Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

BKSDA Sumbar Catat 62 Kasus Konflik Satwa Sepanjang 2024, Harimau Sumatera Mendominasi

Luas hutan Sumatera Barat sekitar 2,28 juta hektare, dengan 10 persennya merupakan wilayah konservasi BKSDA Sumbar.

7 Februari 2025 | 22.35 WIB

Dokter hewan mengukur telapak kaki bangkai harimau Sumatera (Panthera tigris Sumatrae) sebelum dilakukan nekropsi di UPTD Rumah Sakit Hewan Sumatera Barat, di Padang, Jumat, 26 Juli 2024. BKSDA Sumbar mengevakuasi bangkai harimau betina yang kaki depan kirinya sudah buntung itu karena ditemukan mati terjerat di dekat kebun warga di Jorong Sungai Pua, Nagari Sungai Pua, Palembayan, Agam pada Kamis (25/7). ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
Perbesar
Dokter hewan mengukur telapak kaki bangkai harimau Sumatera (Panthera tigris Sumatrae) sebelum dilakukan nekropsi di UPTD Rumah Sakit Hewan Sumatera Barat, di Padang, Jumat, 26 Juli 2024. BKSDA Sumbar mengevakuasi bangkai harimau betina yang kaki depan kirinya sudah buntung itu karena ditemukan mati terjerat di dekat kebun warga di Jorong Sungai Pua, Nagari Sungai Pua, Palembayan, Agam pada Kamis (25/7). ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat mencatat ada sebanyak 62 kasus konflik satwa yang terjadi sepanjang 2024. Konflik satwa tersebut didominasi oleh harimau sumatera, yakni sebanyak 24 kasus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Kami mencatat ada sekitar 62 kasus konflik satwa yang didominasi oleh harimau sumatera dan beruang," kata Kepala BKSDA Sumbar Luqi Harmanto kepada Tempo di kantornya, Kamis, 6 Februari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Luqi menjelaskan, jika ditarik tiga tahun ke belakang terjadi penurunan konflik satwa di Sumatera Barat, dengan rincian 75 kasus pada 2022 dan 79 kasus pada 2023. "Jumlah kasus menurun dari tiga tahun ke belakang, namun yang mendominasi tetap konflik harimau sumatera," katanya

KSDA Sumbar, kata Luqi, punya 22 kawasan dan sembilan kawasan di antaranya merupakan habitat harimau sumatera. "Luas hutan Sumatera Barat itu ada sekitar 2,28 juta hektare, 10 persen dari wilayah tersebut merupakan wilayah konservasi BKSDA Sumbar," katanya.

Potensi konflik ini disebabkan dengan banyak faktor, di antaranya luas hutan yang sudah mulai menyusut, lanskap yang terpecah-pecah dan pakannya sudah mulai berkurang. Selain itu wilayah jejalah harimau sumatera juga cukup luas. "Kenapa harimau yang dominan, sebab jika dia tidak dapat pakan di lokasi sebelumnya, maka akan pergi lebih jauh lagi dan itu potensi konflik," katanya.

Namun, populasi harimau di Sumatera Barat cenderung naik beberapa tahun ke belakang. Tentu ini membahagiakan bagi BKSDA Sumbar, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran dengan luas jelajahnya yang semakin berkurang.

"Ada laporan dari beberapa tim di lapangan melaporkan jika ada tiga anak dan satu induk harimau terekam camera trap. Tentu ini kabar bahagia, tetapi juga bimbang karena luas habitatnya yang sudah tidak memadai dan berpotensi konflik," katanya.

Walaupun harimau yang dominan, tetapi belum ada laporan yang memakan korban manusia, khususnya di wilayah Sumatera Barat.

Agar mitigasi konflik, Luqi bersama jajaran KSDA Sumbar terus melakukan sosialisasi dan penguatan ke wilayah yang berpotensi konflik. Selain itu juga membentuk tim di tingkat desa atau nagari yang akan melakukan penanganan pertama jika konflik satwa terjadi. "Kami ada Pagari namanya, sekarang tersebar di beberapa nagari Sumatera Barat," ucapnya.

Fachri Hamzah

Fachri Hamzah

Kontributor Tempo di Padang, Sumatera Barat

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus