Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Domba-domba Gembira dalam Tudung Saji

Helateater Salihara kembali digelar dengan pertunjukan ulang alih tiga kelompok teater dari tiga kota.

10 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pentas (Revisi: 3 Februari 1965)_Gugatan-gugatan dari Dalam Tudung Saji_Final_FIX oleh Studio Patodongi Makassar, dalam perhelatan Helateater Salihara. Youtube Salihara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI alam arwah, Kahar Muzakkar dan Welle’ Ricina berjumpa. Yang satu baru ditembak mati pada Hari Idul Fitri, yang lain sedang melarikan diri dari tunangannya, Sawerigading—raja keturunan langit. Nama Kahar tercetak dalam buku pelajaran sejarah kita, sementara nama Welle’ Ricina tercantum dalam epik mitos penciptaan. Mereka memadu kasih. Salah satu kegiatan kencan mereka adalah membuat blog video atau vlog bersama untuk kanal YouTube dari dunia arwah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pentas berjudul (Revisi: 3 Februari 1965) Gugatan-gugatan dari Dalam Tudung Saji_Final_FIX oleh Studio Patodongi dari Makassar ini membenturkan pelbagai lapis hal: yang lampau dan yang kini, mitos dan sejarah, Islam dan agama lokal, serta dimensi-dimensi dunia. Lakon tersebut menjadi pembuka rangkaian Helateater Salihara, yang tentu saja masih berlangsung secara virtual pada tahun ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertunjukan ini indah. Adegan-adegan difilmkan di antara serakan bebatuan karst Taman Batu Balocci di Pangkep, Sulawesi Selatan, dengan nuansa keabuan yang memantulkan kesan dunia imaji atau waktu yang purba. Narasi diutarakan dalam baris-baris puisi. Permulaan pentas adalah Kahar yang membuka mata, lalu narator bersuara, “Dor, dor, dor. Tiga Februari 1965. Dadaku nyeri. Seekor kuda menggelepar. Padi berwarna merah. Langit meleleh dari dalam radio.”

Pentas berjudul Domba-domba Revolusi oleh Teater Petra dari Jakarta.

Tiga Februari 1965 adalah tanggal ketika pemimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia itu menemui maut di tengah pengepungan lima menit Tentara Nasional Indonesia terhadap pasukan gerilya. Mayatnya yang berlubang peluru dapat diidentifikasi lewat tahi lalat, gigi emas, dan celana dalam istimewa berbordir huruf “KM” buatan tangan istri keempatnya. Celana dalam yang sesuai dengan deskripsi ini muncul terus dalam pentas Tudung Saji, dikenakan di kepala oleh Kahar (Alif Anggara) atau disebut dalam percakapannya dengan Welle’ Ricina (Indah Amalia).

Simbol-simbol muncul dari tiap adegan yang tak selalu mengalir runut, melainkan terbentuk dari fragmen-fragmen patah penuh metafora. Dari percakapan Kahar dan Welle’ Ricina tentang cinta dan perbedaan yang mudah diikuti, adegan dapat tiba-tiba beralih ke sosok Tubuh M (Andi Taslim Saputra). Entah siapa tokoh ini. Dia selalu muncul sendiri, sedang menggeretakkan lembaran seng dengan ribut atau menjilati bunga yang tumbuh mencuat pada celah bebatuan. Entah apa pula maunya. “Kami menghadirkan karakter itu untuk membangun emosi yang acak,” kata sutradara Rachmat Hidayat Mustamin dalam wawancara via telepon, Rabu, 7 April lalu.

Di antara berbagai kutub yang dipertemukan dalam Tudung Saji, yang paling kentara adalah pertemuan ideologi. Pasangan ini berbeda agama dan berbicara tentang hal-hal bertentangan dalam kepercayaan mereka. Satu adegan menampilkan Kahar dan Welle’ Ricina berbaring berdampingan diiringi rapalan yang menggema: “Untukmu sikat gigimu, untukku sikat gigiku. Untuknya kaus kakinya, untuk siapa kaus kaki kita?” “Benturan ideologi ini kami usung untuk menjadi tumpuan diskusi masyarakat Sulawesi Selatan pada konteks hari ini,” tutur Rachmat.

Perihal judul, ada satu adegan terang yang menampakkan pemain berinteraksi dengan sebuah tudung saji. Namun makna pemilihan judul pertunjukan ini tampaknya hanya akan dapat dipahami jika mendengar penjelasan sutradara. “Tudung saji adalah obyek sehari-hari yang dapat punya makna tersendiri,” ucap Rachmat. “Adanya tudung saji mengundang kita menerka apa yang terhidang di dalamnya. Kemudian, jika tubuh kita diibaratkan makanan, apakah tudung sajinya?”

Berlawanan arah dengan Studio Patodongi, Teater Petra dari Jakarta menampilkan lakon sangat realis lewat Domba-Domba Revolusi yang ditulis B. Soelarto pada 1962. Naskah tentang seorang perempuan pemilik losmen yang terjebak di antara empat tamu lelaki (politikus, pedagang, penyair, dan petualang) pada latar waktu revolusi 1948 itu salah satu naskah penting dalam teater Indonesia.

Teater Petra mementaskan naskah yang sama dalam Festival Teater Jakarta 2019. Mereka memperoleh penghargaan grup terbaik dalam festival itu. Oleh sutradara Sultan Mahadi Syarif, naskah yang awalnya berdurasi sekitar satu setengah jam itu dipangkas menjadi 37 menit, mempertimbangkan kenyamanan penonton virtual. “Saya berfokus pada tema besar dalam naskah ini dan membaginya menjadi delapan plot,” ujar Sultan ketika dihubungi.

Pentas ini disebut sebagai teater-film. Lakon berlangsung di atas panggung Gedung Kesenian Miss Tjitjih yang direkam dalam satu kali bidik dan kemudian disunting dengan sepuhan warna hitam-putih. Setting periode lalu dan akting pemain—terutama perempuan pemilik losmen (Nada Rahmah Suwandi)—cukup meyakinkan. Keroncong menjadi musik pengiring. Menontonnya serasa menyaksikan film Usmar Ismail dari periode yang sama.

Pentas ini penuh bau testosteron. Latar revolusi, perjuangan, dan lain-lain hanya tempelan karena yang banyak muncul di panggung adalah nafsu para laki-laki atas tuan rumah mereka. Pemilik losmen itu dibicarakan di antara para lelaki dengan sebutan perempuan rendahan, wanita kurang ajar, perempuan macam begitu, dan seterusnya. Perempuan itu kukuh dan mampu melawan, tapi terasa bagaimana tubuhnya selalu menegang dengan awas ketika para tamu laki-laki itu mendekatinya.

Setelah dua pertunjukan bernuansa kelabu, pentas ketiga dari Komunitas Sakatoya asal Yogyakarta tampil mencolok karena menggunakan warna-warna terang: pink, biru, merah. Berjudul The Happy Family, pendekatan pentas ini adalah pertunjukan interaktif. Ini menarik karena selama pandemi merebak dan beragam pertunjukan harus beralih ke format daring, kehadiran penonton dalam pertunjukan boleh dikatakan hilang sama sekali. Sutradara B.M. Anggana berusaha mengatasi kendala ini dengan membuat ruang virtual tempat penonton dapat ikut serta menentukan jalannya pentas.

The Happy Family yang dipentaskan oleh Komunitas Sakatoya (Yogyakarata). Youtube Salihara

Sudut pandang pentas ini hanya satu arah dari depan, sama dengan perspektif umum tatkala kita menonton teater di atas pentas. Di panggung terdapat dapur tempat ibu dan ayah sedang menyiapkan makanan. Sementara kedua pentas sebelumnya membicarakan hal-hal yang lampau, The Happy Family merupakan semacam sitcom tentang situasi aktual saat ini, terutama yang berkaitan dengan bagaimana teknologi mempengaruhi pola interaksi keluarga.

Tokoh ibu adalah influencer dengan banyak pengikut, yang sedang melakukan live streaming vlog memasak. Dia menggunakan campuran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang dilebih-lebihkan. Mama mengumumkan bahwa dia sedang memasak sup krim mimpi yang terbuat dari mimpi-mimpi berguguran dan cita-cita bekas. Lalu anaknya datang dan mereka bersitegang karena si anak menganggap mama-papa terlalu asyik membangun personal branding di media sosial.

Para pemain selalu menyapa delapan penonton yang bersiaga di ruang virtual dan wajahnya dapat kita lihat lewat kotak-kotak di bagian bawah layar. Delapan penonton ini sebelumnya mendaftar, kemudian dipilih untuk berpartisipasi dalam pentas. Mereka ditanyai pendapat tentang persoalan yang muncul di atas panggung.

Di waktu lain, para pemain memberikan pilihan aksi apa yang harus dilakukan dan menanyakannya kepada penonton. “Menurut Om Dimas, Mama yang seperti ini tetap disayang atau ditendang?” tanya si anak kepada salah satu peserta. Penonton memberi masukan dan pemain akan menurutinya.

Pertunjukan ini pernah dipentaskan Sakatoya pada 2018 di tengah penonton yang hadir langsung. Pertunjukan saat itu berarti berjalan berkeliling di tengah penonton, membagikan sup krim, dan menanyakan cita-cita bekas secara langsung yang kemudian ditanggapi sebagai bagian dari pentas. Format ini tentu mustahil kini. Maka Anggana mengakalinya dengan bentuk interaksi lain. “Kami selalu memikirkan audiens ini diapakan, ya, supaya ada momen pertunjukan yang berbeda,” kata Anggana dalam perbincangan seusai pertunjukan. “Ketika pentas ini jadi alih media, kami belajar banyak sistem dan teknologi, mencoba segala hal terkait dengan koneksi.”

MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Moyang Kasih Dewi Merdeka

Moyang Kasih Dewi Merdeka

Bergabung dengan Tempo pada 2014, ia mulai berfokus menulis ulasan seni dan sinema setahun kemudian. Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara ini pernah belajar tentang demokrasi dan pluralisme agama di Temple University, Philadelphia, pada 2013. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk belajar program master Social History of Art di University of Leeds, Inggris. Aktif di komunitas Indonesian Data Journalism Network.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus