Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Masyarakat adat di Tapanuli Utara dan Samosir memprotes penyerobotan lahan mereka yang hendak dijadikan hutan negara.
Area persawahan, permakaman, hingga permukiman dianggap sebagai kawasan hutan dan ditunjuk menjadi kawasan hutan negara.
Membohongi masyarakat dengan pelbagai alasan.
COSMAS Siringo-ringo, 43 tahun, tengah menanti janji Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah I Medan untuk berkunjung dan memeriksa patok-patok yang menancap di perkebunan, persawahan, dan perkampungan adat mereka. Penatua masyarakat adat Holbung, Kecamatan Sitio-tio, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, itu bersama sejumlah komunitas adat di lingkar Danau Toba mendatangi kantor balai tersebut pada Selasa, 12 April lalu. Mereka memprotes pemasangan patok batas hutan negara di tengah wilayah adat mereka.
Cosmas ingat patok-patok tersebut dipasang persis setahun lalu. Saat itu sejumlah petugas yang mengatasnamakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan datang, lalu memasang patok-patok permanen. "Tak ada pemberitahuan atau informasi apa-apa sebelumnya kepada warga Holbung," kata Cosmas, Senin, 16 Mei lalu. Patok itu berada di bukit, ladang, area yang dipenuhi artefak, dan pelbagai situs peninggalan nenek moyang mereka.
Patok juga dipasang di tengah perkampungan dengan jarak dari rumah penduduk hanya sekitar 7 meter. Menurut Cosmas, keberadaan patok yang terlalu dekat dengan area kampung membuat masyarakat heran, lalu menanyakan tujuan pemasangan patok kepada petugas. "Ini patok api, ada sensor api untuk mencegah kebakaran hutan," ujar Cosmas menirukan jawaban petugas pemasang patok kala itu.
Masyarakat terkaget-kaget ketika pada awal 2022 petugas memasang papan yang menyebutkan wilayah yang dipatok tersebut adalah kawasan hutan negara. "Ini sangat tidak etis dan tidak menghormati keberadaan kami sebagai masyarakat adat Holbung. Kami bukan orang utan," tutur Cosmas. Ia menyebutkan hutan negara itu bakal merampas sekitar 1.200 hektare hutan dari 1.480 hektare wilayah adat yang dikuasai masyarakat adat Holbung.
Menurut Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak Roganda Simanjuntak, persoalan berpangkal pada upaya pemerintah menjalankan keputusan penunjukan hutan negara. Penunjukan itu termaktub dalam surat keputusan yang dikeluarkan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan bernomor SK.579/Menhut-II/2014 tentang kawasan hutan Provinsi Sumatera Utara.
Dalam SK tersebut, kata Roganda, ada 3.055.795 hektare lahan yang ditetapkan menjadi hutan negara. Masalahnya, lahan yang ditunjuk itu telah ratusan tahun didiami komunitas adat. Ia memperkirakan penunjukan itu bakal menyerobot 2 juta hektare lahan masyarakat adat di sekeliling Danau Toba. SK itu merupakan pengganti SK.44/Menhut-II/2005 yang dibatalkan Mahkamah Agung. Permohonan uji materi atas surat keputusan tersebut diajukan oleh Ketua Forum Peduli Bona Pasogit, Bupati Tapanuli Utara Torang Lumbantobing, dan Bupati Samosir Mangindar Simbolon kala itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SK.44/2005 juga disinggung dalam permohonan uji materi Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada 14 Juli 2011. Pasal itu berbunyi: "Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap". Dalam pelaksanaannya, frasa “ditunjuk dan atau” dianggap sering ditafsirkan secara keliru oleh pemerintah pusat.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan yang diajukan lima bupati di Kalimantan Tengah tersebut lewat Putusan MK Nomor 45/PUU-IX/2011. Setelah uji materi tersebut, berlaku ketentuan bahwa kawasan hutan baru memiliki kepastian hukum setelah melalui proses penetapan. "Penunjukan berbeda dengan penetapan, tapi dalam pelaksanaannya seolah-olah sudah ditetapkan karena setelah pemasangan patok masyarakat tidak bisa lagi masuk ke kawasan itu," ujar Roganda.
Roganda menjelaskan, sejarah penunjukan kawasan hutan di Sumatera Utara tak dapat dilepaskan dari upaya registrasi wilayah hutan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1920-1923. Menurut Roganda, kawasan hutan register ini kelak menjadi dasar penunjukan hutan negara melalui surat keputusan yang dikeluarkan Menteri Kehutanan. "Berganti menteri, dasar untuk mengeluarkan SK penunjukan tetap sama dan tetap tidak melibatkan masyarakat," ucapnya.
Di Kabupaten Tapanuli Utara, sejumlah masyarakat adat menghadapi persoalan yang sama. Arison Simanjuntak, 29 tahun, pemuda adat dari Desa Tapian Nauli II, mengatakan pemasangan patok di kampungnya dimulai pada November 2021. "Petugas hanya berkoordinasi dengan pemerintah desa, tapi tidak ada informasi yang sampai ke masyarakat," katanya. Luas wilayah yang diserobot, menurut Arison, sekitar 500 hektare dari total luas desa sekitar 1.900 hektare.
Menurut Ketua AMAN Tapanuli Utara Ahmad Simanjuntak, upaya penyerobotan ini dialami oleh hampir semua komunitas adat secara berbarengan. Karena itu, pada 22 Januari lalu masyarakat mengirim surat keberatan kepada Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan. Surat itu ditembuskan ke Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah I Medan, Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelolaan Hutan (UPT KPH) IV Balige, dan Bupati Tapanuli Utara.
Pada April lalu, masyarakat yang didampingi AMAN Tano Batak beraudiensi dengan BPKH Wilayah I Medan. Ada tiga komunitas adat yang mewakili saat itu, yaitu Bonani Dolok dan Tapian Nauli dari Tapanuli Utara serta Holbung Sitio-tio dari Samosir. Kepala BPKH Wilayah I Medan Pernando L. Tobing menyatakan akan melakukan pengecekan langsung ke lapangan dan berupaya mencari solusi terbaik.
Ahmad Simanjuntak mengatakan masyarakat khawatir penyerobotan lahan ini bertujuan memberikan karpet merah kepada korporasi. Meski sebagian lahan diperuntukkan bagi hutan lindung, ucap dia, bukan tak mungkin fungsinya akan diturunkan agar dapat dikerjakan untuk korporasi ataupun proyek strategis nasional. "Kami ada contoh bagaimana negara memfasilitasi PT Indo Rayon (kini PT Toba Pulp Lestari) menggunakan tanah-tanah yang kami serahkan untuk negara," ujarnya.
Manajer Kajian dan Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Utara Putra Saptian mengatakan kekhawatiran masyarakat sangat masuk akal. Ia merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan yang mempermudah alih fungsi kawasan hutan. "Pelepasan kawasan hutan dimungkinkan di kawasan hutan produksi untuk kegiatan proyek strategis nasional seperti food estate, bisnis hijau. Ini dapat menjadi modus perampasan baru," tuturnya.
Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan Indonesian Center for Environmental Law Adrianus Eryan mengatakan ada tiga kesalahan pemerintah, yaitu tak mengecek latar belakang terbitnya surat keputusan nomor 579 yang berpotensi menimbulkan konflik dengan masyarakat, tidak menginformasikan penataan batas ke masyarakat, dan menempatkan patok di tengah ruang hidup masyarakat. “Untuk apa lokasi ini ditetapkan sebagai kawasan hutan? Kenapa tidak dikecualikan saja,” katanya.
Menanggapi peristiwa ini, Bupati Tapanuli Utara Nikson Nababan mengatakan akan berkoordinasi dengan UPT KPH hingga ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mencari solusi terbaik. Menurut Nikson, masyarakat hukum adat dinyatakan sah setelah diusulkan keberadaannya oleh peraturan bupati dan ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Namun komunitas adat yang sekarang tengah bergolak belum mendapat penetapan.
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ruandha Agung Sugardiman tidak merespons saat dihubungi Tempo melalui panggilan telepon, pesan pendek, dan WhatsApp. Permohonan wawancara dan pertanyaan tertulis tentang pemasangan patok batas hutan negara di tengah wilayah masyarakat adat yang disampaikan melalui surat juga belum ditanggapi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo