Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Bertumpu pada Raja Bius

Selama ratusan tahun masyarakat adat Holbung Sitio-tio mengelola kawasan adat. Dilarang menebang pohon di hutan secara serampangan.

21 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Masyarakat adat Holbung Sitio-tio memiliki pengelolaan tata ruang yang telah berjalan selama ratusan tahun.

  • Memiliki aturan ketat dalam pengelolaan lahan dan tak dapat membuka hutan sembarangan.

  • Belum diakui sebagai masyarakat hukum adat oleh negara.

DALAM keyakinan Cosmas Siringo-ringo, peradaban yang dibangun leluhurnya lebih dulu ada melampaui usia Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penatua masyarakat adat Holbung Sitio-tio itu percaya, ia adalah generasi ke-10 penghuni Kampung Holbung, Kecamatan Sitio-tio, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara.

Ia menuturkan, pengelolaan ruang di Holbung Sitio-tio tak dapat dilepaskan dari sejarah leluhur mereka. "Bermula dari cucu Siraja Lontung, yaitu Siringo-ringo dan Sitinjak, yang membuka kampung pertama kali," kata pria 43 tahun itu. Ketika itu, Cosmas menerangkan, Siringo-ringo mengajak Aritonang, Nainggolan, dan Siregar. Sedangkan Sitinjak mengajak Batu Bara, Sianturi, dan Samosir.

Sejak itu, pengelolaan ruang diatur secara bersama-sama oleh kedelapan tetua atau raja bius tersebut. Di antara mereka, Cosmas menjelaskan, dibentuk kesepakatan pembagian wilayah menjadi huta atau permukiman, perladangan dan sawah, ulaman untuk ternak, permakaman, juga area yang disakralkan.

Wilayah kampung pun dibagi lagi menjadi lumban untuk wilayah yang ditinggali 20 keluarga serta sosor buat huta yang baru dibuka dan dihuni tiga-lima keluarga. Kesepakatannya, dia melanjutkan, apabila generasi bertambah dan penghuni makin banyak, akan dibuka huta baru. "Dengan catatan harus mendapat persetujuan dan pengesahan dari kedelapan raja bius secara penuh," tutur Cosmas.

Wilayah-wilayah tersebut dibangun di luar kawasan hutan. "Kawasan hutan dijaga dan dikelola sangat ketat, tidak ada yang bisa sembarangan membuka hutan atau menebang pohon," ujarnya. Hutan-hutan itu, selain menjadi sumber kehidupan yang berkelanjutan bagi masyarakat, adalah simpanan bagi generasi mendatang. Jika ada yang melanggar norma tak tertulis itu, orang tersebut bisa dikucilkan atau diusir dari kampung.

Jakob Siringo-ringo, pemuda adat Holbung Sitio-tio, mengamini pernyataan itu. Ia bersaksi, untuk mengambil kayu dari hutan, masyarakat harus mendapatkan izin dari kedelapan pemangku adat. Menurut Jakob, aktivitas yang dibolehkan di hutan adalah berburu, mencari tumbuhan untuk pangan dan obat, serta menderes getah kemenyan. "Pengelolaan lahan, pengaturan irigasi, hingga filosofi sebagai masyarakat adat menjadi kewenangan pemimpin adat," ucapnya.

Cosmas mengatakan sejak ratusan tahun lalu cara mengelola wilayah adatnya sama. Keberadaan leluhur mereka pun dapat ditelusuri dari artefak dan situs-situs yang tak pernah berpindah posisi. Karena itu, kata Cosmas, masyarakat meradang ketika patok-patok hutan negara dipasang di tengah kampung yang menjadi permukiman. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Manajer Kajian dan Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Utara Putra Saptian, persoalan muncul ketika ada perbedaan perspektif masyarakat adat dengan negara dalam melihat kawasan hutan. "Pendekatan negara sangat positivistik. Jika belum mengantongi surat ketetapan pengakuan sebagai masyarakat adat, masyarakat itu dianggap ilegal," ujarnya.

Itu sebabnya, kata dia, pemerintah kerap mengakuisisi wilayah masyarakat adat tanpa melihat aspek sejarah, sosial, dan budaya komunitas adat yang telah menetap selama ratusan tahun. Padahal, menurut Putra, pengakuan atas keberadaan masyarakat adat tak cuma dapat dilihat dari aspek hukum positif. "Mereka memiliki hak dan negara wajib meredistribusi itu," tuturnya.

Masyarakat adat Holbung belum mendapat pengakuan. Sedangkan Kabupaten Samosir (saat masih menjadi Kabupaten Toba Samosir), Putra menambahkan, telah memiliki peraturan daerah yang mengakui hak ulayat, yaitu Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2020. Tapi peraturan itu tak serta-merta melindungi masyarakat adat dari perampasan lahan yang dilakukan negara. Perda itu hanya bersifat memberi landasan warga untuk mendapatkan penetapan status masyarakat adat dan wilayah adat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus