Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Membujuk dengan Fantasi

17 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka yang tumbuh berkembang di antara suburnya musik rock, pada awal hingga pertengahan 1970-an, tentu tidak asing dengan karya seni grafis Roger Dean. Karya-karya Dean tidak hanya menghiasi sampul-sampul album rekaman, tapi juga tampil sebagai karya seni rupa independen. Beberapa di antaranya dicetak dalam bentuk poster dan menjadi sisipan majalah musik terkemuka seperti PopPhoto, Muziek Expres (Belanda), Mojo (Inggris), The Rolling Stone (Amerika), dan juga majalah Aktuil (Indonesia).

Pemuda tanggung kelahiran Kent, Inggris, inilah yang banyak turut memberikan warna atau corak baru pada perkembangan desain sampul dalam industri rekaman musik rock, khususnya rock progresif, saat itu. Beberapa album dari grup musik besar seperti Yes, Pink Floyd, Gentle Giant, Uriah Heep, Greenslade, Asia, dan Osibisa menggunakan karyanya sebagai ilustrasi sampul.

Ilustrasi pada sampul album yang ditawarkan Dean memang cukup memikat. Dengan tema mitologi, ia merepresentasikannya dalam perpaduan gaya surealisme dan Art Nouveau atau Jugendstil alias modern style, sebuah genre dalam dunia seni rupa, yang—meskipun telah lewat—aromanya masih terasa hidup saat itu.

Karya lulusan desain industri Canterbury College of Art, California, ini seperti telah menjadi ikon bagi sampul-sampul album musik progressive rock, art rock, yang sedang tumbuh subur. Bahkan salah satu karyanya (dalam bentuk tipografi) dipakai sebagai logo resmi kelompok musik Yes serta dipergunakan pula sebagai identitas perusahaan rekaman lokal (di Bandung) dengan menggunakan nama yang hampir sama: Yess.

Dean pada zamannya, sebagaimana Steven Spielberg dengan film-film fiksi ilmiahnya pada zaman baru ini, menawarkan penjelajahannya ke dunia fantasi. Ia memadukan gagasan cerita mitologi yang diinterpretasikan kembali ke dalam dunia masa depan. Lihatlah sampul album Drama (Yes), Asia (Asia), Us and Them (Pink Floyd), dan Octopus (Gentle Giant), yang menggambarkan perpaduan gaya itu.

Penikmat diajak bertamasya fantasi dalam dunia antah-berantah. Dunia yang hanya bisa dikunjungi lewat alam mimpi. Dunia yang cair, tempat berbagai kategori tak berlaku tetap dan mutlak. Bertemu dengan binatang-binatang rekaan yang menimbulkan rasa ngeri tapi sekaligus menghibur.

Tentu saja Dean hanyalah satu di antara ratusan desainer sampul album rekaman yang ada. Cuma, memang, corak atau gaya pada karyanya ini kemudian menjadi semacam aroma yang khas dari gerakan musik rock yang hidup saat itu. Bahkan pengaruhnya pada para perupa grafis meluas hingga ke Indonesia.

Seperti yang ditulis David Howells dalam buku Album Cover Album, sebagian orang ramai beranggapan, dalam mata rantai industri rekaman, desain sampul album adalah hal yang spesial dan tentu saja penting, yang diharapkan dapat membantu meningkatkan penjualan rekaman dengan cara menggoda melalui visual yang bagus. Sampul album telah menjadi item yang permanen dari roda industri rekaman, bahkan hingga sekarang.

Bagi penikmat, desain sampul album rekaman tidak sekadar berfungsi sebagai pelindung, tapi juga menjadi karya seni yang mandiri, selain memberikan informasi, yang dalam level simpel memudahkan menyeleksi apa yang diinginkan. Orang sering ingat rekaman favorit dengan membangkitkan kenangan pada sampul album dalam pikirannya. Kadang sampul album rekaman akan mengingatkan pada kehidupan pribadi, tak jarang merefleksikan musik pada suatu masa. Dan dalam keadaan yang lebih jarang, ia akan menggemakan perubahan dunia yang bebas.

Artis-artis yang berbeda membuat rekaman yang berbeda-beda; artis-artis yang sama membuat (atau berusaha membuat) produk yang berbeda setiap kali membuat album baru. Demikian pula para desainer sampul. Semuanya ingin berlomba menampilkan perbedaan. Tidak ada eksklusivitas pada desain yang jelek.

Gaya surealisme, misalnya, tidak selalu ditampilkan dalam bentuknya yang ilustratif sebagaimana karya Dean. Tidak sedikit desainer sampul—di antaranya Howard Bartrop—yang menggunakan gaya yang sama tapi menggarap karyanya dengan teknik yang berbeda. Misalnya menggunakan fotografi sebagai gaya ungkapnya. Karya-karya pada album kelompok Pink Floyd lebih banyak menggunakan teknik ini.

Dengan cara menyusun obyek, atau melakukan montase, karya yang sebenarnya menggunakan obyek nyata secara fisik, seperti bangunan pabrik, tempat tidur, pantai, patung, dan tembok, berubah menjadi pencitraan yang maya. Komposisi yang menyatukan benda yang satu dengan yang lain (kolase) itu membangun imajinasi yang lain bagi penglihatan kita.

Pada masa berbagai jenis musik menggeliat hampir bersamaan di pertengahan 1970-an, gaya atau corak desain sampul album rekaman pun bermunculan dengan ragam yang beraneka. Sebagian besar desain itu banyak dipengaruhi atau terinspirasi oleh perkembangan seni rupa yang pernah dan sedang marak.

Selain terinspirasi gaya Art Nouveau (yang muncul pada awal abad ke-20 sebagai reaksi dari zaman mesin dan industri)—dengan coraknya yang meliuk, mengalun, bergulung seperti jenis flora sebagai ungkapan dinamisme; lihatlah pada beberapa album Led Zeppelin dan The Beatles—tak sedikit sampul album rekaman yang terinspirasi gaya Pop Art, sebagaimana yang digunakan oleh kelompok Rolling Stones (album Some Girls, Sticky Finger) dan Velvet Underground (The Velvet Underground & Nico). Pada karya ini, dasar warna yang kontras dipisahkan secara nyata. Teknik cetak saring atau sablon—yang menjadi ciri khas aliran Pop Art—dimunculkan dengan kemiripan yang sempurna. Malah sebagian darinya dikerjakan oleh tokoh gerakan seperti Andy Warhol.

Yang juga menarik untuk ditilik adalah jenis musik punk. Gerakan anak muda yang berjaya di London, Inggris, meski muasalnya dari Amerika ini banyak mengubah tampilan ilustrasi sampul album rekaman secara radikal.

Punk merupakan gerakan budaya akar rumput, di pinggir kota, dengan gumpalan dendam. Mereka adalah kaum muda yang tidak lagi percaya pada keutamaan, menolak sistem serta saluran informasi yang ada, mengibarkan "anti" pada segala yang telah melembaga, termasuk berbagai jenis musik yang sedang berkembang saat itu. Musik aliran ini dimotori di antaranya oleh Sex Pistols, Clash, dan Ramones.

"Jika orang membeli album karena musik, hal ini sudah mati di masa lalu…," seru Johnny Rotten, seorang eksponen dari gerakan punk dan sekaligus personel dari kelompok musik Sex Pistols. Kelompok ini merupakan manifestasi punk yang paling dikenal buruk. Sebagian masyarakat menjulukinya "si busuk yang suka meludah." Suara mereka menyebar melalui leaflet yang dibuat tergesa-gesa, yang dicetak di atas mesin copy yang simpel dan disatukan.

Ide dasar gerakan ini mengingatkan pada suatu masa di bulan-bulan awal 1916 di Swiss, ketika gerakan seni rupa Dada didirikan. Perang Dunia Pertama-lah yang menyebabkan kelompok kecil seniman ini bertemu di Zurich, meski sebenarnya problem-problem kesenian yang dipunyai bersama telah hadir sebelumnya. Sekelompok orang dengan berbagai kepribadian bersatu karena mereka semua telah membawa sikap yang kemudian disebut sikap dadais. Sikap penolakan terhadap seni. Seni dalam arti konvensional.

Duchamp adalah tokoh gerakan Dada yang paling konsisten untuk sikapnya ini. Baginya, kreativitas atau seni terjadi hanya dalam pikiran. Ia membatasi proses pembuatan seni sampai pada proses berpikir yang tajam, yang diadakan sebelum pilihan itu dilakukan. Apa yang sampai kini dimengerti dengan kata "karya" tidak berlaku lagi. Nilai diyakini terletak pada ide.

Kembali ke perihal punk, tentu saja konsepnya tidak demikian sama benar. Toh, kelompok ini tetap memproduksi musik-musik, meski dengan jenis yang lebih rusuh, yang diedarkan sebagaimana album rekaman musik lainnya. Hanya, memang, cara mendesain sampulnya merefleksikan gerakan Dada (tanpa isme), yang juga menggunakan huruf yang koyak, citra setengah nada besar, dan memiliki pandangan antisosial. Hanya, kemarahan dan frustrasi dituntun oleh art, bukan musik.

Desain sampul album kelompok Sex Pistols, misalnya, judulnya berisi kata "Bollocks", sungguh provokatif—dengan warna dasar kuning menyala menarik perhatian, dan hurufnya dipungut dan digunting dari koran. Tidak ada tertulis anggota band, hanya daftar lagu.

Sedangkan pada Clash, desain sampul albumnya menggunakan gambar mereka sendiri yang simpel, dikerjakan dengan kasar seperti disobek dari sebuah foto, dan memakai huruf yang seenaknya. Secara umum, desain album rekaman kelompok punk lebih ingin menampilkan diri sebagai karya yang menggunakan pendekatan anti-"desain", dengan cara menolak penggunaan "desainer profesional" sebagaimana biasanya, dan menggunakan bahan-bahan karya yang murah-meriah.

Desain sampul album rekaman, kita tahu, sebagaimana karya seni rupa yang lain, bisa merefleksikan musik pada suatu masa. Bahkan lebih dari itu.

Sri Malela Mahargasarie
Perupa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus