SEMUANYA memang terbukti Kaceng dan Rojik mengencingi. Enuh,
Khatibi dan Yusuf menginjak-injak. Dan Abubakar mendapat giliran
mengentuti kitab suci Al Qur'an. Tapi para penduduk Desa Cimahi
di Purwakarta itu ternyata lepas juga dari hukuman karena
menghina agama. Sebab Pengadilan Negeri Purwakarta, 13 Desember
lalu melihat ada sesuatu yang tidak beres bukan karena kemauan
sendiri orang-orang Islam tersebut menodai kitab sucinya.
Perbuatan mereka, menurut majelis hakim yang dipimpin M.
Soenarto SH, karena dipaksa pejabat kepolisian. Itulah sebabnya
Kaceng dkk. dibebaskan dari tuntutan hukum. Sedangkan pejabat
kepolisian yang memaksa mereka "menghina agama" dijanjikan akan
diadili di suatu mahkamah militer.
Sampai pekan lalu memang belum didapat kepastian kapan oknum itu
mendapat giliran diadili. Beberapa waktu lalu pihak kepolisian
setempat memang mengusulkan agar perkara pemaksaan oleh oknum
itu diproses mendahului peradilan Kaceng dkk. Namun karena
pergantian pimpinan kepolisian Purwakarta ditambah pula dengan
penolakan pihak pengadilan -- "karena akan menyebabkan perkara
di pengadilan bertumpuk-tumpuk," kata sumber TEMPO di Pengadilan
Purwakarta -- maka oknum tersebut belum mendapat giliran. Ia
sekarang tetap bertugas di kepolisian Purwakarta.
Perkara dimulai menjelang Pemilihan Umum 1977. Ada sebuah
tandagambar Golkar, yang tertempel di sebuah pokok pohon,
tersobek salah satu pinggirnya. Entah oleh tangan jahil, entah
oleh angin. Hanya karena kebetulan tanda gambar itu ada di muka
rumah Kaceng, maka orang inilah yang pertama jadi korban. Kaceng
(19 tahun), buruh tani harian, oleh Wakil Kepala Desa Cimahi
Karhiman, dilaporkan sebagai penyebab rusaknya tanda gambar
pohon beringin. Pembina Polri, Peltu Pol. Asna, bertindak.
Melalui tangan hansip/Kamra, tanpa surat perintah, Kaceng
bersama 5 orang kawannya dijemput, 22 April waktu itu, menjelang
shalat maghrib-"sampai saya tak sempat sembahyang," keluh Kaceng
kemudian.
Kaceng dkk. disekap semalaman di Kantor Kepolisian Sektor
(Kosek) Campaka. Besoknya, sekitar pukul 14.00, mereka
dihadapkan ke muka Komandan Sektor (Dansek) Peltu Pol. Tadjuddin
setelah pemeriksa Peltu Unali tidak berhasil memperoleh
pengakuan. Pemeriksaan dilakukan sendiri oleh Dansek yang
berpakaian seragam lengkap dengan sepucuk pistol di pinggangnya.
Hadir dalam pemeriksaan, selain beberapa orang petugas
kepolisian dan hansip/Kamra, juga Nyonya Dansek -- entah apa
pula maksudnya.
Teknik pemeriksaannya, menurut Pembela Nurbani Yusuf dan
Soenarto Soerodibroto kemudian, cukup berat. Dimulai dengan
tuduhan Dansek, yang berkata: "Kamusemua berada di sini karena
merobek tanda gambar Golkar! " Untuk itu, lanjutnya, "kamu bisa
ditahan." Lalu berbagai pertanyaan diajukan. Mulai dari nama,
pekerjaan, bangsa, agama, anggota partai apa dan . . . dalam
Pemilu akan menusuk tanda gambar apa.
Kaceng dan teman-temannya menyangkal: mereka tidak tahu menahu
perihal tanda gambar yang robek. Untuk itu mereka berani
disumpah. Adapun soal pemilihan umum, kata mereka, sebagai orang
Islam mereka akan menusuh tanda gambar Ka'bah. Tadjuddin
mendesak: "Ngomong sih gampang! Kalau kamu benar tidak merobek,
beranikah kamu memberaki atau mengencingi Al Qur'an?" kutip
pembela.
Yang didesak, semuanya beragama Islam, tentu saja tak bisa
bicara apa-apa. Tadjuddin menyuruh seorang petugas mengambil
kitab Al Qur'an dan meletakkannya di pekarangan belakang kantor
polisi. Dengan wajah kemerah-merahan Tadjuddin mengancam "Kalau
kamu benar tidak merobek, kamu harus berani dan pasti berani
mengencingi atau memberaki Al Qur'an," seperti terungkap di
pengadilan. Kaceng dan kawan-kawannya memang terdesak dengan
ancaman Dansek itu.
Mereka masih mencoba "menginsyafkan" Tadjuddin dengan sebuah
pertanyaan, yang kata Kaceng kemudian, begini: "Apakah Bapak
berani menanggung dosanya?" Tapi Tadjuddin agaknya sudah marah
benar. "Hayo cepat kerjakan! Jangan banyak omong!," sergahnya
seperti dikemukakan pembela dalam pleidoinya. Apa boleh buat.
Dengan gemetar orang-orang desa itu bergiliran menginjak-injak,
mengencingi dan membuang angin di atas Qur'an.
Menghadap Tuhan
Selesai acara sumpah tersebut, kemarahan Dan sek agak berkurang
dan katanya, "saya sekarang percaya -- tapi lahirnya saja,
hatinya belum tentu." Setelah itu Kaceng dkk. diizinkan pulang.
Jika sebelumnya mereka dijemput dengan truk, pulangnya mereka
dibiarkan berjalan kaki, menempuh jarak sekitar 10 km dengan
perut kosong (selama ditahan mereka tidak diberi makan dan
sedikit uang di kantong salah seorang dari mereka diambil
seorang petugas).
Hati Dansek rupanya memang belum puas. Pertimbangannya tak
jelas. Yang pasti, gagal memperkarakan Kaceng dkk. sebagai
pengganggu kampanye Pemilu, Tadjuddin memperkarakan mereka
dengan tuduhan menghina agama. Sidang pengadilan berjalan
diikuti banyak pengunjung, termasuk tokoh-tokoh Partai Persatuan
Pembangunan.
Di situ Tadjuddin sempat mendapat teguran hakim atas
keterangannya yang dinilai berbelit-belit. Misalnya, mula-mula
ia menyatakan tak melihat sendiri enam orang penduduk Desa
Cimahi menodai Al Qur'an. Tapi akhirnya ia kembali juga pada
keterangan yang pernah diberikan dalam pemeriksaan pendahuluan:
Waktu itu ia memang hadir di sana. Taroklah bukan ia yang
memaksa menginjak, mengencingi atau mengentuti kitab suci,
mengapa tak dicegahnya? Jawabnya ringan saja: "Itulah kelalaian
saya."
Belum lagi diketahui kapan Mahkamah Militer akan menyidangkan
perkara Peltu Tadjuddin -- baik untuk pemaksaannya terhadap
Kaceng dkk. menodai kitab suci, maupun apa yang disebut
"kelalaian"nya. Sementara itu Jaksa Said, sebagai penuntut umum,
yang sebelumnya menuntut hukuman setahun penjara bagi
masing-masing tersangka tidak menerima putusan dan minta naik
banding. Buat sementara, bagaimanapun, putusan hakim melegakan
-- terutama bagi Yusuf bin Bana yang telah mendahului menghadap
Tuhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini