Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Smith Alhadar
Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konflik itu sudah lama. Jammu dan Kashmir, wilayah yang berada di perbatasan Pakistan dan India, terbelah dua sejak 1947 akibat perang kedua negara. Bagian wilayah utara dikontrol Pakistan, sedangkan bagian selatan oleh India. Namun milisi di wilayah itu juga terbelah dua: sebagian ingin mendirikan negara Kashmir merdeka, sebagian ingin bergabung dengan Pakistan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konflik lama itu kini kembali meletus setelah pada akhir Februari terjadi insiden di wilayah Kashmir yang dikontrol India. Ketegangan antara India dan Pakistan pun kembali terjadi. Keadaan memanas ketika pemerintah India, yang didominasi Partai Bharatya Janata (BJP), mencabut Pasal 370 dari konstitusi India yang menjamin hak-hak khusus kepada negara bagian Jammu dan Kashmir, yang mayoritas penduduknya memeluk Islam. Hak khusus itu dulu termasuk kebijakan untuk berbagai hal, kecuali pertahanan, komunikasi, dan urusan luar negeri.
Dengan keluarnya dekret dari Perdana Menteri India Narendra Modi pada 5 Agustus lalu, warga India dapat membeli properti dan tinggal di Kashmir serta dapat menjadi pegawai di pemerintahan negara bagian itu-hal-hal yang dulu tak dimungkinkan. Mengapa India meninggalkan ketentuan konstitusi berusia lebih dari tujuh dekade itu serta mengambil risiko untuk berhadapan dengan Pakistan, Cina, dan dunia Islam?
Sebenarnya, aneksasi India ke Jammu dan Kashmir merupakan bagian dari visi BJP untuk hinduisasi seluruh India, visi yang sudah lama didambakan pendukung BJP. Tapi langkah Modi yang terkesan mendadak itu tampaknya dipicu oleh perubahan sikap Presiden Amerika Serikat Donald Trump atas wilayah sengketa tersebut. Saat menjamu Perdana Menteri Pakistan Imran Khan di Gedung Putih bulan lalu, Trump menyatakan akan mendamaikan India dan Pakistan terkait masalah Kashmir.
Sikap Trump itu menunjukkan Amerika telah meninggalkan kebijakannya selama ini, yang menganggap Kashmir sebagai masalah internal India. Mungkin ini merupakan balas budi Trump kepada Khan, yang berhasil "menjinakkan" Taliban untuk memberikan konsesi kepada Amerika ihwal perdamaian Afganistan. Berkat upaya Pakistan, yang juga dipuji dunia internasional, perundingan perdamaian langsung antara Taliban dan Amerika di Doha, Qatar, mengalami kemajuan signifikan.
Dalam perundingan itu, Taliban setuju untuk tidak menjadikan Afganistan sebagai surga bagi kelompok teroris sebagaimana dulu. Sebagai imbalannya, Amerika setuju menarik pasukannya dari Afganistan. Lebih jauh, Taliban bersedia berdialog dengan faksi-faksi pemerintah Afganistan di Brussels. Kendati dianggap hanya salah satu faksi, keterlibatan pemerintahan Presiden Afganistan Ashraf Ghani dalam dialog itu merupakan sikap melunak Taliban. Sebelumnya, Taliban selalu menolak bernegosiasi dengan pemerintahan Ghani sampai pasukan Amerika dan NATO benar-benar keluar dari Afganistan.
Tindakan India menganeksasi Kashmir merupakan upaya Modi menciptakan realitas baru di wilayah itu. Namun langkah itu menciptakan masalah internal dan eksternal yang serius. Di internal, menurut para ahli India, Modi berhadapan dengan masalah hukum karena pencabutan Pasal 370 hanya mungkin dilakukan oleh dewan konstituante Negara Bagian Kashmir, sementara dewan konstituante itu telah dibubarkan India pada 1956. Partai-partai oposisi pun mengajukan petisi soal ini. Yang tak kurang serius, India akan menghadapi perlawanan milisi Kashmir yang lebih keras.
Di eksternal, Pakistan mengecam keras aksi India itu serta berjanji mengambil langkah-langkah militer dan politik. Islamabad juga meminta dunia internasional campur tangan. Wajar saja jika Islamabad panik. Langkah Modi dikhawatirkan akan mengubah demografi Jammu dan Kashmir. Dengan demikian, akan sangat sulit bagi Pakistan menyelesaikan isu Jammu dan Kashmir jika warga Hindu kemudian menjadi mayoritas di wilayah itu. Pemerintahan Khan juga kewalahan mengendalikan kemarahan publik Pakistan.
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Cina juga mengecam India. Dalam pernyataan setelah pertemuan darurat di Jeddah, Arab Saudi, Selasa lalu, Kelompok Kontak OKI urusan Jammu dan Kashmir me-ngukuhkan kembali dukungannya kepada rakyat Jammu dan Kashmir untuk mencapai hak menentukan nasib sendiri.
Cina mengkritik keputusan sepihak India yang menjadikan Ladakh, wilayah berpenduduk mayoritas Buddha di Kashmir, sebagai teritori administratif yang dikendalikan langsung oleh New Delhi. Beijing selalu menentang India memasukkan teritori Cina di sektor barat laut dari perbatasan India-Cina ke dalam yurisdiksi administratifnya. Lebih jauh, Beijing mengklaim 90 ribu kilometer persegi wilayah Negara Bagian Arunachal Pradesh di India timur laut, sementara India menuduh Cina secara ilegal menduduki 38 ribu kilometer persegi teritori barat lautnya.
Sikap OKI dan Cina membuat situasi kian panas. Semoga saja imbauan menahan diri dari Amerika, Uni Eropa, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa didengar pihak-pihak yang bertikai. Perang India-Pakistan bukan sesuatu yang diharapkan dunia, juga rakyat kedua bangsa itu.