Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dari Puteri Bung Karno...

Pendapat beberapa pengusaha yang mendapat fasilitas keppres 14 a maupun yang tidak. mulai dari rosita r. noor, rachmawati seokarno, pt salamander surabaya. (nas)

21 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPPRES 14 A tinggal dua minggu umurnya. Beberapa pengusaha mendapat rezeki dari sini, meskipun untuk memenangkan sesuatu proyek mereka masih juga berhadapan dengan saingan dari pengusaha bermodal kuat. "Dengan mengubah akte mereka biasanya maju dengan dukungan orang-orang tertentu. Itulah yang disebut perusahaan plat merah. Menghadapi mereka, kami lebih baik mundur teratur," ungkap Rachmawati Soekarno Putri, Direktur PT Rachma Tirtajaya. Perusahaan putri Presiden RI pertama yang kawin dengan bintang film Dicky Suprapto itu berdiri sejak 1979, bergerak di bidang kontraktor dan konsultan bangunan. Dengan modal dasar Rp 30 juta, perusahaan tersebut sampai sekarang telah menangani proyek bernilai lebih kurang Rp 1 milyar. Terakhir ia mendapat pekerjaan membangun rumah di daerah Menteng senilai Rp 300 juta. Dengan omset sebesar itu Rachma tetap merasa sebagai pengusaha lemah. "Kami memperhitungkan kemampuan kami. Pernah ditawari proyek senilai Rp 1,4 milyar tapi kami tolak, karena belum mampu," ceritanya. Selain PT Rachma Tirtajaya, Rachmawati dan Dicky ikut pula memiliki perusahaan PT Mahkota Insan Adi. Sebuah perusahaan PDMN di bidang percetakan bekerjasama dengan pengusaha nonpri. Yang kurang beruntung adalah HST Sukarnotomo, Direktur PT Graha Feryni Inc. yang bergerak dalam bidang penyediaan alat-alat berat suku cadang diesel dan komponen kereta api. "Posisi kami AC-DC lah," ujar sang direktur. "Dianggap kuat kami nggak mampu, dianggap lemah kami nggak mau," katanya. Soalnya perusahaan yang 25% sahamnya dipegang Adi Putra Thaher (putra seorang pejabat tinggi Dep Hub) kelihatannya serba tanggung. PT Graha Feryni mampu mengusahakan pengiriman barang dari luar negeri berkat hubungan luar yang cukup kuat. Tapi untuk pengadaan barang macam ini ia tertabrak pada persyaratan harus menjadi agen tunggal. Sedangkan untuk jadi agen tunggal harus punya workshop dan tenaga ahli. Syarat ini belum mampu dipenuhi perusahaan itu. Untuk soal seperti itu kabarnya pemerintah (tim pengadaan) berpegang pada Keppres 10. Sedangkan pihak Sukarnotomo berpegang pada Keppres 14 A. Padahal dalam Keppres 10 antara lain disebutkan untuk tender Rp 500 juta ke atas pelaksanaannya ditangani Sekneg. "Karena itu, bagi saya Keppres 14 A itu membatasi gerak," katanya berat. Maka untuk Keppres yang baru nanti dia mengharapkan batas nilai proyek yang ditenderkan naik menjadi Rp 500 juta. "Dan yang bagus sebaiknya pengusaha lemah boleh ikut tender pengusaha yang lebih kuat. Sedangkan pengusaha kuat tak boleh ikut tender kecil," usulnya. Tapi definisi "lemah" dan "kuat" jadi tak bertambah jelas. Kalau hanya memperhatikan Daftar Rekanan di DKI Jaya orang bisa bertanya bagaimana beberapa perusahaan yang mestinya masuk dalam grup pengusaha kuat tiba-tiba muncul dalam kategori lemah. Misalnya PT Daun Rindang Utama yang dipimpin Badar Tando, putra pengusaha pribumi kuat Sidi Tando. Demikian juga dengan PT Sapta Krida Utama, dulu dipimpin Rosita Noor. Daun Rindang dan Sapta Krida Utama, sebagaimana dikatakan Rosita, masuk dalam kelompok perusahaan Yan Darmadi. "Tapi jangan heran kalau melihat ada perusahaan yang di luar dianggap kuat, tapi dalam Daftar Rekanan mampu dimasukkan dalam kategori lemah. Ini mungkin karena modal dasarnya memang kecil," kata Rosita. Sementara Badar Tando menyanggah bagaimana dia bisa dikatakan pengusaha kuat, sebab ketika mendaftar sebagai rekanan di DKI aktifitasnya belum ada. Sedang modal perusahaannya menurut akte Rp 25 juta. Sejarah masuknya sesuatu perusahaan dalam DRM beragam. Ada yang karena melihat lubang keuntungan di sana, tapi ada pula yang karena ajakan rekan pengusaha yang "nonpri". Bless Utama, perusahaan jasa pembersih dan penyalur kebutuhan kantor mendaftar sebagai rekanan karena anjuran kenalan pengusaha "nonpri" yang tidak bisa melanjutkan "hubungannya" dengan Perusahaan Air Minum gara-gara Keppres 14 A. "Tapi jangan menyangka Bless Utama adalah perusahaan Ali Baba PT ini murni pribumi," kata Johnny Umbas, pimpinan perusahaan itu. Dalam DRM DKI Jaya bekas penyanyi Sandra Sanger tercatat sebagai direktrisnya. Bless Utama menurut Johnny sampai saat ini belum pernah memenangkan tender kecuali sebagai penyalur PAM dan Direktorat TVRI, Deppen. "Ikut tender sih sering juga, tapi kalah terus," ucapnya. Karena persaingan ketat? "Mungkin juga. Tapi persaingan sejak adanya Keppres cukup sehat," sambungnya. Sekalipun dia tak menolak praktek pemberian hadiah untuk "orang dalam" kalau menang tender. "Ya, kalau kami mendapat cukup keuntungan apa salahnya kami bagi-bagi sedikit. Ini namanya take and give, " kata Johnny. Di Surabaya Keppres ternyata bisa pula memancing beberapa aktivis mahasiswa untuk mencoba bergerak di lapangan usaha. Tujuh aktivis mahasiswa di sana, 6 dari Fakultas Teknik Sipil dan Arsitektur ITS, dan seorang dari Akademi Pajak dan Perbankan, mendirikan PT Salamander. Salamander yang dipimpin Moh. Sholeh, bekas Sekretaris Umum DM ITS itu, dalam prakualifiskasi Tingkat I Ja-Tim masuk kategori C. Selama setahun perusahaan ini hanya luntang-lantung memperkenalkan dan menawarkan diri. Tidak kurang 15 instansi yang mereka hubungi. Beberapa di antaranya dihubungi sampai 5 kali. "Tapi tak satu pun yang mengundang ikut tender. Apalagi memberikan SPK," ujar Sholeh. Baru awal 1981 yang lalu Salamander mendapat undangan tender dari Kotamadya Surabaya dan Kanwil Perindustrian Ja-Tim. Dalam tender mereka berhasil menyingkirkan saingannya. Mereka memenangkan tender untuk pembangunan Depot Station dan Workshop Sandang untuk kawasan Mini Industrial Estate seharga Rp 30 juta. Sedangkan untuk penanggulangan sampah dari Kotamadya Surabaya, mereka dapat proyek seharga Rp 5 juta. Belum ada kabar apakah pekerjaan mereka cukup bermutu dan keuntungan mereka lumayan. Sebab pemenang diberikan kepada mereka yang menawarkan paling rendah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus