VON Ziethen, pangeran Prusia, masuk staf Raja. Dan setiap minggu ikut makan di Istana bersama rekan-rekannya. Sekali-sekali pergi ke gereja, sehingga pernah tidak muncul waktu malam untuk santapan bersama Raja. Minggu berikut, Raja Friedrich, genius ateis dan kasar, mencemooh jenderalnya dan dengan ketawa berteriak: Bagaimana, von Ziethen, engkau telah makan dan minum badan dan darah sang Penebus? Engkau tidak sakit perut? Semua jenderal ketawa, karena kalau yang berkuasa berkelakar para bawahan harus tepuk tangan. Lain denRan von Ziethen. Dia berdiri tegak, dan dalam bahasa Jerman yang klasik dia menjawab: Paduka Yang Mulia mengetahui, dalam perang saya tidak takut bahaya, dan kalau perlu mengorbankan milik dan hidup untuk Paduka Yang Mulia. Juga sekarang saya begitu, dan kalau perlu mengorbankan diri bagi keselamatan Raja dan Negara. Tapi di atas kita ada Satu yang lebih dari Paduka dan saya, lebih dari semua orang bersama. Dialah sang Penebus, yang mengorbankan diri bagi Paduka dan bagi kita semua, dan membebaskan kita dengan mahal karena menuangkan darahnya. Yang Mahasuci itu kucintai dan saya tidak membiarkan dia dihina. Karena dialah dasar dari iman saya, hiburan dan harapan saya, baik waktu hidup maupun mati. Dalam iman itu saya berjuang dalam Tentara Mulia dengan berani, dan menang. Kalau Paduka Yang Mulia menghancurkan iman itu, Paduka Yang Mulia menghancurkan dasar negara. Das ist geqiszlich wahr. Halten zum Gnaden (Sekian, Terima kasih). Semua pangeran diam dan kecut, takut ledakan kemarahan Raja yang gampang naik pitam. Tapi Raja minta maaf, dan mengatakan: Engkau orang bahagia, von Ziethen. Saya menghormati engkau, saya menghormati keimanan engkau. Peganglah kepercayaan itu. Yang terjadi tadi tidak akan terjadi lagi. Pengakuan seorang pahlawan, ketawa para bawahan. Bahasa seorang kesatria. Menjilat pantat para waisya. Sikap semacam itu disebut courage, lebih bersifat moril dari fisik. Ada cerita serupa dalam buku yang paling banyak dicetak dalam sejarah manusia. Seorang Yohannes dipanggil raja (Herodes) yang ingin meiihat orang yang banyak dibicarakan. Atasan bertemu bawahan, tapi bawahan tidak takut. Engkau tidur dengan wanita yang bukan istrimu. Raja kagum, dan memuji jiwa kesatria dari sang nabi. Lain dengan si istri. Dia mencari jalan bagaimana menghancurkan jiwa yang berani. Waktu Salome berdansa, Herodes, mabuk, berteriak: Minta apa saja, dan kuberikan! Atas anjuran wanita yang sakit hati, sang anak minta kepala Yohannes. Meski sedih, Raja tidak bisa menghapus perjanjian. Yohannes mati syahid, kepala diberikan pada Salome, dan anak memberikannya kepada ibunya. Menghadap kepala negara dan mengatakan kebenaran, juga kalau hal itu mengejutkan, apakah jiwa Timur atau Barat? Undang-undang: Katakanlah hal yang benar kalau yang benar harus dikatakan (Kierkegaard). Menyembunyikan hal yang benar menyebabkan luka yang busuk (Sartre). Undang-undang lain: Jangan menyakitkan hati orang. Hormatilah orang yang berkuasa, juga kalau mereka salah. Mati konyol tidak dipuji. Dua aturan yang berbeda. Mana yang paling baik? Orang yang mati waktu revolusi mengorbankan hidupnya untuk kemerdekaan. Mengusir penjajah yang memaksakan kemauannya dengan kekuatan senjata. Menciptakan suasana di mana orang boleh membuka mulut, yang salah baru dinyatakan salah sesudah kesalahan dibuktikan. Menghadap Yang Berkuasa dan mengatakan hal yang rupanya benar, juga kalau tidak enak atau mengejutkan. Itulah kemerdekaan, dan yang memberi definisi lain bohong dan mengorusi bahasa. Yang dipanggil melindungi kebenaran ialah perwakilan rakyat, dan rakyat yang bersuara yaitu pers. Suara kesatria jelas dan langsung menangkap inti. Yohannes, von Ziethen, Martin Luther King, Romero, Mochtar Lubis, Oyong, Niemoeller, Bonnhoeffer, dan semua pahlawan zaman dulu dari Spartacus sampai Bung Karno, ora pro nobis. Karena kemerdekaan sulit direbut dan gampang dijual.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini