Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH tidak peka terhadap potensi krisis anggaran. Itu terlihat dari sejumlah asumsi yang dipakai dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016. Target penerimaan pajak dan cukai sebesar Rp 1.527 triliun jelas bukan angka yang realistis di tengah lesunya ekonomi negeri. Target yang "ketinggian" itu akibat asumsi pertumbuhan yang juga ambisius, yakni 5,3 persen.
Padahal Dana Moneter Internasional (IMF), umpamanya, sudah mengoreksi proyeksi pertumbuhan Indonesia menjadi 4,9 persen. Pemerintah akhirnya memang mengurangi asumsi pertumbuhan menjadi 5,2 persen. Tapi, anehnya, tidak diikuti penurunan target penerimaan pajak.
Semestinya pemerintah melihat angka realisasi pendapatan pajak. Sampai akhir Mei lalu, realisasi penerimaan pajak hanya mencapai Rp 364,1 triliun atau 26,8 persen dari target APBN 2016. Pencapaian pajak itu masih di bawah periode yang sama tahun lalu, yakni Rp 377,03 triliun.
Pencapaian itu memberi sinyal bahwa pemerintah kedodoran mengejar target pajak tahun ini. Ini bukan pertama kali terjadi. Tahun lalu, realisasi penerimaan pajak hanya Rp 1.061 triliun atau 82 persen dari target. Melesetnya target itu sudah pasti menggerus kemampuan anggaran kita membiayai proyek pembangunan.
Maka, pemerintah mesti menyalakan alarm mulai sekarang. Penghematan di segala bidang perlu dilakukan. Ini untuk mengantisipasi merosotnya penerimaan negara sampai akhir tahun. Lima bulan pertama tahun ini saja realisasi penerimaan jauh di bawah realisasi belanja.
Angka defisit memang masih di bawah pagu APBN 2016, yakni Rp 189 triliun atau 1,49 persen terhadap produk domestik bruto. Namun angka itu bisa menggelembung bila program tax amnesty, yang diklaim pemerintah mampu meraup penerimaan Rp 165 triliun, mentok di tengah jalan.
Jurang antara penerimaan dan belanja akan semakin lebar bila asumsi makroekonomi lain pada APBN-P 2016 meleset. Salah satu yang sulit dicapai adalah produksi minyak bumi, yang diprediksi 810 ribu barel per hari. Padahal tahun lalu realisasi lifting minyak hanya 778 ribu barel per hari.
Asumsi harga minyak pun kelewat tinggi. Anggaran memasang asumsi US$ 50 per barel, padahal kenyataannya harga cuma US$ 35 per barel. Penerimaan negara pun berpotensi anjlok Rp 60-an triliun.
Pemerintah juga terlalu spekulatif dengan memasukkan tax amnesty ke dalam asumsi penerimaan pajak. Padahal kebijakan ini masih diragukan efektivitasnya untuk membawa pulang dana pengusaha yang diparkir di luar negeri.
Dengan semua sinyal kurang menggembirakan itu, sudah sepantasnya postur anggaran ditinjau ulang. Pemerintah memang berencana memangkas anggaran belanja kementerian dan lembaga senilai Rp 50 triliun. Pemangkasan itu tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2016. Sebaiknya ikhtiar itu berfokus pada belanja operasional. Pemangkasan yang salah sasaran, seperti memotong belanja modal proyek infrastruktur dan menghentikan program prioritas, bisa menghambat pembangunan.
Situasi memang sulit. Tapi pemerintah tak perlu gelap mata dalam membuat kebijakan, salah-salah akibatnya bisa "membunuh" ekonomi. Salah satunya, rencana Kementerian Keuangan mewajibkan penerbit kartu kredit melaporkan data dan transaksi setiap bulan. Seharusnya pemerintah tahu persis, pada saat ekspor kita anjlok, konsumsi domestik-antara lain lewat belanja dengan kartu kredit-merupakan satu-satunya harapan penopang pertumbuhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo