Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Setelah kebun diobrak-abrik

Kubur sutaji di bitingan, rembang, digali lagi untuk diotopsi. diduga korban tewas disiksa oleh 4 oknum polisi dan petugas kehutanan. peristiwa tersebut terjadi setelah alat bajak munijan ada yang merusak.

25 Juli 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESA Bitingan Ledok seperti kehilangan roh. Walau terpencil di lereng Gunung Batok, 170 km sebelah timur Kota Semarang, siang itu kembali didatangi sejumlah petugas -- plus beberapa dokter dari Universitas Diponegoro. "Kami ingin mengungkap kematian Sutaji," tutur Letkol Sudarmanto dari Ditserse Polda Jawa Tengah, sambil melihat ke mayat dimaksud. Mayat yang sudah membusuk itu dikubur 1,5 bulan lalu. Tapi pada Kamis 16 Juli itu dibongkar kembali dan ditaruh di tempat terbuka untuk diotopsi. Wajah ratusan penduduk yang menyaksikan (di antara seribu jiwa), selain tercekam, ada juga yang masih menylmpan sisa tegang. Di suatu pagi subuh, Sutaji, 28 tahun, dan ayahnya, Karmani, 60 tahun, masih tidur di ruang depan rumah mereka yang terbuat dari bambu. Ayah dan anak itu terbangun gara-gara ada gedoran pintu. Karmani ketakutan manakala gedoran terdengar lagi, diikuti suara ancaman dari luar. "Buka pintu. Kalau tidak, seisi rumah akan saya bunuh," kata Karmani, menirukan apa yang didengarnya itu. Karena gedoran makin keras, Sutaji bangun dan bersembunyi di balik gerobok penyimpan padi. Ia membiarkan ayahnya menghadapi sendirian ketika pintu yang belum sempat dibuka itu didobrak paksa. Empat lelaki masuk, sembari menanyakan di mana Sutaji. "Dia tak di rumah," jawab kakek renta itu, gagap. Keempat orang itu tak percaya. Mereka: Supardi dan Rusdi, dua orang ptugas kehutanan Kecamatan Sale, Kabupaten Rembang, yang ditemani Waka Polsek hecamatan Sale Serka Tarkam, 45 tahun, dan Serda Giman, 45 tahun. Sutaji ditemukan di belakang gerobok, kemudian diseret ke ruang depan, dan dipukul. Ibunya, Djarmi, 55 tahun, mencoba menolong. Sebuah tamparan singgah ke mukanya. Ia tersungkur. Lalu, seisi rumah: suami-istri Karmani, tujuh anaknya, serta istri Sutaji, digiring ke luar rumah -- disaksikan puluhan tetangga yang malam itu sudah berkerumun di halaman. Setelah pukul 6 pagi, mereka yang di luar melihat Sutaji dipapah ke teras depan. Ia direbahkan pada sebuah kursi bambu panjang, yang sebelumnya merangkap sebagai tempat tidur. Pelan, Sutaji memanggil-manggil nama ibunya. Karmani hendak menolong. Tapi Rusdi menghalanginya. Sedang Sutaji sudah pucat, tubuhnya lemas sesekali mengerang kesakitan -- padahal beberapa jam tadi masih segar. Terdengar perintah Tarkam pada Sunardi, 34 tahun. Kakak Sutaji itu disuruh mencari kelapa muda. Sunardi memetik 28 buah dari pohon dekat rumah. Kata Sunardi, Sutaji dipaksa minum air kelapa itu, sampai 14 buah. Kemudian Kastari, 14 tahun, adik Sutaji, disuruh mencari botol kecil. Botol kecil bekas tempat obat batuk itu diserahkan Kastari pada Tarkam. Sambil mengacungkan botol itu, Tarkam menyuruh orang-orang yang ada untuk mendekat. Katanya, "Sutaji berusaha bunuh diri dengan minum endrin dari botol ini. Saya berusaha memberi pertolongan, tapi tak berhasil." Karmani membantah. Dia bilang bahwa botol itu bekas berisi obat batuk dan tak mungkin Sutaji minum endrin. Racun itu tak pernah disimpan di rumahnya. Setelah itu, empat sekawan tersebut segera meninggalkan Sutaji dan keluarganya. Baru sesudah itu para "penonton" tadi menggotong Sutaji ke dalam rumah. Terlambat. Pemuda lugu dan tak tamat SD itu meninggal. Itu 1 Mei lalu. Seorang penduduk mengusulkan agar kejadian itu dilaporkan ke polisi. Karena itu, dua pamong desa, Dasimin dan Parijak, ke Polsek Sale. Mereka juga melaporkan peristiwa itu ke kecamatan. Hari itu datanglah Serda (Pol) Daryanto bersama Sucipto, petugas puskesmas, untuk memeriksa. Menurut Cipto, penyebab kematian Sutaji adalah endrin. Kepala Desa Bitingan, Kusnan, menganjurkan agar jenazah cepat dimakamkan tapi ditolak keluarga Karmani. Malam harinya, Karmani didatangi Sersan Marmo dari Polres Rembang, yang menyorongkan secarik kertas agar dibubuhi cap jempol. "Saya menurut saja. Saya tak tahu apa isinya," kata orang tua yang buta huruf itu. Esok, setelah jenazah Sutaji dikuburkan, sekali lagi Karmani diminta membubuhkan cap jempol pada sehelai kertas -- kali ini dari Tarkam, yang datang disertai Kepala Desa. Konon kertas itu "surat perdamaian". Hampir dua bulan Karmani pontang-panting mengadu agar kematian anaknya itu diperhatikan. Kandas. Tapi bulan lalu ia menghubungi Badan Pembela dan Konsultasi Hukum (BPKH) MKGR, Jawa Tengah. BPKH lalu mengirim surat kepada Panglima ABRI. Surat itulah yang kemudian mengundang pejabat polisi setempat membongkar kembali pusara Sutaji. "Kami mencurigai kematian Sutaji," ujar Totok Pudjianto, S.H.,dari BPKH. Sebelum kematian Sutaji, Kamituwo Desa Munijan, 40 tahun, menemukan dua unit alat bajaknya rusak. Juga dua gubuknya di tegalan dirobohkan dan kebun cabainya diobrak-abrik. Munijan penasaran. Kamat, tetangganya, memberi tahu Munijan bahwa pelakunya tak cuma seorang. Nama Sutaji juga disebutnya. Munijan -- yang juga kemanakan Kusnan -- melapor ke Polsek Sale. Pada 30 April lalu, Tarkam bersama kawan-kawannya meluncur ke desa itu. Dan, malapetaka itu pun terjadi. Kini, Tarkam dan Giman, selain dimutasikan, diperiksa di Polres Rembang. "Bersalah atau tidak, tunggu hasil pemeriksaan para ahli nanti," kata Mayor Subagio, Kabag Dalop Polwil Pati, kepada B. Amaruddin dari TEMPO. Menurut sumber lain di polisi, Tarkam tak benar suka main hakim sendiri. Sayang petugas kehutanan dan polisi itu tak dibolehkan menanggapi kasus tersebut oleh atasan mereka. Najib Salim, Laporan Biro Yogya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus