Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Judul buku: Pembentuk Sejarah: Pilihan Tulisan Goenawan Mohamad
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Jakarta bekerja sama dengan Freedom Institute dan Komunitas Salihara, 2021
Tebal: 373 halaman
"Sekian dasawarsa setelah Bung Karno, kita hidup dalam sebuah zaman yang makin menyadari ketidaksempurnaan nasib." Itu adalah kalimat esai pertama dari buku Pembentuk Sejarah: Pilihan Tulisan Goenawan Mohamad. Bagi pembaca di Tanah Air yang sudah kerap mengikuti tulisan-tulisan GM, itu bisa langsung mengimbau untuk menyimaknya lebih jauh.
Buku ini terdiri dari tiga bagian. Delapan dari ke-23 esai di dalamnya, sudah pernah dimuat dalam kumpulan tulisan bagus lainnya dari GM, Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2001), dengan kata pengantar bersinar dari Hamid Basyaib. Bagian I perihal "Tokoh Bangsa" terdiri dari sembilan esai, membicarakan delapan tokoh. Bagian II "Cendekiawan" dengan lima esai, mengangkat lima cendekiawan. Dan Bagian III "Sastrawan" dengan sembilan esai, enam di antaranya panjang, membahas delapan sastrawan.
Prolog dan Epilog masing-masing ditulis singkat, lugas, dan jitu oleh Akhmad Sahal dan Rizal Mallarangeng. Agar tak mengurangi keasyikan menyimak, pembaca perlu diwanti akan sejumlah typo, satu di antaranya mengubah arti kalimat: kata "mengurangi" di halaman 29, baris terakhir alinea kedua, mestinya "mengulangi".
Pada sebelas esai singkat dalam Pembentuk Sejarah, membicarakan antara lain Tan Malaka, Romo Mangunwijaya, Arief Budiman, dan Rendra, Goenawan Mohamad menyuguhi kita rangkaian narasi empatik yang tertuju ke tiap tokoh pada titik-titik kemanusiaan bermakna dalam kehidupannya masing-masing. Pathos hampir selalu hadir.
Menurut saya, bagi khalayak, magnet buku terletak pada esai-esai singkat ini. Bisa dikatakan bahwa tiap esai tersebut menyentuh kita sebagai puisi. Tetapi rangkaian tulisan panjang Goenawan Mohamad tak kurang memukau. Di situ, selain konsistensi kehadiran daya diksi dan loncatan-loncatan alusinya sebagai penulis andal, panjang tulisan lebih memungkinkan GM menyampaikan narasi atau analisis dengan pengerahan rasa-rasio penuh, erudisi, referensi cerdas multi-bahasa, dan, terutama di Bagian III, tebaran bait-bait puisi indah.
Sayang, dalam keterbatasan ruang, kita mustahil mengulas buku sebernas dan setebal 373 halaman ini dengan penghormatan merata kepada segenap tokoh sesuai dengan penghormatan GM kepada mereka semua. Apalagi jika tetap diperlukan kritisisme atau pembacaan alternatif (betapa terbatas pun prospeknya vis-a-vis karya-karya seorang GM), di mana sejumput renarasi perlu, betapa pucat pun renarasi itu ketimbang aslinya. Sebab hanya dengan kritisisme atau pembacaan alternatif, suatu ulasan bisa berharkat ke tiga arah: ke penulis, ke pengulas, dan ke pembaca.
Atas constraint di atas, saya terpaksa lebih fokus pada bagian "Tokoh Bangsa", itu pun tidak semuanya. Pada bagian ini saya silakan pembaca menghirup sendiri pathos pada sosok Tan Malaka. Juga empati ekstra GM pada sosok Bung Hatta. Mengingatkan kita ke judul novel Gabriel Garcia Marquez, One Hundred Years of Solitude, Goenawan Mohamad menukilkan kalimat berikut, "Bung Hatta, kau bukanlah 100 tahun kesendirian. Percakapan antara kita, sebuah dialog dengan masa silam, adalah percakapan yang tak terhingga".
Pada Bagian II, saya ajak pembaca menyimak sendiri esai "Memilih Alternatif Kemajuan Indonesia" dari perspektif perkembangan pemikiran Soedjatmoko dan esai orisinal perihal praktek wacana orisinal “Heteropia untuk Mister Rigen”. Juga kedua esai singkat sarat pathos, "Jip (Mengenang Romo Mangunwijaya)" dan "Yang Akrab dengan Yang Murni: Mengenang Arief Budiman (1941-2020)".
Pada Bagian III, saya mengimbau pembaca menghirup sendiri keutuhan tiap buah tarikan arsenal kepenulisan Goenawan Mohamad perihal keenam sosok sastrawan terkemuka Indonesia. Di sini, saya terutama menyukai tiga tulisan, yaitu "STA: Puisi dan Antipuisi", "Lirik, Laut, Lupa: Tentang Asrul Sani", dan "Dimulai dengan Subyek: Sebuah Catatan tentang Pramoedya Ananta Toer". Di antara para sastrawan senior Indonesia, tampaknya Pramlah yang terbanyak mengundang bincang GM. Dan mungkin baru pada untaian kata-kata berikut bincang itu selesai: "Itu agaknya yang menyebabkan kita berbahagia mendapatkan seorang Pramoedya Ananta Toer—seperti kita menemukan satu sumber energi yang autentik". Tetapi pada keenam-enam tulisan panjang itu sama-sama terdedahkan keelokan narasi, kearifan analisis, serta kekukuhan otoritas Sang Penyair ++. Di sinilah berlaku bulat pembuktian forte seorang Goenawan Mohamad.
* * *
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam esai pembuka Bagian I, "Bung Karno, 1 Juni 1945", GM memulai dengan menyatakan bahwa berpuluh tahun sesudah tanggal itu, Marxisme "harus mengakui bahwa dunia tak akan pernah bebas dari kontradiksi". Itu dilihat GM sejalan dengan gagasan Daniel Bell, Raymond Aron, dan Francis Fukuyama tentang akhir ideologi. Tapi tak demikian halnya dengan impian "menegakkan 'Negara Islam'" lantaran "para penganjur ide" itunya tak membaca sejarah "yang terbentang ... lebih dari 21 abad". Berasumsi memiliki kesempurnaan, impian "Negara Islam” bagi Goenawan Mohamad ditandai oleh dilema abadi kedua arah: mengakui kesempurnaan akan "salah secara akidah" (sebab ada akhirat) dan mengakui ketaksempurnaan akan problematik, sebab "bukankah ajektif ‘Islam’ mengandaikan sesuatu yang sempurna?".
Dari sini GM balik ke 1945. Goenawan Mohamad menggarisbawahi betapa bijak Bung Karno menggunakan "kiasan ‘menggali’ dalam merumuskan Pancasila", lantaran itu "melibatkan bumi dan tubuh". Ia "lahir dari jerih payah sejarah, dan –seperti hasil bumi—menawarkan sesuatu yang tetap bisa diolah lebih lanjut". "Ia tak menampik tafsir yang kreatif", "tak mengklaim dirinya suci dan sakti" atau sempurna. Ia juga menolak pemutlakan satu sila terlepas dari prinsip kesetaraan koeksistensi berlimanya. Berlatar tiga penyalahgunaan Pancasila oleh Orde Baru, GM menutup esai ini dengan kalimat-kalimat bernas: "Kita membutuhkan Pancasila kembali karena ia merupakan proses negosiasi terus-menerus dari sebuah bangsa yang tak pernah tunggal ... dan tak ada yang bisa sepenuhnya ... mewakili sesuatu yang Mahabenar. Kita membutuhkan Pancasila kembali [sebab] kita hidup di sebuah zaman yang makin menyadari ketidaksempurnaan nasib manusia."
Dalam dua esai singkat terakhir dari Bagian I, Gus Dur ditampilkan GM sebagai "pelintas batas", alot "kategorisasi", "antideret", menjunjung keberagaman beserta keunikan dan integritas manusia: tulus menghargai minoritas. Dia representasi "manusia merdeka". Iman bagi Gus Dur bukanlah "benteng", melainkan "obor" sehingga bisa mengakui kesamaan iman dengan Romo Mangun kendati beda agama. Tuhan Gus Dur dibaca GM sebagai "tak menampik kenakalan dan humor", sebab pada diri tokoh ini terkandung "semacam anarkisme yang jinak dan jenaka" serta "menolak tunduk kepada yang kuasa dan yang beku". Dalam simpul eliptik GM: "Saya lebih bangga punya seorang Gus Dur yang bukan presiden ketimbang seorang Gus Dur di atas takhta".
Pada "Kartini, Sebuah Persona", Goenawan Mohamad melukiskan sosok putri Jawa ini dengan pathos istimewa. "Ide Kartini bukan datang dari ide" melainkan dari "tubuh yang langsung menanggung sakit". Kartini dititi sebagai pemikul dua derita: derita warga bangsa yang terdera penjajahan patologis dan derita seorang perempuan yang tertindas tradisi dan mati muda tragis. GM menulis bahwa Kartini tak hanya menyimak kenistaan penjajahan Belanda atas bangsanya lewat Multatuli dalam Max Havelaar. (Rob Nieuwenhuys memberitahu kita dalam Mirror of the Indies bahwa Max Havelaar termasuk di antara buku-buku Belanda yang sudah dibaca Kartini "sebelum berusia 20" dan dia memandang Multatuli "seorang genius"). Kartini lebih-lebih lagi merekam derita bangsanya lewat pengalaman sendiri "di bawah diskriminasi rasial dan apartheid bahasa", semacam tatapan "panoptik" yang tiada henti meneguhkan perbedaan antara penjajah yang senantiasa dimuliakan dan bumiputra yang senantiasa dihinakan.
Dari kondisi "represif" itulah Kartini tak bisa menahan guratan pena getirnya kepada Stella, sahabat penanya di Belanda: "Kau tahu kalau dari dulu, hingga kini, salah satu mimpi kami adalah pergi ke Eropa untuk melanjutkan pendidikan kami". GM membaca ini sebagai "ambivalensi" yang mengawali "nasionalisme Indonesia" -dorongan akan "modernitas". Saya lebih melihat alternatifnya. Guratan getir pena Kartini itu bukanlah utuh pernyataan "ambivalensi", melainkan lebih maklumat paling awal dari determinasi untuk tegak sejajar dalam arti luas dengan Belanda penjajah atau dengan bangsa manapun.
Suara-suara pena Kartini merupakan cikal-bakal dari penolakan telak pada peneguhan perbedaan berabad-abad dan sewenang-wenang di Nusantara demi perkiblatan tegar pada keniscayaan prinsip kesetaraan antar manusia dan bangsa. Sesungguhnya pada kalimat itulah tersimpul persona ideal Kartini, sekaligus persona ideal Bung Karno dan Bung Hatta serta segenap Pendiri Bangsa.
Pathos yang menggigit kembali terasa kala GM mengangkat Monginsidi dalam esai yang membandingkannya dengan Chairil dan Kartini. Di sini narasi dimulai dengan laku nabi seorang Monginsidi --"pemimpin gerilya yang ditakuti tentara pendudukan Belanda"-- beberapa saat "sebelum dieksekusi" di Paccinang, Makassar, 5 September 1949. Dia "memberi maaf kepada regu serdadu yang bertugas menghabisi nyawanya". Empat hari sebelumnya, dia menulis surat kepada Milly Ratulangi, seorang gadis di Jakarta, "dengan kalimat puitis yang menggetarkan". Dia mengandaikan anak-anak muda segenerasinya "sebagai bunga yang sedang mekar ... digugurkan oleh angin yang keras". Monginsidi gugur buat "Republik yang muda –untuk sebuah harapan yang belum punya kebimbangan". Usia Robert Wolter Monginsidi "baru 24 tahun". Bagi Monginsidi, GM menandaskan: "The name does not die with the man".
Chairil Anwar, bagi Indonesia, dinilai GM sebagai perombak "pandangan sastra dan dunia" secara "jauh lebih mendalam ketimbang sumbangan S. Takdir Alisjahbana". "Hanya dengan beberapa belas sajak, Chairil telah mengubah seluruh paradigma puisi Indonesia". Dengan merujuk pada satu sajak pendek Chairil di mana "seorang bocah main kejaran dengan bayangan", sisi Nietzschean-Goethean dikaitkan oleh Goenawan Mohamad dengan keistimewaan Chairil. "Kreativitas memang memerlukan gairah dan satu dosis keedanan". Dan itulah yang “mencetuskan imaji-imaji [Chairil] yang tak terkendali oleh adab, dan merupakan elan yang menjulang dan menghempas”. “Memang hanya yang muda yang tak gentar hidup dalam gelombang”. Bagi GM, mungkin baris puisinya "’Sekali berarti, sudah itu mati’ lebih tepat buat Chairil Anwar sendiri”.
Balik ke Kartini, Goenawan Mohamad menambahkan bahwa "kisah Kartini menjadi penting bukan karena heroismenya, melainkan karena kegagalannya: ... mencoba menunggang gelombang –khas suara generasi muda—tapi terjebak dalam palung ke-tua-an" di mana "tradisi menentukan hampir segalanya". Maka, "Jika kita ingin mengenang Kartini dengan baik, kita harus mengenang tragedinya". GM benar dalam hitungan tragedi. Tetapi mungkin tidak dalam rujukan ke Simone de Beauvoir bahwa "lawan hidup bukanlah kematian, melainkan ketuaan". Sebab tak pernah terbetik Kartini tandas menerima "ketuaan" atau mengingkari rangkaian suara "kemudaan"-nya. Di sepanjang momen singkat keterseretannya ke dunia “ketuaan” yang kemudian mengakhiri hidupnya, Kartini diam. Memberi Kartini “the benefit of the doubt” sulit untuk menyatakan bahwa dia gagal.
Kartini wafat pada tahun 1904, di tengah tahun-tahun awal pengibaran Politik Etis, sekaligus puncak kejayaan kekuasaan Hindia Belanda, kala pergerakan kebangsaan kita baru berkecambah dan tindakan-tindakan kepahlawanan nasional masih jauh dari menjamur. Dalam kultur Jawa, kita tahu, diam sangat bisa merupakan pertanda, bahkan senjata, kekuatan. Seperti ditulis Rob Nieuwenhuys masih dalam Mirror of the Indies: "Kita bersedih atas segala hal yang tertolak baginya, dan kita menghormati serta menyukai keberaniannya dalam menghadapi 'perang diamnya'".
Esai Goenawan Mohamad yang paling menyentuh dari seluruh isi buku adalah "Sjahrir di Pantai" sehingga layak direnarasikan demi renarasi itu sendiri. Dibuang hampir enam tahun di Bandaneira bersama Hatta, Sjahrir adalah "seorang hukuman yang berbahagia". Sang politisi andal, ternyata penyayang anak-anak. Sjahrir mengajari keempat cucu kecil Baadila tua bersama teman-teman mereka "menulis, matematika, sejarah, cara makan yang sopan". Dia "menyewa mesin jahit Singer dan menjahitkan pakaian" keempat teman kecilnya. "Ia seperti bapak. Ia seperti ibu. Ia memasak. Di sela-sela pekerjaan dalam rumah itu ia berenang bersama mereka, menyeberangi teluk, ke arah gunung di seberang ....”.
Goenawan Mohamad dengan indah menghubungkan "anak-anak, permainan, pantai" dengan sebuah sajak Tagore yang pas. Juga dengan materialisme Marx dan dunia bawah sadar Freud, tapi terutama dengan Triebleben Nietzsche yang bertolak dari Spieltrieb Schiller. "Ada yang tak dipatok oleh tujuan dan tak dikejar-kejar oleh ‘manfaat’ di sini". Maka pembuangan Bandaneira dirasakan Sjahrir "benar-benar sebuah firdaus". Sol Tas, sahabat lamanya di Belanda bersaksi bahwa "Di lubuk hatinya, [ia] tidak menyukai politik". Di situ "ia tak merasakan ada panggilan".
Di pantai bersama anak-anak itu direkam Sjahrir dalam surat kepada isterinya: "Sesungguhnyalah, impuls, dorongan, gairah ... seperti yang saya yakini sekarang, tak pernah akan dilenyapkan akalbudi. Bahkan sebaliknyalah yang benar". Esensi pemujaan Nietzsche pada anak-anak yang diikuti Sjahrir tertera paling jelas dalam "Of the Three Metamorphoses", esai pertama dalam Thus Spoke Zarathustra (terjemahan Walter Kaufmann): "The child is innocence and forgetting, a new beginning, a game, a self-propelled wheel, a first movement, a sacred 'Yes'. For the game of creation, my brothers, a sacred 'Yes' is needed".
Tetapi Sjahrir segera terenggut dari keajaiban dunia kanak untuk balik ke dunia nyata. Pada pagi 1 Februari 1942, dia bersama Hatta dijemput mendadak dengan pesawat MLD Catalina beserta ketiga anak angkatnya untuk meninggalkan Banda Neira. Sjahrir pun kehilangan dunia kanak yang disambut dan direguknya dengan penuh gairah. "Meskipun ia memeluk Nietzsche", tulis GM, "zaman dan posisinya tak memungkinkannya menampik rasionalitas". Dengan rasionalitas itu, Sjahrir pun kembali ke dunia ambivalensi politik –ke kontradiksi dunia borjuis-- yang sudah menandai kesadaran hampir semua aliran pergerakan di Nusantara –Marxis, nasionalis, maupun Islam--pada tahun 1930-an. Dalam ungkapan GM, "Apa yang Nietzschean dalam dirinya bertemu, tapi juga berlaga, dengan apa yang Marxis". Setelah bertahun-tahun jatuh bangun "dalam benturan dan kompetisi politik", Sjahrir akhirnya "kalah".
Atas tuduhan yang tak pernah terbukti, "dia dipenjarakan Sukarno, lawan politiknya ... dalam pergulatan mengkonstruksi sebuah negeri". "Sjahrir sakit dan meninggal sebagai seorang tahanan di sebuah tempat yang jauh dari rumah, di Swiss yang tak berpantai, bukan di Banda Neira". Goenawan Mohamad merekam Soedjatmoko melayangkan sepucuk surat haru dari Zurich pada April 1966, beberapa jam setelah Sjahrir tiada: "Dalam arti yang sangat nyata saya sadar, bahwa kegagalannya dalam politik menandakan kebesarannya sebagai seorang manusia ....".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam esai "Bung Karno dan Islam" (2010), satu-satunya tulisan panjang pada Bagian I, GM memulai narasi dengan mengutip satu momen dialog memukau yang dialami Karno kecil dengan ayahnya yang Theosofis perihal hubungan burung jatuh dengan ajaran Tat Twam Asi. Itu dikutip GM dari Sukarno, an Autobiography as told to Cindy Adams. Goenawan Mohamad bertutur bahwa sekitar dekade-dekade pertama abad ke-20, taman dan lapangan di kota-kota besar pulau Jawa seperti Batavia, Bandung, dan Semarang merupakan tempat kiprah perhimpunan Theosofi yang umumnya menarik kalangan priyayi. Namun, itu tak berjejak dalam pemikiran politik Sukarno.
Sedari usia 15, Sukarno, lewat C. Hartogh, gurunya di HBS Surabaya, sudah "terpesona" pada Marxisme. Dan pertautan erat hidupnya dengan sosok dan keluarga Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam yang juga terimbau sosialisme, membuatnya tersambung tak hanya dengan Semaun dan Alimin "yang mengajarinya Marxisme", melainkan juga terisi dengan kepiawaian orasi dan "eklektisisme" Tjokroaminoto. Risalah terkenal Sukarno "Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme" memiliki persambungan wawasan dengan buku Tjokroaminoto Islam dan Sosialisme.
Pengaruh Marxisme pada jiwa dan intelektualitas Bung Karno adalah sedemikian rupa sehingga di tengah riuhnya semangat "antikolonial", keyakinan akan "modernitas", dan karakter "dinamis", pada lingkup paradigma materialisme historis itu pulalah Sukarno terus berusaha menangkap segenap ideologi lainnya (nasionalisme, Islamisme, modernisme, rasionalisme, Wahabisme, dan Pan-Islamisme). Dan, menuju penghujung tulisan, lekatnya kekaguman Bung Karno pada dinamisme Islam membuatnya sangat berhasrat dan terus berusaha menangkap "Roh Islam yang sejati" atau "api Islam" yang diyakininya ada.
Di sini, Goenawan Mohamad, tekun dan lumayan berliku, berusaha menemani dan sekaligus mengkritisi Bung Karno dalam upaya menangkap "Roh" atau "api Islam" itu dalam kerangka paham materialisme historis --"Roh" yang diyakini Bung Karno ada, namun tak lagi dilihatnya pada "Islam-sebagaimana-adanya-sekarang". Bung Karno sempat membayangkan "Roh" itu seperti yang berlaku dalam filsafat "panta rei" Heraklitus. Ini berlanjut pada kesimpulannya bahwa Islam adalah kemajuan itu sendiri: "Islam is progress", yang dirumuskan sebagai tak "lahir dari subjektivitas manusia", melainkan dari "dynamical laws of progress". GM sendiri membandingkan pemahaman Bung Karno atas “Roh” Islam itu dengan “elan kreatif yang merdeka ala Bergson”, tetapi segera melihat perbedaan prinsipiil di antara keduanya. Sebagai jalan keluar, GM kemudian mengajukan perpaduan antara empirisisme dengan rasionalisme, yaitu pragmatisme.
Meneruskan upaya identifikasi atas “Roh” Islam, Goenawan Mohamad kemudian melacak pragmatisme Bung Karno pada “elastisitas hukum Islam” yang merujuk ke argumen Ameer Ali dalam The Spirit of Islam. Sebagai pengukuhan, GM mengutip satu pasase indah Bung Karno dalam “Me-‘Muda’-kan Pengertian Islam” sebagai “artikulasi pragmatisme par excellence”: Islam tidak akan dapat hidup hampir seribu empat ratus tahun, kalau hukum-hukumnya tidak ‘seperti karet’. Islam tidak akan bisa meninggalkan suasananya abad pertama, tatkala manusia tak kenal lain kendaraan melainkan onta dan kuda, tak kenal lain senjata melainkan pedang dan panah, tak kenal lain alam melainkan alamnya padang pasir, --kalau hukum-hukumnya tidak seperti ‘karet’. Zaman beredar, kebutuhan manusia berubah,--panta rei!—maka pengertian manusia tentang hukum-hukum itu adalah berubah pula.
Di sini, tak ada yang salah pada deskripsi Bung Karno perihal keniscayaan elastisitas hukum Islam atau pun pragmatisme yang ditekankan oleh GM. Persoalannya ialah bagaimana kita mempertemukan elastisitas dan pragmatisme itu dengan “Roh” atau “api” Islam “jang menjala-njala”. Menyimak sejarah Islam, terdapat kekentalan “sense of purpose”, bahkan, di tengah konteks zamannya, sifat radikal dari perutusan Muhammad sebagai Rasul penyimpul dan penyempurna dari suatu Islam universal. Misi dan prinsip monoteisme yang diusungnya berbenturan keras dan panjang dengan tak terhitung jenis dan/atau laku sembah berhala, nyata ataupun abstrak di tengah-tengah dunia --biang dari aneka kebodohan, kezaliman, dan ketidak-adilan. Alangkah sulit menyamakan misi dan prinsip setegas itu dengan pragmatisme. Dengan kata lain, di dalam Islam elastisisme atau pun pragmatisme bukanlah leitmotiv, melainkan by motive –sesuatu yang diterima sejauh tak melanggar yang prinsipil.
Persoalan juga tak terlepas dari pluralitas motif-motif Bung Karno, yang selalu berbaur, menjadi taksa, dan tak selalu bisa dijernihkan atau dikendalikannya sendiri. Misalnya antara keinginan untuk menggalang segenap potensi kekuatan bangsa demi melawan penjajahan dan kehendak untuk sungguh-sungguh membenahi segenap laku “jumud” di tengah-tengah umat Islam. Barangkali di sini juga terbetik ambisi Bung Karno untuk menjadi primus inter pares di dalam pergerakan modernisme Islam.
Masalah lainnya ialah kian gencar Sukarno mencanangkan apa yang disebutnya “Roh” atau “api” Islam, kian besar pulalah tuntutan pada dirinya sendiri maupun dari pembacanya untuk mengidentifikasi kedua metafor itu, termasuk bagi tak sedikit kalangan bangsa kita yang menjadi peminat, penyimak atau penggugu gagasan-gagasan pembaruannya. Boleh dikata segenap wacana pembaruannya tentang Islam tertuju ke situ.
Seperti halnya di dalam teks segenap wacana keislaman Bung Karno, juga di dalam esai GM, ada momen-momen di mana identifikasi “Roh” itu sudah nyaris ditangkap atau tertangkap-lepas sekaligus. Pertama, ketika Bung Karno menyatakan bahwa “Tiap-tiap kalimat di dalam Qur’an, tiap-tiap ucapan di dalam Hadith ... haruslah kita interpretasikan (di dalam) cahayanya ruh Islam sejati ini”. Kedua, ketika Natsir menyatakan bahwa “orang yang percaya ia dapat memecahkan misteri dengan akalnya sebenarnya tidak lagi menggunakan akal merdekanya. Ia sudah terikat dengan ‘taqlidisme modern’ yang bernama ‘rasionalisme’”. Juga ketika GM mengemukakan bahwa Bung Karno, “seorang Marxis, mengabaikan historisitas dari ‘Roh’ atau ‘api’ itu”. Atau ketika GM menyatakan kritiknya mengapa selaku Marxis, Bung Karno begitu saja percaya bahwa Ash’arisme “telah menghentikan ‘rasionalisme’ berkembang di dunia Islam” selama ‘hampir seribu tahun” dan memberikan kesaksian alternatifnya.
Hingga di akhir esai ini persoalan identifikasi dan historisitas “Roh” itu belum selesai. “Mungkin Bung Karno sendiri tak pernah jelas”, tulis GM, “apa sebenarnya yang dimaksudkannya dengan ‘Roh’ dan ‘api’ Islam itu”. Di sini kita berhadapan dengan satu butir krusial dalam wacana Islam Bung Karno, Bapak Pendiri terdepan dari bangsa kita, yang tanpa disadari sudah menjadi suatu wacana “klasik” sehingga menuntut penyelesaian agar ke depan kita tak terjebak ke dalam obskurantisme atau bahkan kesalah-tafsiran bercabang-cabang. Menurut saya, masih terdapat celah dalam rangkaian wacana Islam Bung Karno untuk mengidentifikasi apa yang dimaksudnya “Roh” Islam. Dan dari situ pula kita bisa memasuki pangkal historisitas dari dinamisme Islam. Dengan menyelami keleluasaan Bung Karno bermetafor, pada setidaknya dua kalimat, sesungguhnya sudah cukup teridentifikasi apa yang dimaksudnya dengan sebutan “Roh” atau “api” Islam itu.
Menurut saya, lewat metafor “Roh” atau “api” itu yang hendak ditunjuk oleh Bung Karno tak lain dari inti iman Islam, dari mana suatu energi transformatif terpancar sekuat-kuatnya. Perlu digaris-bawahi bahwa “Roh” dan “api” Islam bagi Bung Karno adalah sinonim, sesinonim “nyawa”, “semangat”, “tiang keagamaan”, “burung garuda” dan “kuda sembrani”. Di atas pemahaman akan kepiawaian Bung Karno bermetafor itulah kita bisa mengidentifikasi “Roh” atau “api” Islam itu dalam kedua kutipan di bawah, sekaligus untuk membuktikan bahwa dia “tidak mengabaikan” historisitasnya. Mari simak kedua kalimat berikut: Qur’an dan api Islam sekan-akan mati, karena kitab fiqh itu sahadjalah jang mereka djadikan pedoman hidup, bukan kalam Ilahi sendiri.
Dan apakah Pengadjaran Besar, jang tarich itu kasihkan kepada kita? Pengadjaran Besar tarich ini ialah, bahwa Islam dizamannja jang pertama dapat terbang meninggi seperti burung garuda diatas angkasa, oleh karena fiqh tidak berdiri sendiri, tetapi ialah disertai dengan tauhid dan ethieknja jang menjala-njala....
Kutipan pertama di atas ditulis persis sama dua kali oleh Bung Karno, satu pada “Surat-Surat Islam Dari Endeh” bertanggal 17 Juli 1935 dan satunya lagi, bersama dengan kutipan kedua, pada “Islam Sontolojo” dalam buku Dibawah Bendera Revolusi. Dari kedua kalimat di atas, yang tiga ungkapannya sengaja saya ketik miring, kita bisa menangkap jelas bahwa yang dimaksud Bung Karno “Roh” atau “api” Islam tak lain dari “tauhid” di mana terkandung iman dan etika sekaligus, yang sepenuh-penuhnya terjabarkan di dalam Qur’an sebagai “kalam Ilahi”. Di sini, penunjukan tunggal “kalam Ilahi” membuktikan bahwa ke situlah metafor “Roh” atau “api” Islam beserta seluruh sinonimnya bermuara.
Untuk halayak pembaca Bung Karno, kita bisa memberikan setidaknya tiga butir penjelasan singkat tentang bagaimana “Islam ... dapat terbang ... seperti burung garuda di angkasa” atau bagaimana “tauhid” dan “ethieknja” itu bisa “menjala-njala” dengan memadukan rujukan kepada gagasan-gagasan keislaman Nurcholish Madjid dan telaah Islam Karen Armstrong.
Menurut saya, dengan pendekatan “materialisme historis” (historical materialism), sampai kapan pun Bung Karno takkan mungkin menjelaskan bagaimana mahadaya kreatif dan transformatif “kalam Ilahi” itu bisa membuat umat Muhammad menjadi pelopor terdepan dari peradaban umat manusia dalam rentang masa sedemikian panjang. Sebab kerja mahadaya kreatif itu memang hanya bisa ditangkap dengan, perkenankan, pendekatan “spiritualisme historis” (historical spiritualism). Dewasa ini, Armstrong bisa kita sebut sebagai penelaah dan penjelajah terkemuka dari “spiritualisme historis” itu –tolok tara, bahkan bisa pelampau, dari “materialisme historis” Marx. Maka untuk keperluan penjernihan diskursif kepadanya pulalah kita perlu menoleh.
Memulai dari Nurcholish Madjid, salah satu penjelasan tentang “Islam" sebagai pemangku tauhid yang banyak kali disampaikan olehnya ialah bahwa dalam pengertian “berserah diri kepada Allah”, “Islam” bukanlah “kata ganti”, juga bukan “kata sifat”, melainkan “kata kerja”. Itu menekankan panggilan untuk membaca, menjelajah, dan mempelajari ayat-ayat Allah –tanda-tanda Ilahiat-- baik pada alam semesta, pada sejarah, maupun pada karya-karya pemikiran terbaik di sepanjang peradaban manusia. Nurcholish muda mengimbau umat Islam untuk menghargai dan mempelajari segenap warisan peradaban luhur umat manusia sebagai “barang hilangnya umat Islam”. Tujuan tertingginya tak lain adalah untuk menegakkan mizan dalam arti seluas-luas dan sekuat-kuatnya, materil maupun immateril.
Seperti diingatkan oleh GM, Ash’arisme yang diangkat Bung Karno adalah suatu anomali atau anakronisme yang dalam rentang peradaban Islam tidaklah selama yang dituduhkan. Di sepanjang peradaban dunia, aktivisme kreatif dan daya temu manusia-manusia Muslim historis merupakan the ruling facts, bukan the lonely incidents. Ke dalam pengertian aktivisme kreatif itu pulalah segenap ajaran pokok Islam harus dipahami dan dilaksanakan dan itu pulalah yang telah dibuktikan oleh peradaban Dunia Islam di sepanjang kiprah mancanegaranya.
Panggilan aktivisme kreatif Islam, misalnya, terbaca kuat pada Surah al-Rahman –salah satu surah terindah dan paling menyentuh dalam Qur’an. Di situ penciptaan alam raya dengan kanopi langit berlapis-lapis pada ketinggian tak terbayangkan dikaitkan langsung dengan keniscayaan tuntutan penegakan mizan. Itu adalah panggilan bakti termulia bagi setiap orang beriman untuk menegakkan keadilan dalam arti seluas dan sepenuh mungkin. Ke dalam panggilan aktivisme demikian pulalah jelas terpulang penegasan penciptaan manusia sebagai khalifah di bumi. Begitu pula keniscayaan tuntutan komplementer dari duo kebajikan maha ibadah, yaitu hablum minallah dan hablun minannas.
Giliran Karen Armstrong. Dalam A History of God, dia menyatakan pemahaman Islam yang kurang lebih sama. Tetapi Armstrong menambahkan dua hal krusial perihal Qur’an, “Kalam Ilahi” itu. Pertama ialah menyangkut daya sentuhnya sebagai maha-energi divinitas dalam medium bahasa Arab. “Tanda terbesar,” tulis Armstrong, “adalah Qur’an itu sendiri”. Secara umum, bahasa Arab sulit diterjemahkan, apalagi versi bahasa Qur’an, sebab ia sangat “alusif” dan “eliptik”. “Surah-surah awal khususnya mengesankan betapa bahasa manusia luluh dan hancur oleh daya ilahiat”. Para penulis awal dari sejarah Muhammad “tiada habisnya menyampaikan keajaiban dan keterhenyakan yang dirasakan oleh orang-orang Arab kala mendengar Qur’an pertama kali. Banyak yang langsung memeluk Islam di tempat, sebab percaya bahwa Tuhan sendirilah sumber keindahan luar biasa dari bahasa itu.”
Kedua ialah menyangkut moda pewahyuan Qur’an kepada Muhammad melalui Jibril. Karen Armstrong menyatakan bahwa beda dengan kesaksian biblikal tentang penurunan Taurat kepada Musa di Gunung Sinai “dalam satu sesi”, Qur’an diturunkan kepada Muhammad tercicil selama 23 tahun. Dan tiap kali suatu ayat diturunkan kepada beliau, itu selalu melalui perjuangan kejiwaan yang amat berat. Ibarat laku tumbuk tak terhitung atas bongkah-bongkah batu granit ke dalam tanah tempat tegaknya pilar-pilar besar bangunan pencakar langit. Demikianlah kiasan dari penanaman ayat-ayat Qur’an ke dalam kalbu Muhammad. “Begitulah kami jelaskan ayat-ayat dengan pelbagai simbol agar nanti mereka berkata, ‘Sungguh Engkau sudah mengajari kami dengan telaten’” (Q.S. VI-105).
Berkat ketelatenan kerja Kasih Ilahiat mematri iman ke dalam kalbu Rasulullah selama 23 tahun itulah maka tauhid pun tertanam sekuat-kuatnya. Intensitas mahadaya bangunan tauhid itu pulalah yang diteruskan berangsur ke dalam kalbu segenap umatnya di pelbagai penjuru dunia selama berabad-abad hingga saat ini. Dan imensitas mahaenerji iman yang dihasilkannya itu pulalah yang telah bekerja kontinu sebagai kekuatan kreatif tak bertara di sepanjang kiprah hemisferik Dunia Islam dalam peradaban umat manusia.
Sulit disangkal bahwa sesungguhnya inilah saripati yang hendak disampaikan oleh Bung Karno dengan metafor “Roch Agama Hidup jang berapi-api dan menjala-njala” di dalam korpus wacana Islamnya. Dan itu hanya bisa dijelaskan dengan spiritualisme historis. Kiprah lintas zaman dari dinamisme dan kreativitas di sepanjang sejarah kejayaan Islam bermula dari energi divinitas –itulah pangkal dari keseluruhan tonggak-tonggak peradaban Dunia Islam. Maka Bung Karno benar, kendati melalui kegamangan yang panjang, kala ia akhirnya menunjuk tunggal ke “kalam Ilahi”.
Saya yakin, wacana Islam Bung Karno yang di dalam esai ini kembali dianggit berharkat oleh GM sebelas tahun silam akan terus berlanjut. Mengapa demikian? Pada mahakarya Dibawah Bendera Revolusi, bacalah lagi “Surat-Surat Islam dari Endeh” dan seterusnya. Dan pembaca akan segera menyadari bahwa semua itu ditulis Bung Karno enam tahun berturut-turut dari 86 tahun silam terutama juga untuk hari-hari ini.
* * *
Beralih ke Bagian II, esai religiositas menghunjam dari GM tentang keimanan adalah “Nurcholish Madjid: Pintu-pintu menuju Tuhan”. Dia menulis, “Setiap kali saya mendengarkan Nurcholish Madjid, setiap kali saya merasa ada yang terselamatkan dalam iman saya: Tuhan yang Esa itu adalah Tuhan yang inklusif. Ke dalam kemahapemurahan itu saya tidak ditampik”. Bagi GM, ini “mengetuk hati” dan “menggugah”.
Kedalaman analisis atau argumen-argumen GM beserta kutipan puisi-puisi yang pas dari Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, dan, di sini, terutama dari puisi percakapan Iqbal dengan Tuhannya dalam Payam-i-Mashriq: “Kau ciptakan malam—aku nyalakan cahaya. Kau ciptakan lempung—aku bentuk piala. Kau buat belantara—aku olah taman bunga”, semua itu menciptakan narasi yang mempesona. Begitu pula perbandingan Iqbal antara “sufi” dan “nabi” lewat peristiwa mi’raj dan bagaimana Iqbal menekankan “ego kreatif” manusia sementara Nurcholish lebih memilih berendah hati dengan “kedaifan manusia” lantaran kontras pengalaman kesejarahan di antara mereka berdua.
Di atas semuanya, GM amat menghargai pandangan Nurcholish tentang arti “kemenangan Islam” sebagai “kemenangan sebuah ide, sebuah cita-cita” terserah siapa saja pelaksananya. Dan pada tulisan terakhir dalam Pintu-pintu Menuju Tuhan, GM mencatat mungkin petuah emas Nurcholish: “Perfeksionisme dan demokrasi adalah dua hal yang tidak pernah bertemu”. Mengikuti GM, harus ditambahkan bahwa itu bukanlah pertanda cacat demokrasi, melainkan pewarta “ketidaksempurnaan nasib manusia”. Di penghujung abad ke-20, GM menutup esai ini dengan menyatakan optimismenya pada kalangan pemikir berlatar belakang Islam. “Kita besyukur, bahwa yang terbit bukan cuma rasa getir dan marah. Yang lahir mengagumkan, terutama adalah keberanian menjelajah dan kearifan berdialog. Kita menikmati sejumlah renungan Indonesia yang baru”.
Belum pernah di sepanjang sejarah bangsa kita wawasan keislaman Nurcholish yang mulai dicanangkannya setengah abad lampau lebih diperlukan daripada sejak sekitar sewindu terakhir. Ini jauh melampaui kebutuhan atasnya ketika Islam politik atau Islam modernis dipersekusi oleh negara sedari Demokrasi Terpimpin hingga katakanlah sepuluh tahun pertama Orde Baru. Sejak katakanlah dua dekade terakhir, fundamentalisme Islam di pelbagai belahan bumi, telah berbaur kencang dan mabuk dengan kerja desktruktif, bahkan diabolik, media sosial. Ini juga melanda Indonesia. Liar dan dalamnya kerja celaka post-truth dan infodemi menggerogoti dan melecehkan paham keislaman yang benar dan lapang sebagaimana yang diteladankan oleh Rasulullah, para sahabatnya, dan segenap jiwa Muslim terpuji di sepanjang peradaban.
Sebagian umat Islam di Tanah Air juga tergulung oleh wabah perburuan pelampiasan instan yang berpantang “Iqra!”, pejal hawa nafsu, dan terbutakan oleh kehendak untuk memonopoli kebenaran. Pangkalnya adalah magnifikasi politisasi agama, terutama sejak 2014. Dari saat itu alangkah banyak vulgarisasi ajaran-ajaran Islam, bahkan penyalah-gunaan serta pengkhianatan atasnya demi tujuan-tujuan politik sempit. Dan alangkah gampang laku pengkafiran terhadap sesama Muslim. Tak lagi dipedulikan para ulama berotoritas dan berintegritas di tengah-tengah bangsa kita. Di atas semuanya, mereka mencampakkan prinsip ahsanu amala –panggilan beramal terindah dalam Islam, lebih memilih untuk kembali berjibun terlena pada zaman kegelapan baru yang penuh kebodohan dan kezaliman. Maka kita lebih-lebih lagi memerlukan siraman keislaman sarat cahaya dan kesejukan sebagaimana yang telah dicanangkan dan diteladankan oleh Nurcholish Madjid.
Sebagai penutup, penting dicatat adanya persambungan perjuangan keislaman antara Bung Karno dan Cak Nur. Kita tahu betapa gundah Bung Karno menyaksikan parahnya kemesuman penjumudan agama di kalangan umat Islam Indonesia lantaran merajalelanya penyalah-gunaan fikih pada masanya. Terhadap kenyataan itulah Bung Karno memberikan satu prognosis dalam layangan terakhir Surat-Surat Islam dari Endeh, per 17 Oktober 1936:
Biar! Zaman nanti akan membuktikan, bahwa kaum muda tulus dan ichlas mengabdi kepada kebenaran, tulus dan ichlas mengabdi kepada Tuhan. Zaman nanti akan membawa persaksian, bahwa kita punja utjapan-utjapan dan tindakan-tindakan bukan buat “mengadakan agama baru”, bukan buat “merobah hukum-hukumnja Allah dan Rasul”, tapi djustru buat mengembalikan agama jang asli dan mengembalikan hukum-hukumnja Allah dan Rasul.
Pada ujung kedua kalimat ini tegak Nurcholish Madjid.
* * *
Satu atau sehimpunan karya yang ditulis sepenuh hati dan akal budi selalu lebih berarti daripada seribu ulasan. Buku ini adalah tuturan yang sangat berarti dari GM perihal tokoh bangsa, cendekiawan, dan sastrawan kita. Ia adalah suara passi, empati, pathos, kreativitas, otoritas, dan kebajikan. Sebagai salah satu tonggak karya penanda usianya yang sungguh sarat cipta, perkenankan saya menyatakan “Selamat memperingati ulang tahun ke-80, Maha Guru Goenawan Mohamad! Telah engkau hargai hidupmu, hidup para Pendiri Bangsa, dan hidup segenap warga bangsa kita setinggi-tingginya. Telah engkau buktikan bagaimana hidup terus berkali-kali berarti: lewat labirin panjang berlupa dalam kreativitas yang selalu menekankan Kasih dan tiada henti memuji-Nya.”
***