Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kaceng sudah, kapan Tadjuddin

Kaceng dkk, dituduh menginjak-injak dan mengencingi kitab al qur'an, dibebaskan oleh pengadilan negeri purwakarta. mereka melakukannya karena didesak & diancam oleh dansek. giliran dansek yang akan diadili. (hk)

29 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMUANYA memang terbukti Kaceng dan Rojik mengencingi. Enuh, Khatibi dan Yusuf menginjak-injak. Dan Abubakar mendapat giliran mengentuti kitab suci Al Qur'an. Tapi para penduduk Desa Cimahi di Purwakarta itu ternyata lepas juga dari hukuman karena menghina agama. Sebab Pengadilan Negeri Purwakarta, 13 Desember lalu melihat ada sesuatu yang tidak beres bukan karena kemauan sendiri orang-orang Islam tersebut menodai kitab sucinya. Perbuatan mereka, menurut majelis hakim yang dipimpin M. Soenarto SH, karena dipaksa pejabat kepolisian. Itulah sebabnya Kaceng dkk. dibebaskan dari tuntutan hukum. Sedangkan pejabat kepolisian yang memaksa mereka "menghina agama" dijanjikan akan diadili di suatu mahkamah militer. Sampai pekan lalu memang belum didapat kepastian kapan oknum itu mendapat giliran diadili. Beberapa waktu lalu pihak kepolisian setempat memang mengusulkan agar perkara pemaksaan oleh oknum itu diproses mendahului peradilan Kaceng dkk. Namun karena pergantian pimpinan kepolisian Purwakarta ditambah pula dengan penolakan pihak pengadilan -- "karena akan menyebabkan perkara di pengadilan bertumpuk-tumpuk," kata sumber TEMPO di Pengadilan Purwakarta -- maka oknum tersebut belum mendapat giliran. Ia sekarang tetap bertugas di kepolisian Purwakarta. Perkara dimulai menjelang Pemilihan Umum 1977. Ada sebuah tandagambar Golkar, yang tertempel di sebuah pokok pohon, tersobek salah satu pinggirnya. Entah oleh tangan jahil, entah oleh angin. Hanya karena kebetulan tanda gambar itu ada di muka rumah Kaceng, maka orang inilah yang pertama jadi korban. Kaceng (19 tahun), buruh tani harian, oleh Wakil Kepala Desa Cimahi Karhiman, dilaporkan sebagai penyebab rusaknya tanda gambar pohon beringin. Pembina Polri, Peltu Pol. Asna, bertindak. Melalui tangan hansip/Kamra, tanpa surat perintah, Kaceng bersama 5 orang kawannya dijemput, 22 April waktu itu, menjelang shalat maghrib-"sampai saya tak sempat sembahyang," keluh Kaceng kemudian. Kaceng dkk. disekap semalaman di Kantor Kepolisian Sektor (Kosek) Campaka. Besoknya, sekitar pukul 14.00, mereka dihadapkan ke muka Komandan Sektor (Dansek) Peltu Pol. Tadjuddin setelah pemeriksa Peltu Unali tidak berhasil memperoleh pengakuan. Pemeriksaan dilakukan sendiri oleh Dansek yang berpakaian seragam lengkap dengan sepucuk pistol di pinggangnya. Hadir dalam pemeriksaan, selain beberapa orang petugas kepolisian dan hansip/Kamra, juga Nyonya Dansek -- entah apa pula maksudnya. Teknik pemeriksaannya, menurut Pembela Nurbani Yusuf dan Soenarto Soerodibroto kemudian, cukup berat. Dimulai dengan tuduhan Dansek, yang berkata: "Kamusemua berada di sini karena merobek tanda gambar Golkar! " Untuk itu, lanjutnya, "kamu bisa ditahan." Lalu berbagai pertanyaan diajukan. Mulai dari nama, pekerjaan, bangsa, agama, anggota partai apa dan . . . dalam Pemilu akan menusuk tanda gambar apa. Kaceng dan teman-temannya menyangkal: mereka tidak tahu menahu perihal tanda gambar yang robek. Untuk itu mereka berani disumpah. Adapun soal pemilihan umum, kata mereka, sebagai orang Islam mereka akan menusuh tanda gambar Ka'bah. Tadjuddin mendesak: "Ngomong sih gampang! Kalau kamu benar tidak merobek, beranikah kamu memberaki atau mengencingi Al Qur'an?" kutip pembela. Yang didesak, semuanya beragama Islam, tentu saja tak bisa bicara apa-apa. Tadjuddin menyuruh seorang petugas mengambil kitab Al Qur'an dan meletakkannya di pekarangan belakang kantor polisi. Dengan wajah kemerah-merahan Tadjuddin mengancam "Kalau kamu benar tidak merobek, kamu harus berani dan pasti berani mengencingi atau memberaki Al Qur'an," seperti terungkap di pengadilan. Kaceng dan kawan-kawannya memang terdesak dengan ancaman Dansek itu. Mereka masih mencoba "menginsyafkan" Tadjuddin dengan sebuah pertanyaan, yang kata Kaceng kemudian, begini: "Apakah Bapak berani menanggung dosanya?" Tapi Tadjuddin agaknya sudah marah benar. "Hayo cepat kerjakan! Jangan banyak omong!," sergahnya seperti dikemukakan pembela dalam pleidoinya. Apa boleh buat. Dengan gemetar orang-orang desa itu bergiliran menginjak-injak, mengencingi dan membuang angin di atas Qur'an. Menghadap Tuhan Selesai acara sumpah tersebut, kemarahan Dan sek agak berkurang dan katanya, "saya sekarang percaya -- tapi lahirnya saja, hatinya belum tentu." Setelah itu Kaceng dkk. diizinkan pulang. Jika sebelumnya mereka dijemput dengan truk, pulangnya mereka dibiarkan berjalan kaki, menempuh jarak sekitar 10 km dengan perut kosong (selama ditahan mereka tidak diberi makan dan sedikit uang di kantong salah seorang dari mereka diambil seorang petugas). Hati Dansek rupanya memang belum puas. Pertimbangannya tak jelas. Yang pasti, gagal memperkarakan Kaceng dkk. sebagai pengganggu kampanye Pemilu, Tadjuddin memperkarakan mereka dengan tuduhan menghina agama. Sidang pengadilan berjalan diikuti banyak pengunjung, termasuk tokoh-tokoh Partai Persatuan Pembangunan. Di situ Tadjuddin sempat mendapat teguran hakim atas keterangannya yang dinilai berbelit-belit. Misalnya, mula-mula ia menyatakan tak melihat sendiri enam orang penduduk Desa Cimahi menodai Al Qur'an. Tapi akhirnya ia kembali juga pada keterangan yang pernah diberikan dalam pemeriksaan pendahuluan: Waktu itu ia memang hadir di sana. Taroklah bukan ia yang memaksa menginjak, mengencingi atau mengentuti kitab suci, mengapa tak dicegahnya? Jawabnya ringan saja: "Itulah kelalaian saya." Belum lagi diketahui kapan Mahkamah Militer akan menyidangkan perkara Peltu Tadjuddin -- baik untuk pemaksaannya terhadap Kaceng dkk. menodai kitab suci, maupun apa yang disebut "kelalaian"nya. Sementara itu Jaksa Said, sebagai penuntut umum, yang sebelumnya menuntut hukuman setahun penjara bagi masing-masing tersangka tidak menerima putusan dan minta naik banding. Buat sementara, bagaimanapun, putusan hakim melegakan -- terutama bagi Yusuf bin Bana yang telah mendahului menghadap Tuhan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus