerjasama dengan pengusaha nonpri.
Yang kurang beruntung adalah HST Sukarnotomo, Direktur PT Graha
Feryni Inc. yang bergerak dalam bidang penyediaan alat-alat
berat suku cadang diesel dan komponen kereta api. "Posisi kami
AC-DC lah," ujar sang direktur. "Dianggap kuat kami nggak mampu,
dianggap lemah kami nggak mau," katanya.
Soalnya perusahaan yang 25% sahamnya dipegang Adi Putra Thaher
(putra seorang pejabat tinggi Dep Hub) kelihatannya serba
tanggung.
PT Graha Feryni mampu mengusahakan pengiriman barang dari luar
negeri berkat hubungan luar yang cukup kuat. Tapi untuk
pengadaan barang macam ini ia tertabrak pada persyaratan harus
menjadi agen tunggal. Sedangkan untuk jadi agen tunggal harus
punya workshop dan tenaga ahli. Syarat ini belum mampu dipenuhi
perusahaan itu.
Untuk soal seperti itu kabarnya pemerintah (tim pengadaan)
berpegang pada Keppres 10. Sedangkan pihak Sukarnotomo berpegang
pada Keppres 14 A. Padahal dalam Keppres 10 antara lain
disebutkan untuk tender Rp 500 juta ke atas pelaksanaannya
ditangani Sekneg.
"Karena itu, bagi saya Keppres 14 A itu membatasi gerak,"
katanya berat. Maka untuk Keppres yang baru nanti dia
mengharapkan batas nilai proyek yang ditenderkan naik menjadi
Rp 500 juta. "Dan yang bagus sebaiknya pengusaha lemah boleh
ikut tender pengusaha yang lebih kuat. Sedangkan pengusaha kuat
tak boleh ikut tender kecil," usulnya.
Tapi definisi "lemah" dan "kuat" jadi tak bertambah jelas. Kalau
hanya memperhatikan Daftar Rekanan di DKI Jaya orang bisa
bertanya bagaimana beberapa perusahaan yang mestinya masuk dalam
grup pengusaha kuat tiba-tiba muncul dalam kategori lemah.
Misalnya PT Daun Rindang Utama yang dipimpin Badar Tando, putra
pengusaha pribumi kuat Sidi Tando. Demikian juga dengan PT Sapta
Krida Utama, dulu dipimpin Rosita Noor. Daun Rindang dan Sapta
Krida Utama, sebagaimana dikatakan Rosita, masuk dalam kelompok
perusahaan Yan Darmadi.
"Tapi jangan heran kalau melihat ada perusahaan yang di luar
dianggap kuat, tapi dalam Daftar Rekanan mampu dimasukkan dalam
kategori lemah. Ini mungkin karena modal dasarnya memang kecil,"
kata Rosita. Sementara Badar Tando menyanggah bagaimana dia bisa
dikatakan pengusaha kuat, sebab ketika mendaftar sebagai rekanan
di DKI aktifitasnya belum ada. Sedang modal perusahaannya
menurut akte Rp 25 juta.
Sejarah masuknya sesuatu perusahaan dalam DRM beragam. Ada yang
karena melihat lubang keuntungan di sana, tapi ada pula yang
karena ajakan rekan pengusaha yang "nonpri". Bless Utama,
perusahaan jasa pembersih dan penyalur kebutuhan kantor
mendaftar sebagai rekanan karena anjuran kenalan pengusaha
"nonpri" yang tidak bisa melanjutkan "hubungannya" dengan
Perusahaan Air Minum gara-gara Keppres 14 A. "Tapi jangan
menyangka Bless Utama adalah perusahaan Ali Baba PT ini murni
pribumi," kata Johnny Umbas, pimpinan perusahaan itu. Dalam DRM
DKI Jaya bekas penyanyi Sandra Sanger tercatat sebagai
direktrisnya.
Bless Utama menurut Johnny sampai saat ini belum pernah
memenangkan tender kecuali sebagai penyalur PAM dan Direktorat
TVRI, Deppen. "Ikut tender sih sering juga, tapi kalah terus,"
ucapnya.
Karena persaingan ketat? "Mungkin juga. Tapi persaingan sejak
adanya Keppres cukup sehat," sambungnya. Sekalipun dia tak
menolak praktek pemberian hadiah untuk "orang dalam" kalau
menang tender. "Ya, kalau kami mendapat cukup keuntungan apa
salahnya kami bagi-bagi sedikit. Ini namanya take and give, "
kata Johnny.
Di Surabaya Keppres ternyata bisa pula memancing beberapa
aktivis mahasiswa untuk mencoba bergerak di lapangan usaha.
Tujuh aktivis mahasiswa di sana, 6 dari Fakultas Teknik Sipil
dan Arsitektur ITS, dan seorang dari Akademi Pajak dan
Perbankan, mendirikan PT Salamander.
Salamander yang dipimpin Moh. Sholeh, bekas Sekretaris Umum DM
ITS itu, dalam prakualifiskasi Tingkat I Ja-Tim masuk kategori
C. Selama setahun perusahaan ini hanya luntang-lantung
memperkenalkan dan menawarkan diri. Tidak kurang 15 instansi
yang mereka hubungi. Beberapa di antaranya dihubungi sampai 5
kali. "Tapi tak satu pun yang mengundang ikut tender. Apalagi
memberikan SPK," ujar Sholeh.
Baru awal 1981 yang lalu Salamander mendapat undangan tender
dari Kotamadya Surabaya dan Kanwil Perindustrian Ja-Tim. Dalam
tender mereka berhasil menyingkirkan saingannya. Mereka
memenangkan tender untuk pembangunan Depot Station dan Workshop
Sandang untuk kawasan Mini Industrial Estate seharga Rp 30 juta.
Sedangkan untuk penanggulangan sampah dari Kotamadya Surabaya,
mereka dapat proyek seharga Rp 5 juta. Belum ada kabar apakah
pekerjaan mereka cukup bermutu dan keuntungan mereka lumayan.
Sebab pemenang diberikan kepada mereka yang menawarkan paling
rendah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini