Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo akhirnya mengambil langkah berani. Ia memilih Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komisaris Jenderal Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bila usul Presiden disetujui Dewan Perwakilan Rakyat, Tito akan menggantikan Jenderal Badrodin Haiti, yang segera pensiun.
Tito merupakan lulusan terbaik Akademi Kepolisian tahun 1987 dan meraih gelar doctor of philosophy pada 2013 dari Nanyang Technological University, Singapura. Ia pernah memimpin penangkapan Tommy Soeharto, putra mantan presiden Soeharto yang menjadi otak pembunuhan hakim agung Syafiuddin Kartasasmita, serta menumpas kelompok teroris pimpinan Doktor Azahari dan menangkap Noor Din M. Top.
Setelah memimpin Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri, Tito diangkat sebagai Kepala Kepolisian Daerah Papua pada 2012 dan sejak tahun lalu memimpin Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya. Belum genap setahun dia di posisi itu, Presiden mengangkatnya sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme pada 16 Maret lalu. Bintang di pundaknya pun menjadi tiga.
Bukan soal prestasi Tito yang dipersoalkan, melainkan statusnya yang junior. Dengan memilih Tito, Presiden Jokowi memotong banyak generasi di Kepolisian. Nama Tito bahkan tak ada dalam usul Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi Polri. Dewan ini menyodorkan tiga nama, yakni Komisaris Jenderal Budi Gunawan (lulusan Akademi Kepolisian 1983), Komisaris Jenderal Budi Waseso (lulusan 1984), dan Komisaris Jenderal Dwi Priyatno (lulusan 1982). Tapi rupanya Komisi Kepolisian Nasional kemudian memasukkan nama Tito dalam usulnya kepada Presiden.
Pilihan Jokowi perlu dipuji karena ia berani mengabaikan calon yang dianggap titipan partai politik, terutama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Presiden juga tidak melanggar aturan karena, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara, yang berhak memberikan pertimbangan bukan Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi, melainkan Komisi Kepolisian.
Tak ada aturan senioritas pula yang ditabrak. Pasal 11 ayat 6 Undang-Undang Kepolisian menyebutkan, "Calon Kapolri adalah Perwira Tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier." Mengenai jenjang kepangkatan ini, penjelasan undang-undang itu hanya menyatakan "penyandang pangkat tertinggi di bawah Kapolri yang dapat dicalonkan sebagai Kapolri". Tak disebutkan soal usia atau senioritas dalam pengertian umur.
Tito, kini 51 tahun, akan menjadi Kepala Polri yang cukup muda. Tapi Kepolisian pernah dipimpin perwira yang lebih muda. Dibyo Widodo masih berusia 50 tahun saat dilantik pada 1996. Yang penting, Tito dapat segera membuktikan bahwa dia pantas dan mampu. Bila usul Presiden disetujui DPR, Tito akan memimpin sejumlah jenderal yang lebih senior. Ia harus dapat mengatasi budaya senioritas yang masih melekat di Kepolisian.
Tantangan yang lebih besar adalah membenahi dan membersihkan Kepolisian dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. Tito harus mempertahankan independensinya dengan menjaga jarak dari politikus dan pengusaha hitam, yang selama ini biasa berkolusi dengan pejabat polisi. Ia juga harus mengembalikan Kepolisian sebagai institusi yang mampu menjaga hak-hak masyarakat sipil, termasuk melindungi berbagai kegiatan legal, seperti diskusi, bukan malah membubarkannya.
Tito pilihan terbaik bagi Jokowi. Tapi, jika disetujui DPR, Tito sendiri yang harus membuktikan bahwa pilihan ini tidak keliru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo