SELAIN cangkul, barangkali Madroi, 46 tahun, perlu sebuah kaca mata untuk bekal ke sawah. Petani kerempeng dari Kampung Walahir, Cileungsi, Kabupaten Bogor, itu selalu saja diusik debu setiap kali menggrap sawahnya. "Mata saya pedih dan berair," keluhnya. Di musim kemarau ini, sawah Madroi lebih banyak disiram debu ketimbang air hujan. "Debu-debu ini menyebar dari sana," ujar petani ini. Jarinya menunjuk ke arah pabrik semen, yang berjarak sekitar 1 km dari sawahnya. Udara di pelataran kedai nasi Ceuk Itit terasa lebih berat. Setiap kali truk-truk perusahaan semen itu lewat, debu tebal mengepul dari arah jalanan. Debu-debu halus yang menumpuk tebal di kanan-kiri jalan serta-merta terbang diempas roda truk. "Ya, beginilah. Saya tak boleh capek membersihkan meja," ujar Ceuk Itit sambil mengelap meja kedainya. Debu halus kini telah menjadi bagian dari kehidupan Kampung Walahir. Genting rumah penduduk tampak berwarna kelabu di musim kering ini. Bintik-bintik warna putih kotor menempel pada rumput dan pepohonan. Akibatnya? "Batuk dan sesak napas saya tak pernah sembuh. Paru-paru saya kotor," tutur Ceuk Itit. Pemilik kedai kecil itu mengaku pernah berobat keJakarta, dironsen segala. Biaya pengobatan Rp 32 ribu. "Tapi, saya tak mbuh," ujar Itit, yang kini memilih pergi ke dukun. Walahir disebut sebagai salah satu kampung yang menderita akibat pencemaran debu dari pabrik semen. Pabrik semen PT Semen Cibinong hanya berjarak sekitar 0,5 km dari Walahir. Kampung lain yang juga disebut sebagai daerah tercemar adalah Nambo dan Bandar Kopo, masing-masing berjarak 5 dan km dari pabrik semen itu. Ketiga kampung tadi termasuk dalam Kelurahan Nambo. Konsentrasi debu di udara Walahir, menurut sebuah penelitian terbaru yang pernah dikutip Kompas, tercatat sangat buruk. Setiap satu meter kubik udara ternyata mengandung debu sampai 51,5 mg. Di kampung Nambo konsentrasi debu di udara mencapai 26,3 mg per m3, sedangkan di Bandar Kapo tercatat 25,3 mg. Penelitian itu menetapkan Jonggol, yang berjarak 25 km dari pabrik semen tadi, sebagai daerah kontrol. Kandungan debu di udara Jonggol relatif kecil: hanya 8,2 mg per m3. Ada bukti yang konsisten, semakin jauh dari pusat pencemaran -- yakni cerobong pabrik -- kandungan debu di udara makin kecil. Nilai ambang batas (NAB) cemaran debu yang ditetapkan Depkes adalah 10 mg per m3 udara. Akibat yang menimpa masyarakat pun mengikuti angka-angka itu. Gangguan faali pada organ paru-paru lebih mudah ditemukan di Desa Nambo, termasuk Kampung Walahir dan Bandar Kopo, dibanding Desa Jonggol. "Perbedaan itu tampak sangat nyata pada kelompok usia 35-60 tahun," demikian hasil uji statistik studi itu. Pada kelompok usia 15-35 tahun, perbedaan gangguan paru antara Nambo dan Jonggol tak menunjukkan bilangan nyata. Gangguan paru itu muncul akibat terhirupnya partikel debu, yang berukuran 5-10 mikron, oleh sebagian penduduk itu. Partikel debu pada ukuran itulah yang mampu mengapung di udara pada jangka waktu yang panjang. Butiran halus yang kaya oksida besi ini dalam waktu beberapa tahun bisa menimbulkan gejala hipersekresi atau bronkitis: batuk-batuk dan mengeluarkan dahak. Penelitian lain oleh Hiperkes (Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja) Depnaker saat ini tengah berlangsung di tiga desa: Citeureup, Gunung Putri (keduanya dekat pabrik Indocement), dan Desa Nambo dekat PT Semen Cibinong. Selain menghitung curahan debu, studi ini juga hendak mengungkap ciri debu dan dampaknya bagi kesehatan masyarakat. Para responden juga dironsen. Hasil sementara: "Desa Nambo keadaannya paling parah," ujar Suwito, seorang anggota tim peneliti Hiperkes. Empat kecamatan di Kabupaten Bogor-Cibinong, Citeureup, Cileungsi, dan Gunung Putri -- kini menanggung risiko pencemaran dua pabrik semen, PT Semen Cibinong dan Indocement. Kedua pabrik raksasa itu sekarang punya kapasitas produksi total sekitar 10 juta ton per tahun. Mana dari kedua pabrik itu yang lebih berbahaya?. Entahlah. Tesis Sri Hartati, untuk jenjang studi S-2 di ITB, 1985, menunjukkan bahwa kedua pabrik itu sama-sama tampil sebagai biang pencemar. Wilayah pencemaran Indocement meliputi daerah seluas 128 km2, sedangkan Semen Cibinong yang kapasitasnya lebih kecil menjangkau wilayah seluas 38 km2. Ada wilayah tertentu, seperti sebagian Citeureup dan Cilengsi, yang tercemari oleh kedua pabrik itu. Celakanya, pencemaran debu itu, seperti ditulis Sri Hartati, staf pengajar Jurusan Meteorologi dan Geofisika ITB, menimpa pula Stasiun Pengendali Satelit Palapa Cibinong. Tentu saja debu itu, paling tidak, mengganggu permukaan antena parabola penerima sinyal dari Palapa. Hadirnya debu tadi akan mengurangi kehalusan permukaan antena parabola tadi. Akibatnya, penerimaan sinyal berkurang kualitas dan kuantitasnya. Pihak pabrik menolak bahwa telah terjadi pencemaran serius di lingkungan pabrik. "Wah, tidak betul kalau ada pencemaran debu. Cerobong asap kami sudah pakai penyaring, kok," kata Ir. Achmad Slamet, Direktur Utama Semen Cibinong. Orang nomor satu di perusahaan semen ini juga mengaku tak pernah mendengar keluhan penduduk. "Belum pernah ada yang mengadu ke kami, apalagi protes," uiarnya kepada Masduki Baidlawi dari TEMPO. Kendati tak memandang pencemaran itu telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, Kepala Desa Nambo M. Asman Sardijaya mengaku telah menyampaikan protes penduduk atas "hujan debu" itu. "Keadaan udara di desa ini sebetulnya belum begitu merisaukan. Tapi pengaduan penduduk sudah saya ajukan ke atas," ujarnya. Entah di mana pengaduan itu kini nyangkut. Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor sendiri mengakui belum dapat menyimpulkan persoalan yang menyangkut pencemeran debu tadi. "Orang luar boleh memasalahkan, tapi kami tidak," ujar dr. Badra, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor. Catatan di puskesmas Citeureup tak menunjukkan adanya prevalensi tinggi dalam gangguan saluran pernapasan dan paru. "Penyakit yang diderita pasien di sini, ya, seperti di tempat lain," kata dr. Hamra Hamid, kepala puskesmas Citeureup. Putut Tri Husodo (Laporan biro-biro)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini