PENDUDUK Desa Bukit Mas II, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara,
kini tak boleh menangkap ikan sesukanya. Sungai yang dulu
memberi mereka nafkah kini berada di bawah perlindungan kawasan
Suaka Margasatwa Sekundur. Bukit Mas II itu berbatasan dengan
Sekundur, tempat terlarang bagi penduduk biasa yang mencari kayu
bakar dan menebang pohon.
Tapi PT Radja Garuda Mas, pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
tak dilarang merambah hutan lindung Sekundur. Rakyat Bukit Mas
II jadi heran dan jengkel karenanya. "Kalau saya bukan kepala
desa ini, saya babat hutan itu, biarlah saya ditangkap," kata
Siyung kepada Amran Nasution dari TEMPO.
Dia dan penduduk Desa Bukit Mas II ternyata masih menahan diri
--lain halnya dengan penduduk Desa Blang Bladeh, Seupeng dan
Nipah, Kabupaten Aceh Utara, Aceh. Karena tekanan musim kemarau
yang kejam mereka merambah kawasan hutan lindung Genting Tiung
yang terletak di pertengahan Jalan Bireuen menuju Takengon, Aceh
Tengah. Akibatnya tanah longsor sering menimpa permukaan jalan
di Desa Cot Panglima dalam kawasan hutan lindung itu.
Anggrek Hitam
Tenaga di lapangan memang kurang menyebabkan pengawasan hutan
lindung di Aceh agak kendur. Bahkan tapal batas Suaka Margasatw
a Gunung Leuser, Aceh Tenggara, sudah mulai tercaplok oleh
perladangan penduduk setempat. "Kalau tidak diawasi dengan ketat
dan dipecahkan persoalannya, perambahan ini sulit direm," kata
Poniran, Kepala Pusat Perlindungan dan Pelestarian Alam Aceh,
kepada Darmansyah dari TEMPO.
Di Kalimantan Timur justru yang mengancam kawasan 62,5 ribu ha
Suaka Alam Muara Kaman, Kabupaten Kutai, adalah areal konsesi
para pemegang HPH. Entah bagaimana awalnya Muara Kaman yang
ditetapkan sebagai Suaka Alam sejak 3 tahun lalu berada di
kantong hutan pemegang HPH. Kalau tak segera ditangani, anggrek
hitam yang kesohor itu akan tergusur dari suaka tadi.
Soal rawan adalah kekaburan atas wilayah konsesi pemegang HPH.
Di Riau dan Aceh tidak sedikit perkampungan dan perkebunan
rakyat --bahkan juga proyek pemerintah seperti di Riau masuk
dalam wilayah konsesi pemegang HPH. Malahan konon Bandar Udara
Simpang Tiga, Pekan Baru, Riau, dan perkampungan sekitarnya
berada dalam wilayah konsesi PT Sindo Timber. Rakyat setempat
yang sudah biasa mendamar, merotan atau mencari kayu harus minta
izin kalau tidak mau ditangkap polisi kehutanan.
"Bahkan untuk mengambil manisan lebah pun mereha harus mirtta
iin dulu, "kata Thamrin Nasution, Ketua Fraksi Karya
Pembangunan DPRD Riau. "Ini sungguh menyakitkan hati." Nada
serupa juga dikeluhkan seorang anggota DPRD Aceh. "Hutan kita
telah dijual pada sekelompok orang berduit non pribumi," sahut
T. Thaib, anggota Fraksi Demokrasi Indonesia, DPRD Aceh.
Bentrokan fisik dan saling curi kayu antara pemegang HPH akibat
kekaburan batas konsesi sering terjadi di Riau, Aceh Timur dan
Sulawesi Tengah. Di Aceh baru 4 dari 24 pemegang HPH yang punya
tapal batas jelas. Untuk mencegah bentrokan dan kekalutan, untuk
sementara kantor gubernur tidak mengeluarkan iin Hak
Pengusahaan Hasil Hutan (HPHH). Di Riau masih banyak hutan yang masih
dikuasai negara telah diserobot pemegang HPH. "Ini menunjukkan
Dinas Kehutanan Riau tidak mampu mengawasi para pemegang HPH,"
sambung Thamrin Nasution.
Tentu saja tuduhan itu disanggah ir. Sumarsono, Kepala Dinas
Kehutanan Riau. Menurutnya, adalah rakyat yan membabat hutan
secara semena-mena. Tapi bila terjadi banjir besar, "orang
selalu mencap pemegang HPH yang merusak hutan," kata ir.
Sumarsono. "Mereka (para pemegang HPH) kan menebang pakai
aturan." Ia mengaku banyak menerima laporan dari para pemegang
HPH mengenai ulah rakyat. Setiap kali pemegang HPH membuat jalan
dalam wilayah konsesinya, "rakyat selalu mengikuti dengan
membakar hutan di sebelah menyebelah jalan itu untuk dijadikan
perladangan," tutur Sumarsono.
Yang jelas ialah sudah terjadi pembabatan hutan secara tak
terkendali yang menyebabkan banyak sungai di Riau kini
mengirimkan banjir. Dan sudah diakui bahwa soal pengusahaan dan
perencanaan hutan di Riau, meliputi kawasan 6,6 juta ha (2,5
juta di antaranya sudah dikonsesikan dari rencana 5,3 juta ha),
masih semrawut.
"Saya tidak tahu di mana persisnya lokasi-lokasi HPH di Riau
ini," kata Subrantas, Gubernur Riau kepada Najib Salim dari TEM
PO. "PetanYa pun saya tak punya. Kami kini sedang menyiapkan
peta situasi tata guna tanah dan hutan Riau untuk master plan."
Masyarakat umum sudah terlanjur menuding para pemegang HPH. Dan
Sudjarwo, Direkur Jenderal Kehutanan dianggap tidak mampu
menertibkan mereka. Karena mereka merupakan salah satu kekuatan
modal, "apakah para pemegang HPH itu harus saya pukul habis,"
kata Sudjarwo dalam suatu diskusi dengan Persatuan Sarjana
Kehutanan Indonesia (Persaki) September silam. "Wajar kalau ada
yang nakal, kita harus menghadapinya dengan sabar."
Banyak kritik pedas yang pernah dilancarkan para ahli kini
diakui kebenarannya. Kalangan Ditjen Kehutanan mengakui -- untuk
mengawasi 40 juta ha hutan yang di-HPH-kan dari 120 juta ha luas
hutan Indonesia pengawas dari Jakarta yang ditempatkan di
wilayah konsesi terlalu sedikit. Selain tidak punya wewenang
polisionil menindak pelanggaran di tempat, para petugas ini
kalah fasilitas hingga seing jatuh mental. Pengawasan akhirnya
kendur. "Makanya kalau kita mau melakukan asas pengelolaan hutan
yang baik, itu tak bisa secara besar-besaran," kata ir. Syafii
Manan, dosen Ilmu Pembinaan Hutan, Fakultas Kehutanan IPB
kepada A. Margana dari TEMPO.
Akibat jelek dari eksploitasi hutan secara mekanis sudah muncul
di mana-mana. Karena penebangan dilakukan dengan alat-alat
berat, banyak bibit muda tumbuhan setempat hancur tergilas.
Celakanya lagi ialah banyak pemegang HPH tidak menempatkan
tenaga ahli kehutanan -- yang jumlahnya sekitar 300 orang di
Indonesia --menjadi penasihat pengelolaan. "Pemegang HPH boleh
dikatakan hanya tukang tebang saja untuk mengeruk keuntungan,"
kecam Syafii Manan. Dan hasilnya, juga karena perladangan liar
oleh penduduk setempat, "30 juta ha hutan di luar Jawa rusak
karenanya," sebut Dr. ir. Achmad Sumitro, Dekan Fakultas
Kehutanan UGM. Sementara pedoman peremajaan tidak diberikan
pemerintah, para pemegang HPH tadi tidak memiliki tenaga
ahlinya. Penataran memang sudah dilakukan tapi hasilnya masih
jeblok. Akhirnya untuk menghutankan kembali wilayah konsesinya,
pemegang HPH umumnya menyerahkan kepada alam-yang dari segi ilmu
kehutanan tidak benar.
Tentu saja kalau kaum pemegang HPH berbuat demikian, akan banyak
genetika tumbuhan yang belum diketahui dan species tumbuhan
setempat akan lenyap tak berbekas. Makanya, "untuk menjaga
ekosistem species hutan yang asli harus dipertahankan," kata ir.
Lukito Daryadi, Direktur Perlindungan dan Pelestarian Alam.
Artinya kalau pemegang HPH menebang meranti, maka ia harus
melestarikan hutan itu dengan meranti pula. Tidak boleh seperti
yang dilakukan PT International Timber Corporation Indonesia.
Perusahaan ini yang memiliki konsesi 600 ribu ha di Kalimantan
Timur melakukan peremajaan dengan pinus yang mudah tumbuh, bukan
dengan meranti seperti yang ditebangnya.
Ogah Ogahan
Ternyata baru 10 dari 94 pemegang HPH yang menguasai 13 juta ha
hutan produktif Kalimantan Timur yang melakukan peremajaan
kembali wilayah konsesi masing-masing, sekalipun mereka sudah
beroperasi 10 tahun lebih di sana. Akibat pembangkangan ini
sudah terasa 2 juta ha bekas hutan konsesi di sana ditumbuhi
ilalang. Sedang di Sumatera Barat, baru PT Minas Lumber dari 12
pemegang HPH setempat yang melakukan peremajaan seluas 400 ha di
Pagai Utara/Selatan, Mentawai. Juga di Sulawesi Selatan baru PT
Serdid & Co. yang terdengar melakukan peremajaan. Perusahaan ini
hanya mampu mengolah 10.000 ha dari 40.000 ha konsesi hutannya.
Ternyata sebagian besar konsesinya masuk kawasan transmigrasi.
Ketika para pemegang HPH masih ogah-ogahan melakukan peremajaan,
Erry Supardjan, Gubernur Kalimantan Timur tampil dengan gagasan
baru. Ia mengundang pemilik modal membuka perkebunan tanaman
keras di sana. Datanglah H. Mochamad Hassan, Direktur Utama
Hasfarm Product membuka perkebunan coklat seluas 12.000 ha di
Kabupaten Kutai. Tapi datang pula peminat yang meminta areal 160
ribu ha untuk perkebunan. "Ini kan tidak rasional," kata sang
gubernur kepada Hasan Syukur dari TEMPO. Dan ketika llasfarm
diketahui membuka perkebunan di sana, kata Moch. Hassan
"tiba-tiba harga tanah melonjak, bahkan lebih mahal ketimbang di
Jawa."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini