SEBUT saja namanya Narti. Malam itu , ia bagaikan main striptease. Gadis manis 18 tahun asal Nganjuk ini dengan gemetar melepas pakaiannya satu per satu: bajunya, rok, kemudian pakaian dalam, dan menyusul, ya... Tuhan. Hanya BH-nya saja yang masih melekat di tubuh. Pekerjaan tersebut dilakukannya di bawah ancaman belati lelaki 29 tahun yang namanya kita sebut saja Basuki. Gadis ini kemudian diperintah untuk tidur telentang. Sedangkan Sukardi (bukan nama asli, 21 tahun), calon suami Narti, yang ada di depannya hanya bengong tak mampu berbuat apa-apa. Dengan kepala agak puyeng, setelah menenggak minuman keras, Basuki lalu "bekerja" -- sembari menempelkan belatinya di leher gadis yang sudah pasrah itu. Setelah nafsunya terlampiaskan, gilirannya menghajar Sukardi. Disuruhnya calon suami ini merangkak. Dengan garang, Basuki menendang dia hingga sempoyongan. Merasa diperlakukan kayak binatang, Sukardi lalu nekat melawan. Pergumulan terjadi dan Sukardi berusaha merebut belati dari tangan Basuki. Usahanya ternyata gagal. Membabi buta, Basuki mengayunkan belatinya. "Kres", leher Sukardi tertusuk. Darah mengalir deras. Ia roboh ke tanah. Narti, setelah kejadian itu, langsung loncat dan lari. Dengan tubuh masih bugil dan rambut awut-awutan, gadis ini berteriak panjang, "Tolong-tolong, bojoku dipateni (suamiku dibunuh)." Lalu ia menunjukkan tempat kejadian. Tetapi orang tak menggubris, karena dikira dia itu gila. Sambil mondar-mandir dan mengentak kaki, gadis ini tetap berteriak. Akhirnya, setelah yakin, barulah mereka berhamburan menuju tempat kejadian. Basuki sudah menghilang. Sedang Sukardi merangkak sambil merintih menahan sakit, dan tewas ketika ia dilarikan ke rumah sakit terdekat. Malam yang menghilangkan masa depan Narti ini terjadi di stasiun kereta api Madiun, pertengahan bulan Mei lalu. Ketika itu, Narti dan Sukardi naik kereta api dari Purwokerto menuju Nganjuk. Karena kehabisan sangu, mereka hanya membeli karcis sampai Madiun. Harapannya, untuk melanjutkan perjalanan ini, akan naik KA barang. Bisa gratis. Ketika di stasiun Madiun itu, datanglah Basuki, yang mengaku sebagai petugas keamanan. Dengan tampang angker, petugas gadungan ini menanyakan surat-surat identitas pasangan itu. Sukardi hanya mampu menyodorkan rapor SMP-nya. Ini tentu tak cukup. Basuki lalu menggiring mereka menyusuri rel, arah timur stasiun. Mereka disuruh masuk di sebuah lubang berukuran satu meter. Posisi lubang ini memang cukup aman, karena tertutup dengan gerbong-gerbong kosong di sepanjang rel stasiun. Dan terjadilah malapetaka itu. Satu jam setelah kejadian, polisi langsung menduga siapa pelakunya. Hari itu juga pihak keamanan yang dibantu masyarakat setempat langsung menyebar. Basuki akhirnya diringkus di delcat pompa bensin -- tiga kilometer dari stasiun -- dan diserahkan pada polisi. Basuki senekat itu, karena, "Nafsu seks sudah sampai kepala, duit nggak punya. Mau apa lagi?" katanya pada Budiono Darsono dari TEMPO. Kasus lain terjadi, juga di depo kereta api, Sidotopo, Surabaya. Sulastri, 18 tahun, bersama Ngadiyono, calon suaminya, Minggu dua pekan lalu, berangkat dari stasiun KA Jombang dengan membonceng gerbong tanki menuju Surabaya. Ketika turun dari gerbong, suasana Depo KA malam itu mencekam. Bulu kuduk Sulastri dan Ngadiyono bergidik. Pasangan yang sehari lagi jadi suami istri ini cepat mencari jalan keluar. Deretan gerbong mereka telusuri. Tapi, di tengah lorong gerbong yang sepi itu, mereka dihadang empat orang berwajah garang. Salah seorang langsung menodongkan belatinya, sambil menghardik minta duit. Lainnya menggerayangi saku Ngadiyono. Uang yang didapatkan mereka tak seberapa. Tapi setelah giliran menggerayangi Sulastri, berahi mereka langsung naik. Ngadiyono, yang diancam dengan belati, kemudian mereka sandarkan ke gerbong. Sedangkan yang lain memaksa membuka pakaian gadis manis berlesung pipit itu. Mereka lalu "bekerja" secara bergiliran, di hadapan calon suami Sulastri. Setelah puas, empat begundal ini segera menghilang di sela-sela gerbong. Sulastri, dengan rok basah dan celana dalam berlumuran darah, menangis sambil nubruk, merangkul calon suaminya. "Apa pun yang terjadi, kita besok tetap kawin," ujar Ngadiyono, lemas. Selang sehari setelah kejadian, polisi berhasil membekuk Matda'i, 28 tahun -- seorang di antara empat penodong itu. Lainnya masih dalam buron. "Kami harus terus melacak sampai tuntas," kata petugas Polsek setempat. Awal Juli sebelum kejadian di Sidotopo itu, Inah -- kita sebut saja begitu namanya -- tergeletak pingsan, di gubuk pinggiran Penyebabnya, lagi-lagi, perkosaan. Gadis hitam manis asal Bangkalan, Madura, ini baru seminggu ikut familinya di Kampung Kapas Madya, Surabaya. Malam itu, Inah, 16 tahun, diajak tetangganya, Salamah, nonton film di bioskop Istana yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Inah tak curiga. Beberapa cowok mendekat pada Salamah sambil berbisik-bisik. Setelah itu, Salamah nyelonong masuk gedung. Gadis yang lugu ini ditinggalkan. Salah seorang dari anak muda itu mengajak Inah untuk mengambil motor. Tapi setelah berjalan sejauh 500 meter dari gedung bioskop, Inah didorong masuk ke gubuk pinggir rel. Dan, rintihan Inah didengar oleh peronda malam yang ketika itu sedang lewat. Kini pelakunya masih buron. Agaknya, Salamah sudah kondang sebagai "gadis nakal" di kalangan pemuda di sekitar gedung bioskop itu. Daerah di sekitar stasiun tadi, menurut Kolonel Hartantyo, Kapolwil Kota Besar Surabaya, memang sangat rawan bagi wanita. "Manusia di sekitarnya itu mudah terangsang melakukan kejahatan," katanya pada TEMPO. Kendati begitu, jika ada pengaduan perkosaan, polisi masih sangat hati-hati. "Penyidik tak hanya melihat ada darah di celana si korban. Siapa tahu pada mulanya mau sama mau," ujar Hartantyo. Gatot Triyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini