Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mengalami tekanan yang sangat besar, ikan laut dalam telah mengembangkan cara-cara adaptasi yang membantunya bisa tetap bertahan hidup di dasar Samudera Pasifik. Di antaranya adalah memiliki gen ekstra untuk memperbaiki DNA dan memproduksi bahan kimia yang membuat stabil protein yang penting. Ikan juga diketahui menghilangkan banyak gen yang biasa mengendalikan indera penciuman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ikan dengan sifat itu didapati pada 2017, ketika wahana selam robotik Cina Jiaolong menyelam ke Palung Yap di bagian barat Samudera Pasifik. Pada kedalaman 6.903 meter, Jiaolong menangkap dua ikan yang semula masih asing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keduanya belakangan diketahui termasuk keluarga ikan siput (snailfish). Kelompok ikan ini belum banyak dipelajari dan anggotanya hidup di rentang kedalaman laut yang cukup besar.
Snailfish sepintas mirip kecebong, dan tidak memiliki sisik: tubuhnya seperti jelly. Karena ditemukan di zona kedalaman palung laut, lebih dari 6.000 meter, spesies baru ini sementara disebut Ikan Siput Palung Yap.
Pada kedalaman itu tak ditemukan sinar matahari, airnya dingin, sumber makanan jarang, dan tekanannya tinggi. Untuk mencari tahu bagaimana si ikan siput bisa bertahan hidup dengan kondisi seperti itu, tim peneliti yang dipimpin Xinhua Chen di Universitas Pertanian dan Kehutanan Fuzhou, Cina, kini sedang memilah genom ikan itu dan menuliskan laporannya dalam jurnal Plos Genetics yang dipublikasikan 13 Mei 2021.
Mereka menyatakan sudah menemukan kalau genom Ikan Siput Palung Yap memiliki salinan ekstra untuk gen-gen yang terlibat dalam perbaikan DNA, termasuk rangkap delapan dari sebuah gen yang disebut rad51. Beberapa gen perbaikan DNA itu juga diketahui mengandung mutasi-mutasi yang akan mengubah peruntukan protein.
Tentang gen ekstra untuk perbaikan DNA dan mutasi di dalamnya tersebut, Chen dkk belum bisa memastikan pengaruhnya dalam kemampuan adaptasi di laut dalam.
Ikan siput dari Palung Yap juga memiliki lima salinan gen yang disebut fmo3 yang krusial untuk produksi trimethylamine N-oxide (TMAO): senyawa kimia yang menstabilkan protein dan melindungi dari kerusakan oleh tekanan yang sangat besar. Sejalan dengan itu, jaringan otot ikan siput ini memiliki kadar TMAO lebih tinggi dibandingkan dengan ikan zebra yang hidup di perairan dangkal.
Genom Ikan Siput Palung Yap, sebaliknya, kehilangan banyak gen reseptor penciuman, diduga berujung kepada indera penciuman si ikan yang lemah. Chen mengatakan, itu mungkin karena si ikan memiliki diet yang itu-itu saja--di dalam perutnya dipenuhi hanya satu spesies crustacea.
Tapi, ikan ini memiliki gen ekstra untuk reseptor rasa asam, dan ini belum jelas kenapa.
Chen dan timnya juga mengeksplorasi asal muasal Ikan Siput Palung Yap. Mereka membandingkan genomnya dengan ikan siput yang hidup di Palung Mariana yang genomnya telah diurutkan pada 2019. Kedua palung berjarak ratusan kilometer satu sama lain di utara dan timur Samudera Pasifik.
Kedua jenis ikan siput itu terungkap berkerabat dekat. Chen mengatakan kedua palung laut terbentuk 8-10 juta tahun lalu, sehingga diduganya nenek moyang ikan siput menemukan jalan ke dua palung laut itu dan masing-masing berevolusi sendiri-sendiri.
"Dua palung laut dalam ini terisolasi dan mereka memiliki kedalaman serta kondisi lingkungan yang berbeda," katanya.
NEW SCIENTIST