Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Protes lewat kaos oblong

Ikadin memprotes surat keputusan bersama ketua mahkamah agung & menterikehakiman, yang mengatur tata cara pengawasan penasihat hukum. menkeh ismail saleh menyayangkan protes para advokat ke dpr.

25 Juli 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BARU sepekan umur Surat Keputusan Bersama Ketua MA dan Menteri Kehakiman -- yang mengatur tata cara pengawasan penasihat hukum lahir, Ikadin sudah unjuk gigi. Para anggota wadah tunggal para pengacara yang lahir dua tahun lalu itu melakukan protes. Menanggalkan dasi dan berganti dengan kaus oblong bertuliskan "SKB Ketua MA dan Menteri Kehakiman", dengan tanda tanya di atasnya, Rabu pekan lalu sekitar 30 advokat, yang dipimpin Maruli Simorangkir dan Rusdi Nurima, muncul di acara dengar pendapat antara Menteri Kehakiman dan DPR. Sehari sebelumnya, para advokat itu, di bawah komando Ketua Umum Harjono Tjitrosoebono, gagal menemui Ketua DPR, Amirmachmud, untuk menyampaikan keberatannya atas lahirnya SKB, yang mengatur "rambu-rambu" baru buat pengacara itu. Keputusan bersama itu, yang merupakan pelaksanaan Undang-Undang Mahkamah Agung 1985 dan. Undang-Undang Peradilan Umum 1986, memang membuat pengacara seperti dicabut kukunya. Seorang pengacara, menurut SKB itu, dilarang melalaikan kliennya maupun berbuat tidak patut terhadap lawan perkaranya. Tapi yang lebih penting dari itu, seorang pengacara dilarang mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat kepada hukum, undang-undang, kekuasaan umum, pengadilan, dan pejabatnya. Jika ketentuan-ketentuan itu terlanggar, si pengacara bisa ditindak, dari berupa teguran sampai ke pemecatan. Lebih celaka lagi, prosedur pengawasan dan pemeriksaan kasus-kasus pelanggaran pengacara itu dilakukan seperti prosedur peradilan umumnya, yaitu dari pengadilan negeri sampai ke Mahkamah Agung Menteri Kehakiman bertindak sebagai instansi terakhir yang mengambil putusan, setelah mendapat usul dari Mahkamah Agung. Sementara itu, organisasi profesi advokat, seperti Ikadin menurut SKB itu, dapat didengar Menteri Kehakiman, sebelum mengambil putusannya. Akibat lahirnya SKB itulah para advokat seperti kebakaran jenggot. Setelah berapat dengan cabang-cabang seluruh Indonesia, para advokat itu, lengkap dengan sesepuh mereka, antara lain Loekman Wiriadinata dan S. Tasrif, mencoba memperjuangkan nasib ke DPR. Tapi mereka gagal pula menemui pimpinan DPR. "Kita tidak pernah diajak dan dilibatkan ketika mereka menyusun ketentuan itu. Kalau ditanya selalu menjawab belum, tahu-tahu, bleng, keluar begitu saja. Dengan adanya SKB itu, mati sudah kami. Bernapas saja pun tidak bisa, bagaimana bisa membela perkara?" ujar Harjono Tjitrosoebono, ketika menunggu Ketua DPR. Ia menilai pengaturan pengawasan pengacara di SKB itu lebih mundur dari perundang-undangan kolonial Belanda atau yang dikenal dengan Rechtelijke Organisatie (RO), 1848. Dalam undang-undang Belanda itu, seorang ketua pengadilan tinggi berwenang menindak advokat dengan majelis beranggotakan dua orang wakil organisasiadvokat tersebut, sementara di SKB pengadilan tidak perlu membawa organisasi advokat untuk menindak anggota organisasi itu. Ketua Ikadin yang lain, R.O. Tambunan, menganggap ketentuan yang tercakup di SKB itu lebih luas ketimbang undang-undang subversi. "Undang-undang subversi hanya mengancam orang yang merongrong negara, sedang SKB itu juga mengancam advokat yang melalaikan kliennya, bahkan merongrong lawan kliennya. Ini namanya pemasungan pengacara, baik di dalam maupun di luar pengadilan," kata Tambunan. Dalam pernyataan bersama yang disampaikan ke DPR, secara tertulis, Ikadin menganggap SKB itu bertentangan dengan Undang-Undang Mahkamah Agung, dan Peradilan Umum, dan karena itu batal demi hukum. Sebab, di kedua perangkat undang-undang itu disebutkan bahwa pemerintah akan menghormati dan menjaga kemandirian penasihat hukum dalam melaksanakan tugasnya, dan dalam menindak advokat, Menteri Kehakiman disyaratkan mendengar lebih dulu pendapat dari organisasi profesi. Selain bertentangan dengan undang-undang, SKB itu, menurut pernyataan Ikadin, tidak lagi menyisakan kebebasan bagi seorang penasihat hukum. "Karena semua langkah, sikap, dan tutur kata sudah berada di bawah pengawasan ketua Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, dan Menteri Kehakiman." Kecuali Ikadin, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum mengeluarkan pernyataan senada dan juga mengirim utusan ke DPR, dan sama-sama gagal menemui Ketua DPR. "Dengan SKB itu berarti pengadilan sudah mengambil alih tugas Dewan Kehormatan Ikadin. Artinya, tidak ada lagi independensi organisasi," kata Ketua YLBHI, A. Hakim Garuda Nusantara. Besarnya wewenang yang diberikan kepada ketua Pengadilan Negeri untuk mengontrol advokat, kata Hakim, bisa menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan dan ketakutan pengacara untuk berpendapat di pengadilan. "Seharusnya, masyarakat juga memprotes SKB itu, karena yang dirugikan akhirnya pencari keadilan," kata Hakim. Menteri Kehakiman Ismail Saleh, di depan anggota Komisi III DPR, tegas-tegas menyatakan, SKB, atau istilahnya KB, tidak akan dicabut. "KB itu sah, tidak akan dibatalkan, dan tidak bertentangan dengan undang-undang. Jika Ikadin menganggap KB itu bertentangan, apa Ikadin itu sudah berubah menjadi Mahkamah Agung yang berhak menguji peraturan?" tanya Ismail Saleh. Ismail Saleh membantah, SKB itu dimaksudkan untuk mengurangi kemandirian advokat. "Kemandirian itu bukan kebebasan mutlak, tapi terbatas," ujarnya. Ia juga tidak bisa menerima kecemasan Ikadin bahwa dengan SKB itu, Menteri akan menyikat para pengacara begitu saja. "Percayalah kepada Ketua MA dan Menkeh, kami tidak akan main babat begitu saja. Kalau para penasihat hukum terus memperbaiki diri, mungkin penindakan itu tidak perlu," kata Ismail Saleh, yang menyayangkan para advokat itu berbondong-bondong ke DPR. Karni Ilyas, Laporan Happy S. (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus