Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Presiden Prabowo Subianto menetapkan upah minimum provinsi sebesar 6,5 persen.
Penetapan ini sebagai jalan tengah atas permintaan buruh 10 persen dan pengusaha 3 persen.
Akan berdampak pada investasi dan ekonomi secara keseluruhan.
KEPUTUSAN Presiden Prabowo Subianto menaikkan rata-rata upah minimum provinsi (UMP) 2025 sebesar 6,5 persen kental sebagai kebijakan populis. Alih-alih memperhitungkan kondisi ekonomi sebagai faktor utama, kebijakan upah baru tersebut sekadar untuk menyenangkan kelompok pekerja dan pengusaha yang menjadi pendukungnya dalam pemilihan presiden lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prabowo mengambil jalan tengah di antara desakan para buruh agar kenaikan UMP berkisar 8-10 persen dan permintaan pengusaha supaya kenaikan upah tak lebih dari 3 persen. Angka yang dipilih ini berselisih 2,8 persen dengan rata-rata kenaikan UMP 2024 yang sebesar 3,65 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dorongan kenaikan upah minimum pekerja tak lepas dari putusan Mahkamah Konstitusi mencabut 21 pasal dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 pun tak lagi menjadi acuan dalam penghitungan UMP. Komponen UMP yang terbaru ini terdiri atas inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu. Indeks tertentu disimbolkan dengan alfa sebagai variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota.
Sebelumnya 5 juta buruh mengancam turun ke jalan bila pemerintah tak memenuhi tuntutan kenaikan UMP 10 persen. Mereka menganggap angka itu ideal karena bisa mendongkrak daya beli masyarakat agar tak lagi tergerus inflasi. Apalagi tahun depan mulai diberlakukan sejumlah kebijakan yang mendorong pengeluaran pekerja makin besar, dari pajak pertambahan nilai 12 persen, kenaikan iuran BPJS Kesehatan, iuran Tabungan Perumahan Rakyat, asuransi wajib kendaraan, hingga pembatasan subsidi energi.
Sedangkan pengusaha cemas jika UMP naik lebih dari 3 persen. Apalagi saat ini industri manufaktur masih belum pulih dan daya beli masyarakat tengah terpukul. Bahkan sebelum kenaikan UMP saja tak sedikit pelaku industri yang bergelimpangan, mengurangi kapasitas produksi, hingga menjalankan gelombang pemutusan hubungan kerja. Tercatat sepanjang 10 bulan pertama tahun ini angka PHK melejit hingga 64 persen dan 43 persen di antaranya terdapat di industri manufaktur.
Industri manufaktur dan padat karya juga masih harus berjibaku menghadapi membanjirnya produk impor, ancaman pelemahan nilai tukar rupiah, kenaikan harga bahan baku, hambatan tarif ekspor, hingga munculnya ancaman perang dagang setelah Donald Trump kembali terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat.
Para pengusaha pun jeri terhadap kenaikan UMP yang mengikuti formula terbaru setelah terbit putusan MK karena kian menimbulkan ketidakpastian bagi para investor. Belum lagi adanya ritual penentuan UMP tiap tahun yang selalu diwarnai "drama" konflik pekerja dengan pengusaha.
Presiden Prabowo sejatinya berkesempatan menyudahi kegaduhan tahunan dalam penetapan UMP. Idealnya, dia berani mengambil sikap tegas—menaikkan atau menurunkan upah—dengan basis kalkulasi matang proyeksi ekonomi tahun depan.
Di tengah daya beli masyarakat yang merosot dan gejala deindustrialisasi di depan mata, ditambah besarnya tantangan dari perlambatan ekonomi global, seharusnya Prabowo—dengan bantuan tim ekonominya—bisa menyusun langkah-langkah strategis untuk menyelamatkan ekonomi nasional. Jangan sampai, hanya karena kebijakan populis, pemerintah malah mengantar masyarakat ke krisis yang sebenarnya dapat dicegah sejak dini.