Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dua perkara buat Arthaloka

Widodo sukarno & rudy parmaputra dikukuhkan vonisnya oleh ma tetap dihukum 14 th penjara dalam sengketa antara pt taspen & pt mahkota real estate. pt mahkota dihukum ganti rugi rp 56 juta.

25 Juli 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WIDODO Sukarno, Presiden Direktur PT Mahkota Real Estate, pengelola gedung Arthaloka, bagaikan sudah jatuh ditimpa tangga pula. Setelah Mahkamah Agung mengukuhkan vonis pidananya -- ia bersama wakilnya Rudy Parmaputra tetap dihukum 14 tahun penjara karena korupsi -- Pengadilan Tinggi di perkara perdata balik mengalahkan PT Mahkota, dan menghukum perusahaan miliknya itu membayar ganti rugi ke PT Taspen (Tabungan Asuransi Pensiun) sebesar Rp 56 juta. Padahal, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, januari lalu, Taspen dianggap bersalah dan karena itu dihukum membayar ganti rugi ke prusahaan Widodo sebesar Rp 17 milyar lebih. Sengketa antara Taspen dan Mahkota hrmula dari kerja sama antara kedua perusahaan itu dalam membangun gedung jangkung, 19 lantai, di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, dengan nama Arthaloka. Pihak Taspen menyediakan dana, sementara Mahkota menyediakan tanah. Kesepakatan ketika itu, 1972, gedung itu nantinya milik Taspen sementara pengelolaannya diserahkan ke Mahkota. Belakangan pihak Taspen menuduh rekannya itu telah mengkorup uang Taspen perusahaan milik negara -- sebesar Rp 840 juta ketika pembangunan, dan Rp 10,73 milyar ketika mengelolanya. Sebab itu, berbekal SK Menteri Keuangan, t985, Taspen mengambil alih pengelolaan gedung itu. Setelah melalui penyidikan Opstib bertahun-tahun, akhirnya, 1986, Widodo Sukarno dan Rudy Parmaputra diseret ke pengadilan dengan tuduhan korupsi. Keduanya divonis hakim baik di pengadilan bawahan maupun di Mahkamah Agung masing-masing 14 tahun penjara. Tapi berbeda dengan perkara pidana, di perkara perdata ternyata Widodo, yang lebih dikenal sebagai importir film, semula di atas angin. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diketuai M. Hatta menganggap, kendati Taspen itu perusahaan negara, dalam hal kontraknya dengan Mahkota kedudukannya sama-sama badan hukum. Sebab itu, salah satu pihak tidak bisa memaksakan kehendaknya kepada pihak lain. Artinya, tindakan Taspen mengambil alih gedung dari Mahkota itu dianggap melawan hukum, walaupun pihak Mahkota menunggak setoran sewa gedung ke partnernya itu sebesar Rp 3,5 milyar -- yang diwajibkan hakim agar dibayar Mahkota. Tapi di lain pihak Hatta justru menghukum Taspen membayar ganti rugi Rp 17 milyar lebih. Keputusan itu ketika itu dinilai kontroversial. Sebab, di pengadilan yang sama sebelumnya, Widodo telah divonis karena korupsi 14 tahun penjara. Bahkan ketika itu beredar isu bahwa Hatta menjatuhkan vonis tersebut karena mendapat tekanan dari hakim agung. Hatta membantah keras tuduhan tadi. "Soal Widodo dan Rudy dihukum di perkara pidana tidak menjadi soal dalam perkara perdatanya. Saya memisahkan kedua perkara itu," katanya ketika itu. Ternyata, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta, yang diketuai Bambang Soemedhy, 3 Juli lalu membatalkan sebagian vonis Hatta. Peradilan banding itu sebaliknya menghukum Mahkota membayar ganti rugi Rp 56 juta kepada Taspen. Berbeda dengan vonis Hatta, majelis banding menganggap hubungan hukum antara Taspen dan Mahkota bukan perjanjian antara dua badan hukum, melainkan penugasan. "Lihat saja bunyi kontraknya, jelas isinya penugasan dan bukan perjanjian," kata Hakim Tinggi Parman Soeparman, yang menjadi anggota majelis di perkara itu. Menurut Parman, terdapat perbedaan yang hakiki antara perusahaan swasta dan perusahaan negara (BUMN). "BUMN itu mempunyai watak ganda, selain sebagai badan hukum perdata, ia juga badan hukum publik," tamhah Parman. PT Taspen, sebagai pesero milik negara, kata hakim tinggi itu, juga bersifat ganda. "Dalam kasus itu ia harus dilihat sebagai badan hukum publik," tambahnya. Sebuah yurisprudensi dalam sengketa antara PJKA dan rekanannya dalam hal pengadaan kayu jati dijadikan Pengadilan Tinggi sebagai pertimbangan. Dalam kasus itu PJKA dimenangkan Mahkamah Agung karena dalam kontrak kerjanya disebutkan PJKA memberi tugas, sementara rekanan tadi menerima tugas. Kata-kata serupa itu juga terdapat dalam kontrak antara Mahkota dan Taspen. "Ini baru pendapat Pengadilan Tinggi, kata akhirnya ada pada vonis Mahkamah Agung," tambahnya. Hakim Hatta, yang kini dimutasikan ke Jawa Tengah, mengatakan puas atas vonis peradilan banding itu. "Sebab, landasan berpikir kami dengan hakim banding itu sama, yaitu sama-sama mendekati sengketa itu dari hubungan hukum antara kedua pihak. Hanya saja dalam penilaian kami berbeda," kata Hatta. Menurut Hatta, majelisnya menganggap hubungan kedua pihak itu sebagai hubungan private, karena sesama badan hukum membuat perjanjian di depan notaris. Tapi pihak peradilan banding menganggap hubungan itu berdasarkan hukum publik yaitu Menteri Keuangan c.q. Taspen menugasi Mahkota. "Contoh kongkretnya Menteri Keuangan memerintahkan kantor lelang melelang barang, itu hubungan publik. Tapi kalau Menteri membeli mobil pribadi itu hubungan private, mana bisa Menteri memerintahkan dealer menurunkan harga mobil itu," kata Hatta. Memang putusan mana dari kedua majelis itu yang benar akan diuji nanti di Mahkamah Agung Widodo tentu saja akan kasasi atas vonis itu. Sayangnya, sampai pekan ini pengacaranya Talas Sianturi memilih tutup mulut. Sebaliknya, pihak Taspen yang dimenangkan peradilan banding menyatakan kemungkinan akan kasasi. Sebab, Pengadilan Tinggi hanya mengabulkan Taspen mendapat ganti rugi Rp 56 juta dari tuntutan balik pesero negara itu sebesar Rp 32 milyar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus