MENJADI guru ideal tampaknya semakin sulit. Sebagian besar peserta lomba karya tulis yang diselenggarakan Multipolar bekerja sama dengan TEMPO menyebutkan bahwa tidak mudah mendapatkan seorang guru ideal. Bahwa pemerintah setiap tahun berhasil memilih guru teladan, hal itu tidak berarti keteladanannya bisa langsung menjadikannya sebagai guru ideal. Tapi, guru yang ideal itu yang seperti apa? "Guru yang ramah dan bersikap kekeluargaan kepada para muridnya," ini salah satu syarat yang ditulis Theresia Sri Sutanti, siswi SMPN 20 Surakarta -- pemenang pertama sayembara tingkat SMTP. Kriteria ini disetujui oleh hampir semua peserta sayembara. Royani Winarno, murid kelas VI SDN 3 Soditan, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, bahkan menyebutkan contoh yang rinci bagaimana "keramahan dan kekeluargaan" itu seharusnya ada pada seorang guru. Royani, juara pertama untuk tingkat SD, bekisah tentang Pak Guru Rusman. Pak Rusman, tulis Royani, sering mengantarkan muridnya pulang dalam satu payung tatkala hari hujan. Kalau ada murid yang sakit, Pak Guru ini menengoknya dan memberi semangat. Jika ada murid yang melakukan kesalahan, ia menasihati dan tidak menghukum si murid dengan mempermalukan -- misalnya disuruh berdiri selama jam pelajaran -- di depan kelas. Tentu saja itu hanya salah satu syarat. Syarat lain yang diajukan murid-murid dari tingkat SD sampai SMTA adalah guru itu benar-benar bisa digugu dan ditiru. Banyak kritik dalam hal ini. Misalnya, guru melarang siswa-siswa merokok tapi dia sendiri bagai lokomotif di depan kelas. Murid dilarang gondrong, guru sendiri rambutnya panjang. Ada murid SD menulis begini: "Setiap hari Jumat kami dibariskan sebelum memasuki kelas. Bu Guru memeriksa kebersihan kami, dari baju, gigi, sampai kuku. Kami dilarang memanjangkan kuku karena tidak baik, biarpun kuku itu bersih. Tapi Bu Guru kami kukunya panjang." Contoh seperti ini dianggap para siswa sebagai hal yang menurunkan kewibawaan para guru. Hal lain yang juga membuat guru tak berwibawa lagi adalah hukuman yang "sadistis". Seorang peserta yang masih di SD menuliskan bahwa hukuman berdiri di kelas sudah tidak mendidik lagi -- palagi untuk kesalahan tidak mengerjakan PR. Hukuman itu membuat murid dipermalukan dan bisa sakit. "Kenapa murid itu tidak ditanya mengapa tak membuat PR? Mungkin ia menunggui ibunya yang sakit," tulisnya. Ada murid SMP menuturkan, hukuman tak membuat PR dengan menuliskan "Saya lupa membuat PR" sampai seribu kali merupakan penyiksaan yang hanya membuat murid dendam pada guru. "Hukuman itu tak ada manfaatnya. Kalau dimaksudkan supaya murid kapok, kan ada cara lain," tulisnya. Dalam hal PR ini, muncul banyak kritikan. Ada peserta menyebutkan bahwa gurunya sering membebaninya dengan PR. Padahal, murid tahu persis guru itu tak selalu memeriksa PR murid-muridnya. Atau kasus lain, saking sering dan banyaknya ada PR, jam pelajaran habis untuk memeriksa PR -- yang dilakukan bersama oleh murid-murid -- sehingga tah ada waktu menerangkan pelajaran lanjutan. Cukup tinggi permintaan dari peserta sayembara -- jumlahnya di luar dugaan, sampai 5.918 naskah -- guru sebaiknya mengajar dengan menyelipkan humor. Ini dimaksudkan agar kelas tidak tegang melulu. Irene Lusia, pelajar SMAK St. Agnes Surabaya, misalnya, menyebarkan angket di 4 SMTA di Kota Surabaya, dan mendapatkan angka 64% responden (112 mengisi angket dan 25 diwawancarai) memilih syarat guru ideal itu adalah punya rasa humor. Syarat lain seperti penampilan rapi, misalnya, mendapat angka 27%. Tedy Sutanto, siswa SMA Kristen Petra Surabaya, menyebar angket dengan 120 responden di dua sekolah. Ia mendapat angka 94,65% murid yang menyenangi guru humor, dengan alasan dapat menghilangkan ketegangan dan rasa bosan (55,36%) dan bahan pelajaran lebih mudah diterima (39,29%). Hanya 5,35% responden tak suka guru humor dengan dua alasan: memperlambat proses belajar (3,57%) dan hanya membuang waktu (1,78%). Karya tulis berdasarkan penelitian lapangan jumlahnya cukup hanyak. Namun, seperti halnya karya Irene dan Tedy itu, umumnya mereka gugur pada tingkat penyisihan, karena halaman sangat berlebih dari yang dipersyaratkan. Pemenang lomba itu sendiri sudah diumumkan, dan langsung menerima hadiah pada malam resepsi di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Sabtu malam pekan lalu (pemenang selengkapnya lihat iklan di halaman 107). Kembali kepada penelitian Irene, ia menemukan angka 56% responden yang menyebutkan bahwa guru itu hanya memberi catatan dalam mengajar. Tak ada penjelasan yang cukup tentang ini. Namun, keluhan itu ternyata banyak dijumpai pada tulisan peserta sayembara pada tingkat SMTP dan SMTA. Banyak guru yang datang ke kelas hanya untuk menyerahkan diktat, dan murid disuruh mencatat. Itu pun dengan cara seorang murid disuruh menuliskan di papan -- atau mendiktekan -- sementara guru itu ngeloyor pergi atau membaca koran. Bel berbunyi, apa yang dicatat tak sempat lagi diterangkan. Tentu saja isi karya tulis dengan topik "Pandangan Anak Didik Terhadap Guru" ini tak cuma berisi kritik. Banyak sekali pujian terhadap bapak dan ibu guru, terlebih-lebih bagi peserta yang "meminta persetujuan" kepada guru atau kepala sekolahnya untuk mengikuti lomba ini walau itu tak menjadi persyaratan. Banyak anak didik yang bersimpati kepada guru mereka yang gajinya begitu kecil dan masih juga dikenai potongan-potongan. Ada murid yang trenyuh menyaksikan bagaimana guru yang naik sepeda itu tiba-tiba diejek oleh sekelompok murid yang naik motor. Ratusan peserta lomba menuliskan syair himne guru pada ending karyanya, terutama mengutip kalimat yang menyebutkan: Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. "Guru adalah orang yang paling berjasa bagi negara dan bangsa," tulis Nurul A.I. Larasati, pemenang tingkat SMTA. Putu Setia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini