Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Risiko Subsidi Gendut yang Terabaikan

Pemerintah enggan mencabut subsidi karena pertimbangan politik. Ada risiko besar yang membayangi anggaran negara.

21 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah dan DPR menambah anggaran subsidi dan kompensasi energi.

  • Menambah subsidi berisiko memperberat beban anggaran dan memperbesar utang negara.

  • Pemerintah selalu beralasan bahwa rasio utang masih dalam batas aman.

INILAH cara pemerintah Indonesia mengatasi ancaman inflasi. Pemerintah tidak akan menaikkan harga berbagai jenis energi. Meskipun konsekuensinya amat berat, anggaran untuk subsidi dan kompensasi biaya energi meledak luar biasa, tekad pemerintah tetap bulat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada Kamis, 19 Mei lalu, pemerintah dan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat bersepakat menambah anggaran subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp 349,9 triliun. Walhasil, total anggaran subsidi menjadi Rp 502,4 triliun. Inilah yang akan mengganjal harga Pertalite, solar, minyak tanah, elpiji 3 kilogram, dan tarif listrik di bawah 3.000 watt agar tidak naik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah merasa mampu menanggung beban itu karena akan ada tambahan pemasukan. Naiknya harga berbagai komoditas ekspor mendatangkan rezeki ekstra buat pemerintah. Penerimaan negara dari perpajakan, bagi hasil, ataupun royalti akan bertambah Rp 420 triliun. Dari rezeki nomplok inilah tambahan subsidi dan kompensasi itu berasal.

Kebijakan menambah subsidi dan kompensasi tentu saja sangat populer di mata masyarakat. Secara politis, dukungan kepada pemerintah akan menguat. Para politikus yang sedang berkuasa jelas memilih kebijakan populis semacam ini ketimbang mengikuti pertimbangan ekonomi yang lebih rasional. Terlebih membiarkan harga naik juga berisiko memicu protes hingga gejolak sosial. Pertimbangan politis yang sangat menggoda itu pada akhirnya membuat politikus mengabaikan risikonya terhadap ekonomi, yang sebenarnya juga berbahaya.

Ketimbang digunakan untuk menambah subsidi, rezeki nomplok itu, misalnya, semestinya bisa dipakai sebagai sumber pembiayaan anggaran. Pemerintah berpeluang mengurangi utang baru. Tahun ini, pemerintah masih harus menarik utang baru dari pasar senilai Rp 991,3 triliun. Ketika suku bunga sedang menanjak dan likuiditas global mengering, tambahan utang sebesar itu akan menimbulkan beban bunga yang amat besar hingga bertahun-tahun ke depan. Jika tidak dipakai untuk menggenjot subsidi, tambahan penerimaan negara karena naiknya harga komoditas itu bisa mengurangi kebutuhan utang secara signifikan.

Politikus memang cenderung mengabaikan risiko membesarnya utang. Pemerintah selalu berargumentasi bahwa rasio utang masih dalam batas aman. Hal itu tidak keliru karena rasio yang sering dipakai adalah perbandingan utang terhadap produk domestik bruto. Masalahnya, rasio itu tidak mencerminkan risiko karena terlalu besarnya porsi beban bunga dalam anggaran negara. Tahun ini, misalnya, harus ada dana sebesar Rp 405,9 triliun hanya untuk membayar bunga.

Inilah yang membedakan Indonesia dengan negara-negara lain. Di pasar keuangan, Indonesia masuk kategori high yield country, berani memberikan imbal hasil tinggi saat menjual obligasi agar laku terjual. Dibanding obligasi terbitan pemerintah Thailand, misalnya, sebagai sesama negara berkembang di Asia Tenggara, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia jauh lebih tinggi. Di pasar, yield obligasi pemerintah Indonesia dengan tenor 10 tahun sudah bertengger pada angka 7,385 persen per Jumat, 20 Mei lalu. Sedangkan yield instrumen yang sama terbitan pemerintah Thailand tak sampai separuhnya, cuma 3,073 persen.

Maka, ketika pemerintah menyia-nyiakan kesempatan mengurangi tambahan utang, muncul risiko besar yang membayangi anggaran. Tak cuma menjadi warisan beban besar bagi generasi mendatang, dalam jangka pendek tambahan utang pun langsung menggerus keuangan negara karena ada tambahan beban bunga yang amat besar di tahun berikutnya. Risiko ini terasa ironis karena subsidi energi sebetulnya lebih banyak melesetnya. Yang lebih menikmati kompensasi untuk Pertalite, misalnya, bukanlah rakyat miskin, melainkan pemilik mobil pribadi.

Tujuh tahun lalu, Presiden Joko Widodo pernah berpidato di depan sidang bersama DPR dan Dewan Perwakilan Daerah tak lama setelah mencabut subsidi bahan bakar minyak sebagaimana dikutip situs resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika: “Saya memahami, kebijakan pemerintah seakan-akan tidak berpihak kepada rakyat. Namun moral politik saya mengatakan saya harus bertindak dan menghentikan praktik-praktik yang tidak benar….” Moral politik itu kini entah di mana.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus