Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Di hutan, petugas jatuh mental

Penertiban atas para pemegang hph sulit dilaksanakan, karena pengawas tidak punya wewenang polisionil & kalah fasilitas. peremajaan yang dilakukan tanpa bimbingan tenaga ahli sehingga tumbuh ilalang.(ling)

29 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENDUDUK Desa Bukit Mas II, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, kini tak boleh menangkap ikan sesukanya. Sungai yang dulu memberi mereka nafkah kini berada di bawah perlindungan kawasan Suaka Margasatwa Sekundur. Bukit Mas II itu berbatasan dengan Sekundur, tempat terlarang bagi penduduk biasa yang mencari kayu bakar dan menebang pohon. Tapi PT Radja Garuda Mas, pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) tak dilarang merambah hutan lindung Sekundur. Rakyat Bukit Mas II jadi heran dan jengkel karenanya. "Kalau saya bukan kepala desa ini, saya babat hutan itu, biarlah saya ditangkap," kata Siyung kepada Amran Nasution dari TEMPO. Dia dan penduduk Desa Bukit Mas II ternyata masih menahan diri --lain halnya dengan penduduk Desa Blang Bladeh, Seupeng dan Nipah, Kabupaten Aceh Utara, Aceh. Karena tekanan musim kemarau yang kejam mereka merambah kawasan hutan lindung Genting Tiung yang terletak di pertengahan Jalan Bireuen menuju Takengon, Aceh Tengah. Akibatnya tanah longsor sering menimpa permukaan jalan di Desa Cot Panglima dalam kawasan hutan lindung itu. Anggrek Hitam Tenaga di lapangan memang kurang menyebabkan pengawasan hutan lindung di Aceh agak kendur. Bahkan tapal batas Suaka Margasatw a Gunung Leuser, Aceh Tenggara, sudah mulai tercaplok oleh perladangan penduduk setempat. "Kalau tidak diawasi dengan ketat dan dipecahkan persoalannya, perambahan ini sulit direm," kata Poniran, Kepala Pusat Perlindungan dan Pelestarian Alam Aceh, kepada Darmansyah dari TEMPO. Di Kalimantan Timur justru yang mengancam kawasan 62,5 ribu ha Suaka Alam Muara Kaman, Kabupaten Kutai, adalah areal konsesi para pemegang HPH. Entah bagaimana awalnya Muara Kaman yang ditetapkan sebagai Suaka Alam sejak 3 tahun lalu berada di kantong hutan pemegang HPH. Kalau tak segera ditangani, anggrek hitam yang kesohor itu akan tergusur dari suaka tadi. Soal rawan adalah kekaburan atas wilayah konsesi pemegang HPH. Di Riau dan Aceh tidak sedikit perkampungan dan perkebunan rakyat --bahkan juga proyek pemerintah seperti di Riau masuk dalam wilayah konsesi pemegang HPH. Malahan konon Bandar Udara Simpang Tiga, Pekan Baru, Riau, dan perkampungan sekitarnya berada dalam wilayah konsesi PT Sindo Timber. Rakyat setempat yang sudah biasa mendamar, merotan atau mencari kayu harus minta izin kalau tidak mau ditangkap polisi kehutanan. "Bahkan untuk mengambil manisan lebah pun mereha harus mirtta iin dulu, "kata Thamrin Nasution, Ketua Fraksi Karya Pembangunan DPRD Riau. "Ini sungguh menyakitkan hati." Nada serupa juga dikeluhkan seorang anggota DPRD Aceh. "Hutan kita telah dijual pada sekelompok orang berduit non pribumi," sahut T. Thaib, anggota Fraksi Demokrasi Indonesia, DPRD Aceh. Bentrokan fisik dan saling curi kayu antara pemegang HPH akibat kekaburan batas konsesi sering terjadi di Riau, Aceh Timur dan Sulawesi Tengah. Di Aceh baru 4 dari 24 pemegang HPH yang punya tapal batas jelas. Untuk mencegah bentrokan dan kekalutan, untuk sementara kantor gubernur tidak mengeluarkan iin Hak Pengusahaan Hasil Hutan (HPHH). Di Riau masih banyak hutan yang masih dikuasai negara telah diserobot pemegang HPH. "Ini menunjukkan Dinas Kehutanan Riau tidak mampu mengawasi para pemegang HPH," sambung Thamrin Nasution. Tentu saja tuduhan itu disanggah ir. Sumarsono, Kepala Dinas Kehutanan Riau. Menurutnya, adalah rakyat yan membabat hutan secara semena-mena. Tapi bila terjadi banjir besar, "orang selalu mencap pemegang HPH yang merusak hutan," kata ir. Sumarsono. "Mereka (para pemegang HPH) kan menebang pakai aturan." Ia mengaku banyak menerima laporan dari para pemegang HPH mengenai ulah rakyat. Setiap kali pemegang HPH membuat jalan dalam wilayah konsesinya, "rakyat selalu mengikuti dengan membakar hutan di sebelah menyebelah jalan itu untuk dijadikan perladangan," tutur Sumarsono. Yang jelas ialah sudah terjadi pembabatan hutan secara tak terkendali yang menyebabkan banyak sungai di Riau kini mengirimkan banjir. Dan sudah diakui bahwa soal pengusahaan dan perencanaan hutan di Riau, meliputi kawasan 6,6 juta ha (2,5 juta di antaranya sudah dikonsesikan dari rencana 5,3 juta ha), masih semrawut. "Saya tidak tahu di mana persisnya lokasi-lokasi HPH di Riau ini," kata Subrantas, Gubernur Riau kepada Najib Salim dari TEM PO. "PetanYa pun saya tak punya. Kami kini sedang menyiapkan peta situasi tata guna tanah dan hutan Riau untuk master plan." Masyarakat umum sudah terlanjur menuding para pemegang HPH. Dan Sudjarwo, Direkur Jenderal Kehutanan dianggap tidak mampu menertibkan mereka. Karena mereka merupakan salah satu kekuatan modal, "apakah para pemegang HPH itu harus saya pukul habis," kata Sudjarwo dalam suatu diskusi dengan Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (Persaki) September silam. "Wajar kalau ada yang nakal, kita harus menghadapinya dengan sabar." Banyak kritik pedas yang pernah dilancarkan para ahli kini diakui kebenarannya. Kalangan Ditjen Kehutanan mengakui -- untuk mengawasi 40 juta ha hutan yang di-HPH-kan dari 120 juta ha luas hutan Indonesia pengawas dari Jakarta yang ditempatkan di wilayah konsesi terlalu sedikit. Selain tidak punya wewenang polisionil menindak pelanggaran di tempat, para petugas ini kalah fasilitas hingga seing jatuh mental. Pengawasan akhirnya kendur. "Makanya kalau kita mau melakukan asas pengelolaan hutan yang baik, itu tak bisa secara besar-besaran," kata ir. Syafii Manan, dosen Ilmu Pembinaan Hutan, Fakultas Kehutanan IPB kepada A. Margana dari TEMPO. Akibat jelek dari eksploitasi hutan secara mekanis sudah muncul di mana-mana. Karena penebangan dilakukan dengan alat-alat berat, banyak bibit muda tumbuhan setempat hancur tergilas. Celakanya lagi ialah banyak pemegang HPH tidak menempatkan tenaga ahli kehutanan -- yang jumlahnya sekitar 300 orang di Indonesia --menjadi penasihat pengelolaan. "Pemegang HPH boleh dikatakan hanya tukang tebang saja untuk mengeruk keuntungan," kecam Syafii Manan. Dan hasilnya, juga karena perladangan liar oleh penduduk setempat, "30 juta ha hutan di luar Jawa rusak karenanya," sebut Dr. ir. Achmad Sumitro, Dekan Fakultas Kehutanan UGM. Sementara pedoman peremajaan tidak diberikan pemerintah, para pemegang HPH tadi tidak memiliki tenaga ahlinya. Penataran memang sudah dilakukan tapi hasilnya masih jeblok. Akhirnya untuk menghutankan kembali wilayah konsesinya, pemegang HPH umumnya menyerahkan kepada alam-yang dari segi ilmu kehutanan tidak benar. Tentu saja kalau kaum pemegang HPH berbuat demikian, akan banyak genetika tumbuhan yang belum diketahui dan species tumbuhan setempat akan lenyap tak berbekas. Makanya, "untuk menjaga ekosistem species hutan yang asli harus dipertahankan," kata ir. Lukito Daryadi, Direktur Perlindungan dan Pelestarian Alam. Artinya kalau pemegang HPH menebang meranti, maka ia harus melestarikan hutan itu dengan meranti pula. Tidak boleh seperti yang dilakukan PT International Timber Corporation Indonesia. Perusahaan ini yang memiliki konsesi 600 ribu ha di Kalimantan Timur melakukan peremajaan dengan pinus yang mudah tumbuh, bukan dengan meranti seperti yang ditebangnya. Ogah Ogahan Ternyata baru 10 dari 94 pemegang HPH yang menguasai 13 juta ha hutan produktif Kalimantan Timur yang melakukan peremajaan kembali wilayah konsesi masing-masing, sekalipun mereka sudah beroperasi 10 tahun lebih di sana. Akibat pembangkangan ini sudah terasa 2 juta ha bekas hutan konsesi di sana ditumbuhi ilalang. Sedang di Sumatera Barat, baru PT Minas Lumber dari 12 pemegang HPH setempat yang melakukan peremajaan seluas 400 ha di Pagai Utara/Selatan, Mentawai. Juga di Sulawesi Selatan baru PT Serdid & Co. yang terdengar melakukan peremajaan. Perusahaan ini hanya mampu mengolah 10.000 ha dari 40.000 ha konsesi hutannya. Ternyata sebagian besar konsesinya masuk kawasan transmigrasi. Ketika para pemegang HPH masih ogah-ogahan melakukan peremajaan, Erry Supardjan, Gubernur Kalimantan Timur tampil dengan gagasan baru. Ia mengundang pemilik modal membuka perkebunan tanaman keras di sana. Datanglah H. Mochamad Hassan, Direktur Utama Hasfarm Product membuka perkebunan coklat seluas 12.000 ha di Kabupaten Kutai. Tapi datang pula peminat yang meminta areal 160 ribu ha untuk perkebunan. "Ini kan tidak rasional," kata sang gubernur kepada Hasan Syukur dari TEMPO. Dan ketika llasfarm diketahui membuka perkebunan di sana, kata Moch. Hassan "tiba-tiba harga tanah melonjak, bahkan lebih mahal ketimbang di Jawa."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus