Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KASUS hiu dan pari yang terkontaminasi logam berat di perairan Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, membuat Iqbal Herwata terperangah. Beberapa bagian tubuh satwa laut terdapat benjolan serupa tumor atau kanker. “Kami menduga hiu dan pari itu terkontaminasi logam berat yang diakibatkan pencemaran laut,” ucap Iqbal yang merupakan Focal Species Conservation Senior Manager pada Konservasi Indonesia pada Rabu, 8 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wilayah pesisir dan perairan laut di Flores Timur memiliki beberapa kawasan konservasi. Di antaranya adalah Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Halmahera Tengah, Taman Nasional Komodo, Cagar Alam Pulau Sangiang, dan Cagar Alam Toffo Kota Lambu. Wilayah-wilayah tersebut dikelola di bawah kewenangan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Iqbal menduga pencemaran air laut terjadi karena aktivitas pertambangan di darat, terutama ketika limbah logam berat dialirkan serta-merta ke sungai yang bermuara ke laut. Walaupun sebenarnya belum banyak aktivitas pertambangan di gugusan kepulauan Flores tersebut, wilayah perairan itu merupakan habitat satwa-satwa laut dilindungi.
Temuan serupa pernah ia temukan di Pulau Kawe, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Pulau seluas 4.530 hektare tersebut telah diduduki konsesi izin usaha pertambangan (IUP) bijih nikel. Luasannya mencapai 5.920 hektare atau mencaplok bagian pesisir perairan Kepulauan Raja Ampat. “Padahal di situ ada banyak populasi pari manta.”
Tak jauh dari Pulau Kawe, ada Pulau Gag yang juga dikangkangi izin perusahaan tambang nikel seluas 13.130 hektare. Padahal luasan pulau itu tak sampai setengah area IUP atau hanya 6.000 hektare. Beberapa pulau lain di Kepulauan Raja Ampat juga bernasib sama. “Meski aktivitas pertambangan hanya di daratan, dampak lingkungannya masuk ke kawasan konservasi perairan,” ucap Iqbal.
Kawasan konservasi perairan laut Kawe di Kepulauan Wayag, Raja Ampat, Papua Barat. TEMPO/Amston Probel
Kekhawatiran Iqbal terhadap nasib pelindungan kawasan konservasi perairan cukup beralasan. Terlebih, hampir sebagian besar bentangan wilayah lautan Raja Ampat yang mencapai 4,6 juta hektare merupakan kawasan konservasi. Banyak penelitian menyebutkan wilayah laut Tanah Cenderawasih dipenuhi 1.600 spesies ikan karang dan lebih dari 550 spesies terumbu karang. Selain itu, terdapat spesies dilindungi, seperti beragam jenis hiu dan pari.
Karena kekayaan ini, pemerintah daerah dan pusat bekerja sama dengan Conservation International (CI), Worldwide Fund for Nature (WWF), serta The Nature Conservancy (TNC) membangun jejaring kawasan konservasi perairan. Di sana, kawasan konservasi perairan mencapai 2 juta hektare yang terbagi dalam beberapa zona. Pemerintah menjulukinya sebagai kawasan benteng terumbu karang terakhir yang tersisa di bumi.
Baru-baru ini, Edy Setyawan—peneliti ekologi kelautan dari University of Auckland-Waipapa Taumata Rau, Selandia Baru—menemukan fakta baru ihwal habitat pari manta karang di perairan Raja Ampat. Spesies dengan nama ilmiah Mobula alfredi tersebut memiliki kecenderungan senang bermukim di Raja Ampat dengan pergerakan metapopulasi atau spesies yang terpisah di habitat yang berbeda, tapi dalam kawasan geografis yang sama. Suatu yang tak lazim karena pari manta merupakan satwa migrasi dari satu perairan ke perairan lainnya, bahkan dapat mencapai 1.150 kilometer jarak migrasinya.
Dia mendapatkan temuan ini setelah mengamati pola pergerakan pari manta karang dalam rentang 2016-2021 melalui pelacakan akustik. Didapati, setiap populasi pari manta karang lokal memiliki perbedaan demografis. Hingga Februari lalu, tercatat ada 640 ekor teridentifikasi di Pulau Misool. Selain itu, ada 1.250 individu lain di Pulau Waigeo atau Ayau. Habitat mereka didukung ekosistem terumbu karang yang sangat luas dan menjadi salah satu alasan pari manta karang betah hidup di Raja Ampat.
Baca Juga:
Menurut Iqbal, temuan Edy, persis dengan laporan organisasinya. Dia mengatakan populasi pari manta di Raja Ampat tercatat sebagai terbesar kedua di dunia setelah Ekuador. “Kami melihat Raja Ampat memang menyediakan sumber makanan yang dibutuhkan mereka. Dengan demikian, secara rasional mereka akan mengurungkan niat migrasi, terlebih bila harus mengarungi laut dalam dengan risiko menghadapi ancaman pemangsa.”
Persoalannya, populasi hiu dan pari manta menghadapi ancaman perburuan oleh manusia. Meski sudah tercatat sebagai satwa dilindungi, sering didapati aktivitas penangkapan satwa laut ini oleh nelayan untuk kebutuhan ekspor. Lokasi terbanyak yang pernah terpantau oleh Iqbal berada di wilayah perairan Nusa Tenggara Timur. Terlebih, tidak semua jenis hiu dan pari masuk kategori dilindungi.
Peneliti dari Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, menjelaskan pemerintah tak kurang membuat daftar kawasan konservasi perairan dari Sabang hingga Merauke dan mencapai ratusan titik. Persoalannya, sekalipun suatu wilayah distempel sebagai kawasan konservasi, tak menjamin upaya pelindungan ekosistem laut dilakukan. “Yang terjadi justru kewenangan untuk mengelola kawasan konservasi dikapitalisasi untuk perizinan seperti budi daya atau bahkan ditimpa konsesi,” ucapnya.
Kapal pengangkut wisatawan berlabuh di teluk Pulau Rinca, Kawasan Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, 2018. Tempo/Tony Hartawan
Damanik lantas mencontohkan skandal yang terjadi di Taman Nasional Komodo. Status konservasi di sana meliputi darat dan laut dengan keunggulan sebagai rumah bagi satwa komodo. Masalahnya, pelestarian hewan purba itu justru dieksploitasi dengan masuknya investor untuk pembangunan destinasi wisata nasional. Dia khawatir kondisi ini mengancam habitat komodo yang belakangan dilaporkan mengalami kemerosotan, khususnya yang berada di Pulau Flores.
Situasi semacam ini juga terjadi di kawasan konservasi perairan lain. Dia mengatakan banyak perairan, terutama pesisir, yang dibebani izin tambang untuk nikel dan timah, sehingga berpotensi merusak karang serta habitat kawasan konservasi. “Semestinya pemerintah tidak membuka ruang laut untuk dibebani perizinan, sekalipun dengan dalih zona pemanfaatan atau budi daya.”
Juru bicara Menteri Kelautan dan Perikanan, Wahyu Muryadi, membantah tuduhan bahwa kawasan konservasi perairan dibebani izin pemanfaatan, budi daya, atau bahkan konsesi untuk perusahaan ekstraktif. Justru Menteri Sakti Wahyu Trenggono tegas menolak segala jenis izin masuk kawasan konservasi. “Pak Menteri kalau urusan konservasi, tidak ada toleransi terhadap izin, justru memang harus ketat,” kata Wahyu ketika dimintai konfirmasi.
Dia menjamin bahwa kementeriannya menempatkan upaya pelestarian ekologi laut sebagai panglima dalam pengambilan kebijakan, termasuk kebijakan dalam melakukan penjagaan ketat dari ancaman penangkapan ikan. Pemerintah juga memberlakukan pelarangan alat tangkap cantrang untuk menjamin biota laut tetap terjaga. Tujuannya untuk memastikan ruang hidup satwa laut yang dilindungi dan terancam punah tetap aman.
Namun Wahyu mafhum bahwa belum semua jenis hiu dan pari dilindungi. Hal ini lantaran Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) belum memasukkan seluruh jenis hiu atau pari sebagai hewan yang dilindungi. Yang bisa dilakukan pemerintah adalah membatasi penangkapan dengan cara pemberian kuota ekspor terhadap spesies yang tidak dilindungi.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut KKP sebelumnya juga melakukan pencegahan berupa pendataan 308 spesies dari tujuh taksa yang masuk daftar biota perairan terancam punah. Sedikitnya ditemukan 23 jenis ikan dilindungi penuh dan enam jenis ikan dilindungi terbatas, khususnya spesies yang menjadi endemis Indonesia, seperti hiu berjalan, yang kini telah masuk daftar spesies dilindungi.
Upaya pelindungan spesies ini difokuskan di Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Papua Barat, dan Papua Barat Daya. Wilayah kerja ini mencakup 13 kawasan konservasi dengan luasan mencapai 5 juta hektare. Kerja-kerja ini melibatkan Lembaga Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) dan masyarakat sipil.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo